Senin, 01 Februari 2016

Lafran Pane dan Pahlawan Nasional

Lafran Pane dan Pahlawan Nasional

Baharuddin Aritonang  ;  Mantan Ketua Komisariat dan Ketua PB HMI;
Doktor Ilmu Hukum; Anggota Lembaga Pengkajian MPR (2015-2019)
                                                   REPUBLIKA, 29 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dengan aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya tidak asing dengan tokoh Lafran Pane. Secara pribadi, saya kenal beliau. Sering berkunjung dan berdiskusi di perumahan IKIP Yogyakarta (kini menjadi Universitas Negeri Yogyakarta).

Kebetulan beliau satu kampung dengan saya. Jika saya lahir di Padangsidempuan, Lafran lahir di Sipirok pada 5 Februari 1922. Ketika itu, kedua kota ini masih di kabupaten yang sama, yakni Kabupaten Tapanuli Selatan (setelah Padangsidempuan menjadi kota tersendiri pada 2001, Sipirok menjadi ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan). Kedua kota ini berjarak 33 kilometer.

Soal tempat lahir ini sebenarnya menarik ditulis. Karena ada juga yang menulis beliau lahir di Padangsidempuan (lihat, antara lain, Fachry Ali, Dimensi-Dimensi Lafran Pane, harian Republika, 17 Desember 2015). Dari cerita beliau kepada saya, beliau lahir di Sipirok.

Demikian juga menurut catatan keluarga, melalui Ir Iqbal Pane, beliau juga lahir di Sipirok. Orang tua Pak Lafran, Sutan Pangurabaan, merupakan tokoh yang berasal dari Sipirok. Memang pernah menjadi guru di Muarasipongi dan Padangsidempuan, akan tetapi sebagian besar hidupnya tinggal di Sipirok. Banyak buku karyanya ditulis di Sipirok, walau beberapa diterbitkan di Padangsidempuan dan Sibolga.

Lafran Pane merupakan anak bungsu dari enam bersaudara (di antara saudaranya, Sanusi Pane dan Armijn Pane). Berdasar riwayat hidupnya, baik yang ditulis Prof Agus Salim Sitompul maupun ditulis Horiqo Wibawa Satria di buku Lafran Pane, Jejak Hayat dan Pemikirannya (Penerbit Lingkar, Jakarta, 2010), Pak Lafran pernah menghabiskan masa sekolahnya di Padangsidempuan, Sibolga, Medan, dan Jakarta. Pernah juga bekerja di Padangsidempuan sebelum kembali ke Jakarta dan aktif di kepemudaan.

Memasuki masa kuliah, Pak Lafran pindah ke Yogyakarta, tempat saat beliau melahirkan karya monumentalnya, yakni organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang melahirkan banyak tokoh nasional. Ketika masih menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI), Lafran memprakarsai dan mendirikan HMI pada 5 Februari 1947.

Di tengah berkecamuk sejarah bangsa dan negara yang baru saja didirikan dan ketika penjajah masih berniat mencengkeram negeri ini, sekelompok mahasiswa yang diprakarsai Lafran Pane mendirikan HMI. Tujuannya, pertama, mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

Tujuan pendirian HMI ini jelas, yakni mempertahankan negara RI yang baru saja dimerdekakan serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam, khususnya melalui kehidupan kemahasiswaan. Itulah sebabnya, saat ulang tahun pertama HMI, Jenderal Sudirman menyebut HMI juga sebagai harapan masyarakat Indonesia.

Sejak berdiri, organisasi ini bersifat independen, tidak menjadi urderbouw dari partai atau organisasi mana pun. Secara perseorangan, anggota dan alumninya banyak memasuki organisasi, kelompok, atau partai. Pilihan yang independen inilah yang membuat HMI tetap tegar hingga kini.

Di HMI, semua kelompok atau aliran Islam dapat berkiprah. Demikian juga yang memilih aliran politik. HMI amat digandrungi mahasiswa. Anggotanya ratusan ribu, alumninya sudah memasuki hitungan jutaan (konon lima juta sampai enam juta).

Setelah lulus sebagai mahasiswa, alumninya pun menyebar di berbagai lapisan masyarakat. Alumni HMI banyak yang menjadi dosen dan peneliti di berbagai perguruan tinggi, menjadi petani atau nelayan, pengusaha, PNS atau birokrat, di lingkup militer, menjadi politikus, maupun kepala daerah atau pejabat negara. Termasuk, yang menentukan arah perjalanan bangsa dan negara. Mereka menjadi pioner di berbagai bidang.

Apakah Prof Lafran Pane hanya melahirkan karya dalam bentuk HMI yang telah melahirkan banyak kader bangsa? Jelas tidak. Pak Lafran juga menjadi panutan atau sumber inspirasi bagi banyak kadernya.

Lafran juga menjadi tokoh pemuda, ikut secara langsung dalam pergerakan pemuda di seputar kemerdekaan RI, antara lain, di Pegangsaan Timur, kini Jalan Proklamasi, Jakarta, bersama tokoh pemuda lainnya. Dalam kiprahnya seusai menyelesaikan pendidikannya, di STI dan lulus sebagai sarjana politik pertama dari UGM dan kemudian menjadi dosen atau pengajar untuk mata kuliah yang terkait dengan kenegaraan.

Sebagai guru besar di IKIP Yogyakarta dan mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti di UGM, UII, dan IKIP, Lafran Pane menunjukkan sikap yang tegas untuk "digugu dan ditiru" dengan sikap hidup yang rendah hati dan tidak suka menonjolkan diri, jujur, dan sederhana yang dilaksanakan secara konsisten.

Ke mana-mana, beliau selalu naik sepeda. Saya masih ingat di kala kami berpapasan di Bulaksumur, kampus UGM, seusai memberi kuliah di Fakultas Sospol dan saya menuju fakultas. Kami sama-sama berhenti di pinggir jalan untuk sekadar bertegur sapa.

Sedangkan, rumahnya di Karangmalang, rumah dinas yang tidak memiliki saluran telepon. Sampai akhir hayatnya, Lafran tidak memiliki rumah pribadi. Termasuk, setelah diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diperjuangkan oleh Dr Akbar Tandjung. Di DPA, Lafran mewakili tokoh masyarakat atau HMI, bukan partai politik, untuk menunjukkan sikap independensinya.

Penghasilannya habis untuk membiayai sekolah kedua putra dan seorang putrinya. Pernah suatu ketika, para alumni HMI yang sudah berhasil di Jakarta ingin membelikan rumah dengan isinya serta mobil sebagai kendaraan sehari-hari. Niat itu ditolak secara halus oleh Lafran Pane. Sikap hidup jujur dan sederhana serta independen inilah yang menginspirasi banyak tokoh yang lahir dari HMI.

Pemikiran Pak Lafran juga menjangkau jauh ke depan. Dalam pidato pengukuhan guru besar Tata Negara di IKIP Yogyakarta pada 1970, Lafran Pane telah menegaskan bila UUD 1945 yang disusun BPUPKI dan diputuskan PPKI pada 1945 dan berlaku kembali melalui Dekrit 5 Juli 1959 adalah bersifat sementara.

Karena itu, perlu dipikirkan Perubahan UUD 1945. Jika langkah ini ditempuh, Pembukaan UUD 1945 jangan menjadi objek perubahan karena memuat enam prinsip dasar. Lantas dikemukakan, jika MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, maka semua anggota MPR haruslah dipilih langsung oleh rakyat. Demikian juga Presiden, perlu dipilih langsung oleh rakyat, jika memang kita memilih sistem presidensial.

Ketika proses perubahan UUD 1945 berlangsung pada 1999-2002 maka pemikiran ini termasuk menjadi pilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Perubahan UUD 1945 mengakibatkan MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara yang juga menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tentu saja, masih banyak pemikiran Lafran Pane yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk, tidak perlunya tafsir tunggal atas Pembukaan UUD 1945.

Berbagai karya inilah yang menyebabkan Keluarga Alumni HMI atau KAHMI mengusulkan agar Prof Lafran Pane dijadikan sebagai pahlawan nasional. Karena jasa-jasanya ini telah mencapai tahapan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Organisasi HMI yang diprakarsai dan didirikannya telah melahirkan banyak kader bangsa yang membangun tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap dan perilakunya telah menginspirasi kader-kadernya dalam membangun keindonesiaan dan keislaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar