Selasa, 16 Februari 2016

Mengelola Aliran Keagamaan ”Sempalan”

Mengelola Aliran Keagamaan ”Sempalan”

Ahmad Sahidah  ;   Dosen Senior Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
                                               KORAN SINDO, 13 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebagai sebuah negara yang terbentuk dari sejarah panjang tentang aliran, kepercayaan, dan ideologi, negeri ini tentu telah memanggul pelbagai pandangan dunia. Kesepakatan untuk menjadi satu-kesatuan dalam naungan Republik Indonesia sejatinya mengabadikan apa yang telah dipraktikkan selama ini, Bhinneka Tunggal Ika. Menyodorkan ideologi lain yang antikemajemukan secara otomatis akan merobohkan bangunan keindonesiaan. Pelik, ada gerakan ideologis meletakkan kata Indonesia, tetapi pada waktu yang sama mengandaikan satu pandangan tertutup dan eksklusif.

Selain kepercayaan lokal dalam bentuk animisme dan dinamisme, institusi agama dan ideologi politik yang turut mewarnai bangsa ini makin mengayakan pandangan batin dan fisik warga terhadap kehidupan berbangsa. Apa pun bentuk pemikiran, kepercayaan, dan bahkan organisasi keagamaan dengan mudah bisa merembes ke dalam kehidupan masyarakat.

Sebagaimana peribahasa Arab yang berbunyi, likulli saqit laqit, yang berarti setiap yang jatuh pasti ada yang memungut, gerakan-gerakan luar pun bersemai dan subur di negeri khatulistiwa. Menariknya, gerakan transnasional tak sepenuhnya mengadopsi langgam negeri asal, tetapi telah mengalami metamorfosis seraya menyesuaikan dengan kebudayaan lokal.

Tantangan lain tentu saja berasal dari dalam negeri sendiri. Aliran-aliran yang meresahkan khalayak telah mengganggu keharmonisan. Untuk kesekian kalinya Majelis Ulama Indonesia menyenarai hitam (blacklist) gerakan sempalan, yang terbaru Gabungan Fajar Nusantara. Ada tiga hal penting yang perlu dicermati dari peristiwa di atas yaitu kepastian ajaran agama, stabilitas sosial, dan kekecewaan masyarakat modern.

Islam telah menegaskan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Jika ada aliran yang menyatakan ada nabi baru, otoritas agama segera meminta diusut dan menuntut aparat untuk mengambil tindakan agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Pembiaran aliran yang dianggap sesat ini bisa memicu kekerasan horizontal dan nyata-nyata telah merusak keharmonisan keluarga.

Namun, alasan kebenaran otoritas dan ketertiban sosial telah melahirkan masyarakat yang kecewa dengan kenyataan, sebuah fenomena manusia modern yang jamak terjadi pascakemajuan era industri. Bagaimanapun, sejak zaman awal Islam di Nusantara, kelompok-kelompok yang menyimpang ini telah hadir sebagai lawan arus-utama.

Segelintir penganutnya tidak menemukan kedamaian dari agama formal yang diamalkan, malah menganggapnya telah menyimpang, seperti pengakuan dr Rica Tri Handayani bahwa Islam yang ada telah melanggar akidah. Tentu, pihak berwenang, baik negara maupun agama resmi, dengan mudah menumpas gerakan sempalan ini sembari menegaskan demi keamanan dan menabalkan dirinya telah memelihara ajaran suci. Tapi, benarkah?

Akar Masalah

Seringkali kita menemukan komentar bahwa pemicu tumbuhnya aliran sesat adalah faktor pendidikan dan ekonomi. Kasus Santriloka misalnya menegaskan hipotesis ini. Gus Aan, sang pendiri aliran yang berbasis di Mojokerto ini, mempunyai latar belakang pendidikan rendah, demikian pula kebanyakan pengikut ajarannya adalah orang Marhaen.

Meskipun dua faktor ini bukan merupakan variabel mutlak, dua faktor tersebut memegang posisi penting dalam membentuk kesadaran agama seseorang, termasuk politik, sosial, dan kultural. Dengan pendekatan Marxian, agama sejatinya wujud dari kehendak materialisme sebagai infrastruktur yang menyangganya.

Tak dapat dielakkan, kesadaran mengikuti gerakan-gerakan keagamaan baru didorong oleh kehendak-kehendak untuk menemukan ketenangan, yang secara laten mengandaikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar.

Mengingat pengikut gerakan sempalan ini kebanyakan orang awam, Saifullah Yusuf, mantan menteri negara percepatan pembangunan daerah tertinggal di Era Megawati, pernah menawarkan solusi dengan mendorong pondok pesantren untuk meningkatkan bimbingan keagamaan dan mengefektifkan peran pemerintah dalam pengembangan perekonomian masyarakat.

Secara tersirat pernyataan ini bisa ditafsirkan bahwa praktik sesat itu muncul disebabkan pengawal agama gagal memberikan pemahaman yang bisa diterima oleh khalayak luas dan pada waktu yang sama kegagalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam bidang sandang- pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Menariknya, Gafatar berhasil merekrut kalangan terpelajar dan orang yang berkecukupan, malah pengikutnya rela menjual harta benda dan meninggalkan kariernya yang sudah mapan. Dengan demikian, tindakan keras pihak berwenang tidak diperlukan karena kesalahan itu tidak sepenuhnya ditanggung oleh kelompok yang mengamalkan ajaran baru yang dianggap telah menyimpang.

Jika orang pintar dan orang kaya yang menduduki jabatan elite keagamaan dan pemerintahan melihat aliran sesat sebagai ancaman kelompok tertentu saja, sejatinya mereka menutupi kelemahannya karena tidak mampu menjalankan amanah dan tanggung jawab mengurus umat. Adalah zalim menghukum mereka yang lemah, sementara mereka yang memanggul amanah tidak dihukum karena gagal menunaikan tugasnya.

Penolakan masyarakat terhadap anggota Gafatar yang mudik, seperti terjadi di daerah Bantul Yogyakarta, tentu wajah lain dari warga yang gagal melihat peta besar tentang isu sosiologis di balik fenomena organisasi besutan mantan pelatih bulutangkis, Ahmad Moshadeq, ini.

Sisi Lain

Dari kenyataan sederhana di atas, masalah aliran sesat tidak semata-mata berhubungan dengan ajaran normatif, tetapi juga berkait dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Pandangan arus-utama telah menjadi patokan untuk menilai kebenaran seraya membungkam tafsir lain terhadap pandangan dunia (weltanschauung).

Padahal, arus-utama tak sepenuhnya mengayomi warganya. Karena itu, pendekatan keagamaan semata-mata hanya akan menimbulkan benturan dan penolakan dari kelompok terkait, atau malah mereka bersembunyi untuk muncul kembali, sebagaimana diketahui umum bahwa Gafatar merupakan kelanjutan dari Al-Qiyadah al-Islamiyyah.

Menekan kelompok sempalan dengan sewenang- wenang hanya akan mengurangi kewibawaan karena kelompok semacam ini sebenarnya tidak mendapat dukungan masyarakat luas dan lemah secara politik dan ekonomi. Sejatinya, kaum agamawan belajar dari kegagalan mereka dipercayai oleh khalayak yang ingin menemukan kebenaran dalam hidupnya yang tidak hanya sekadar pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi juga ketenangan batin.

Bagaimanapun secara psikologis para pengikut ajaran alternatif menemukan kedekatan emosional dengan ajaran baru karena pemimpinnya bisa duduk bersama mereka. Meskipun, kita tidak bisa menafikan bahwa ada kelompok- kelompok sempalan yang menyuburkan fanatisme pengikutnya sebagai jalan untuk memeras mereka. Fakta penebusan kesalahan dengan denda adalah bukti nyata bahwa di sini motif ekonomi bekerja.

Bagaimanapun hubungan emosional yang akrab tentu menautkan batin patron dan klien, berbeda dengan kebanyakan para elite keagamaan yang terperangkap pada relasi majikanhamba sehingga menghalangi hubungan rapat dengan orang kebanyakan. Selagi para pemimpin keagamaan menjaga jarak dan tak peduli dengan suasana batin dan lahir khalayak, umat yang terabaikan itu akan mencari sosok pemimpin yang mau mendengar kegelisahan mereka secara langsung.

Tanpa melakukan kritik-diri, organisasi keagamaan arus-utama hanya menjadi pemadam api, bukan menyediakan ruang bagi warga untuk menemukan rumah tempat mereka menikmati kesejahteraan lahir dan batin. Lebih jauh, kaum agamawan semestinya menerjemahkan ajaran-ajaran progresif Kitab Suci terkait dengan pembelaan terhadap fakir miskin, baik kesejahteraan maupun pengetahuan, ke dalam langkah nyata.

Mereka juga harus senantiasa bersama kaum mustadmustadafin menghadapi kezaliman pengusaha-penguasa. Tentu instrumen ajaran yang layak mendapatkan pertimbangan adalah pemberdayaan zakat. Sayangnya, fungsi sosial dari rukun Islam yang ketiga ini tidak berjalan secara maksimal karena tidak diurus secara profesional.

Karena itu, tugas seperti ini seharusnya melibatkan kelompok- kelompok lain seperti aktivis, wakil rakyat, ekonom, dan ilmuwan sosial dengan menyelaraskan wewenang pemerintah yang terbatas dan kemandirian institusi keagamaan. Tanpa jalan radikal ini, peristiwa serupa akan muncul dan gerakan baru akan timbul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar