Sabtu, 27 Februari 2016

Oposisi dalam Demokrasi Kita

Oposisi dalam Demokrasi Kita

Kacung Marijan ;   Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
                                                     KOMPAS, 25 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bergabung atau bersamanya Partai Amanat Nasional dan Partai Golkar ke pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memunculkan pertanyaan tentang masa depan kelembagaan oposisi di Indonesia. Apakah oposisi itu sebenarnya relevan di dalam demokrasi kita?

Adanya kelompok yang beroposisi dalam suatu pemerintahan acap kali dijadikan sebagai rujukan untuk menilai apakah suatu pemerintahan itu demokratis atau tidak. Pemerintahan yang memungkinkan ada dan berperannya kelompok oposisi dipandang demokratis. Sementara itu, pemerintahan yang tak membuka ruang bagi kelompok oposisi dipandang tidak demokratis.

Kelembagaan oposisi

Meskipun demikian, bagaimana posisi terlembagakan dan beroperasi bisa diperdebatkan. Sistem pemerintahan dan sistem kepartaian yang dianut suatu negara, misalnya, ternyata berpengaruh terhadap kelembagaan oposisi.

Bagi negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, kelembagaan oposisi mudah dilakukan. Di sini, dalam menjalankan perannya, oposisi terus berusaha mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Ketika menemukan kesalahan yang dibuat pemerintah, oposisi akan berusaha ”menggoreng”-nya dan pada akhirnya menjatuhkannya di tengah jalan melalui mosi tidak percaya, misalnya.

Model kelembagaan semacam itu tidak berlaku pada sistem pemerintahan presidensial. Di dalam sistem ini, jangka waktu pemerintahan sangat jelas, misalnya ada yang empat tahun, lima tahun, dan enam tahun. Konsekuensinya, kerja oposisi tidak bisa berakhir di tengah perjalanan. Pihak oposisi hanya memiliki kesempatan untuk mengganti pemerintahan dalam suatu pemilihan ketika masa jabatan presiden sudah berakhir.

Sistem kepartaian yang dianut juga berpengaruh. Sistem ”dwipartai” memungkinkan kelembagaan oposisi lebih mudah dilakukan dan berjalan, baik di dalam sistem parlementer maupun sistem presidensial. Sementara pada sistem ”banyak partai”, oposisi lebih mudah beroperasi di dalam sistem parlementer dan tidak dalam sistem presidensial.

Di Indonesia, tantangan adanya oposisi itu menjadi lebih rumit karena di satu sisi Indonesia menganut sistem ”banyak partai” dan sistem presidensial, di sisi lain praktik berpolitik yang terjadi sangat cair, kalau tidak disebut sangat pragmatis.

Selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, PDI-P berusaha konsisten di luar pemerintahan. PDI-P juga berusaha kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Namun, ketika itu PDI-P tidak bisa sekonyong-konyong disebut berposisi oposisi. Dalam hal tertentu, ketika mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, politisi PDI-P kalah garang dengan sejumlah politisi yang partainya bergabung di pemerintahan, yaitu Golkar dan PKS.

Selain itu, pelembagaan oposisi semacam itu tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di daerah. Pada masa pemerintahan SBY, misalnya, Partai Demokrat bisa bergandengan dengan PDI-P di dalam membentuk suatu pemerintahan di daerah. Dengan kata lain, jalinan antara ”kawan” dan ”lawan” sangat cair, bergantung pada situasi dan kepentingan.

Upayamembangun kelembagaan dan tradisi oposisi tampak kuat pada masa dan pasca Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014. Terdapat dua pasang calon yang didukung dua koalisi besar, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Jokowi-Kalla dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung Prabowo-Hatta. Ketika Jokowi-Kalla terpilih, KMP langsung mendeklarasikan diri ada di luar pemerintahan alias beroposisi.

Upaya melembagakan oposisi itu ternyata tidak bertahan lama. Jauh hari sebelum Partai Amanat Nasional (PAN) dan Golkar menyatakan bergabung dan bersama pemerintahan Jokowi-Kalla, upaya itu telah mengalami pelemahan.

Pelemahan itu terlihat pada kegagalan di dalam membangun pola KIH-KMP dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015. Seperti terjadi sebelumnya, pembentukan koalisi untuk pencalonan di dalam pilkada dilakukan melalui perhitungan-perhitungan pragmatis. Konsekuensinya, pola koalisi berlangsung cair dan tidak mengacu pada pola KIH-KMP yang ada di pemerintahan pusat.

Selain itu, fenomena yang terjadi di dalam pemerintahan SBY juga terjadi pada pemerintahan Jokowi-Kalla. Yang melakukan kritik tajam bukan hanya dari kelompok yang mengambil peran oposisi, melainkan juga yang ada di dalam pemerintahan. Sejumlah politisi PDI-P tidak kalah garang dibandingkan politisi KMP dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi-Kalla.

Kompetitif-kritis

Berangkat dari realitas semacam itu, pelembagaan oposisi di dalam demokrasi kita sepertinya tak mudah dilakukan. Selain tak didukung desain kelembagaan politik yang ada, juga oleh praktik politik sehari-hari, bahkan termasuk budaya politik kita.

Baik sebelum maupun sesudah reformasi tidak jarang terdapat pandangan bahwa oposisi itu bukanlah bagian dari budaya politik kita. Di antara argumentasi yang dibangun adalah bahwa demokrasi kita tidak lepas dari nilai-nilai yang telah lama mengakar di dalam masyarakat, seperti nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan, serta yang bermuara pada adanya kerja sama, dan bukan nilai-nilai yang mengedepankan nilai-nilai individualisme yang bermuara pada persaingan.

Apakah dengan demikian praktik demokrasi yang kita miliki lalu sulit diberi penilaian sebagai ”demokratis”? Kalau kita merujuk pada apa yang dikatakan Robert Dahl, dua dimensi penting dari demokrasi adalah adanya public contestations dan the right to participate. Yang pertama terkait adanya persaingan di dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik melalui pemilu yang demokratis. Sementara yang kedua terkait dengan keterlibatan publik di dalam menentukan pejabat publik yang akan dipilih, dan di dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan itu.

Dalam konteks semacam itu, ada tidaknya kelembagaan oposisi bukanlah suatu keharusan di dalam demokrasi. Di dalam demokrasi, kata Robert Dahl (1971), yang terpenting adalah adanya ”the continuing responsiveness of the government to the preferences of its citizens, considered as political equals”. Pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintahan yang terpilih secara demokratis melalui kompetisi yang sehat. Sementara itu, setiap warga negara dipandang secara sama dan memiliki hak di dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan publik.

Meski demikian, kemunculan pemerintahan yang responsif itu tidaklah taken for granted, tidak semata-mata dapat dipasrahkan begitu saja karena berasumsi bahwa pemerintah itu memiliki niat dan itikad yang baik dan mulia untuk menyejahterakan rakyatnya.

Pemerintahan yang responsif membutuhkan pengawalan-pengawalan, baik yang berfungsi untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan maupun yang berfungsi sebagai pengingat agar pemerintahan itu terus berjalan baik. Adanya orang atau kelompok yang terus-menerus menjadi pengingat, dengan demikian, sangat dibutuhkan di dalam demokrasi.

Orang atau kelompok itu bisa datang dari partai (-partai) yang kalah di dalam pemilu ataupun dari internal pemerintahan sendiri. Di sini, yang penting adalah kekritisan itu dimaksudkan agar pemerintahan yang terbangun dari hasil pemilu diarahkan untuk mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar