Kamis, 04 Februari 2016

Pangan sebagai Isu Strategis

Pangan sebagai Isu Strategis

Ali Khomsan  ;   Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi, Pascasarjana IPB
                                               KORAN SINDO, 03 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika wakil presiden kita Pak Jusuf Kalla (JK) ingin tahu berapa sesungguhnya konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia, beliau dengan cerdik menyediakan 3-5 rice cooker dan kemudian memasak nasi berdasarkan data konsumsi beras nasional yang beragam.

Ada yang mengatakan konsumsi beras adalah 139 kg/kapita/tahun dan ada pula yang menyebutkan 115 kg atau bahkan lebih rendah lagi. Setelah nasi matang dan dimasukkan ke piring, Pak JK mengatakan sepertinya konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia yang relatif bisa dipercaya datanya adalah 115 kg/kapita/tahun. Data konsumsi beras maupun produksi beras mempunyai makna strategis.

Pengambilan keputusan untuk merancang program yang didasarkan pada data yang salah akibatnya bisa runyam. Di Indonesia konon segala macam data tersedia, namun yang sulit dicari adalah data yang benar. Entah ini hanya anekdot atau kenyataan. Produksi beras nasional tentu akan ditentukan luas tanam, luas panen, asumsi kehilangan produksi bila terjadi bencana kekeringan atau banjir dan sebagainya.

Kemudian, semua itu akan berdampak pada penyediaan pupuk, benih, pestisida, dan selanjutnya pada pengadaan stok Bulog serta rencana impor bila memang diperlukan. Apabila perencanaan didasarkan pada data yang tidak sahih, rentetan kerugiannya sungguh tak terbayangkan. Bung Karno pernah berkata pangan merupakan hidup matinya suatu bangsa.

Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, akan muncul malapetaka. Pada 1960-an bangsa kita pernah mengalami kesulitan pangan, rakyat antre untuk mendapatkan pangan. Sebagian masyarakat makan gaplek, tiwul, atau bulgur, bukan nasi. Saat ini pun secara insidental kita masih melihat antre saat bantuan pemerintah datang untuk masyarakat miskin.

Ketidaktahanan pangan masih tetap menjadi problem yang menghadang di depan mata dan dapat menimbulkan instabilitas politik maupun sosial. Apa yang menjadi kerisauan bangsa ini adalah hampir seluruh penduduknya gemar makan nasi. Tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pangan nasional adalah kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan. Penyelenggaraan pangan mempunyai tujuan utama yakni pemenuhan konsumsi pangan masyarakat.

Kedaulatan pangan dimaknai sebagai hak bangsa dan negara untuk menentukan kebijakan pangan. Termasuk di dalamnya hak masyarakat untuk menghidupkan potensi sumber daya lokal dalam produksi pangan. Sementara pengertian kemandirian pangan adalah menyangkut kemampuan negara dan bangsa memproduksi pangan dari dalam negeri untuk seoptimal mungkin dapat menjamin pemenuhan pangan penduduk.

Yang terakhir ketahanan pangan, ini lebih menyangkut pada aspek terpenuhinya pangan bagi negara dan perseorangan sehingga tercapai derajat hidup sehat, aktif, dan produktif. Ketahanan pangan mempunyai dimensi ketersediaan (produksi), akses (daya beli), stabilitas (sepanjang waktu), dan konsumsi (untuk kesehatan).

Produksi padi memperoleh perhatian utama karena kebutuhan dalam negeri yang luar biasa banyak. Para penyuluhpertanian selama ini lebih fokus pada produksi beras sehingga pangan sumber karbohidrat lain nyaris kurang mendapat perhatian.

Ada tiga kelompok negara yang dapat dibedakan berdasarkan keswasembadaan pangannya. Pertama, negara-negara maju (industri) yang sekaligus memiliki sumber daya pertanian yang dapat diandalkan sehingga produksi pangannya senantiasa surplus seperti Amerika, Kanada, danAustralia. Tiga negara tersebut boleh dikatakan telah berswasembada pangan.

Mereka yang digdaya dalam pangan dapat menggunakan kekuatan pangannya sebagai senjata untuk mengembargo (menyetop ekspor pangan) ke negara-negara lain yang tidak sejalan garis politiknya. Kedua, negara maju dengan sumber daya alam terbatas seperti Singapura atau Jepang.

Dua negara tersebut dapat dikatakan tidak mampu berswasembada pangan, namun ketahanan pangannya jauh lebih tinggi dibandingkan negara kita. Kita barangkali termasuk sebagai negara tipe ketiga, yaitu belum dapat disebut sebagai negara maju dan sekaligus masih mempunyai persoalan besar di bidang ketahanan pangan meski memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah.

Laporan dari Food Insecurity and Vulnerable Atlas (WFP, 2010) menyebutkan terdapat 100 dari 346 kabupaten/kota di Indonesia yang tergolong daerah rawan pangan. Ciri wilayah rawan pangan adalah tingginya persentase kemiskinan, gizi kurang, serta buruknya infrastruktur.

Daerahdaerah tersebut mungkin secara eksplisit tidak tampak sebagai wilayah yang penuh kasus kelaparan, namun sangat besar kemungkinan penduduknya mengonsumsi kalori, protein, atau zat gizi lain tidak memenuhi standar angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Pola konsumsi pangan adalah sesuatu yang sulit diubah, tetapi sejatinya dapat berubah.

Pada 1954 beras menyumbang 53,5% terhadap total konsumsi karbohidrat, kini kontribusinya mungkin telah melebihi 90%. Sementara umbiumbian yang pada 1950-an dikonsumsi oleh banyak penduduk dengan kontribusi 28,3% dari total karbohidrat, kini konsumsinya semakin berkurang.

Dalam suatu seminar yang bertajuk One Day No Rice yang dihadiri penulis beberapa waktu lalu, dikemukakan bahwa bangsa Indonesia kini dijajah Barat dan Timur dalam pola makan. Kini kita semakin banyak makan mi instan (Timur) dan roti (Barat). Tren konsumsi terigu terus merambat naik. Produk olahan terigu tersedia di berbagai warung sampai mal sehingga masyarakat mudah menjangkaunya.

Di dunia ini pemakan nasi bukan hanya bangsa Indonesia, tetapi kita adalah yang tertinggi. Per kapita per tahun konsumsi beras di Malaysia sekitar 80 kg, Thailand 70 kg, Jepang 50 kg, Korea 40 kg, dan Indonesia 115 kg. Kita merasa belum makan kalau belum bersua nasi, nasi menjadi pangan pokok paling favorit bagi masyarakat Indonesia.

Perbaikan pola konsumsi pangan untuk mengurangi proporsi nasi memerlukan beberapa prasyarat. Pertama, diperlukan pengetahuan tentang pola konsumsi pangan yang berbasis pada keberagaman. Secara filosofis pengetahuan akan membangkitkan kesadaran dan akhirnya membentuk kebiasaan.

Kedua, pemerintah harus meningkatkan aneka produksi pangan lokal sebagai sumber kalori, protein, dan gizi rakyat. Adalah omong kosong apabila kita menghendaki pengurangan konsumsi beras, namun produk-produk pangan lainnya sebagai pengganti nasi kurang tersedia di pasaran.

Ketiga, program pengentasan kemiskinan seyogianya dilakukan bukan sekadar memberikan charity seperti distribusi raskin, tetapi juga membuka lapangan kerja yang semakin luas. Kalau kita perhatikan, dalam demo-demo pekerja yang selama ini terjadi tuntutan yang sering dimunculkan adalah hapus kebijakan outsourcing.

Mengapa? Karena, outsourcing menimbulkan ketidakpastian bagi masa depan kesejahteraan pekerja. Bayangkan, para pekerja yang notabene banyak di antaranya generasi muda mereka sedang mulai menata kehidupannya. Ketika mereka bercita-cita membeli rumah, hidup berumah tangga, dan tiba-tiba kontrak kerjanya habis, pupuslah rencana kehidupannya.

Mereka harus berjuang lagi mencari pe-kerjaan baru, sementara umur berjalan terus. Sebab itu, kepastian untuk memperoleh pekerjaan tetap (bukan outsourcing) menjadi sangat penting. Akhirnya nanti mereka akan mampu mengakses pangan yang layak untuk meraih kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar