Selasa, 16 Februari 2016

Pelacuran dan Ketidakadilan

Pelacuran dan Ketidakadilan

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                               KORAN SINDO, 13 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masih terbayang dalam ingatan dan terngiang di telinga ketika Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menangis di sebuah acara televisi swasta saat menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang pelacur tua.

Yang diceritakan oleh Tri Rismaharini itu tidak hanya mengharukan, tetapi juga mengerikan. Alkisah pada suatu hari wali kota yang sangat populis itu mengunjungi satu rumah kumuh yang dihuni seorang perempuan tua. Saat bertemu dengan perempuan tua itu, Risma kaget karena pengakuan si perempuan tua bahwa dirinya adalah pelacur, penjual seks, di rumahnya yang kumuh itu.

Ya, seorang perempuan yang sudah kendur bahkan renta, agak dekil, menjadi pelacur di rumahnya yang reyot. Pertanyaannya, apa masih laku, siapa pelanggannya, dan mengapa sang nenek melakukan itu. Risma menceritakan bahwa menurut sang nenek dirinya masih cukup laku, pelanggannya adalah murid-murid SMP yang tidak jauh dari rumah si nenek.

Ya, pelajar-pelajar yang berumur sekitar 15 tahun itulah pelanggan yang biasanya datang ke rumah si nenek saat jam istirahat, sekitar pukul 9 pagi. Bayarannya, sekali main hanya Rp 1.000 (seribu rupiah). Sang nenek mengatakan pula bahwa hal itu terpaksa dia lakukan karena butuh makan untuk bertahan hidup. Katanya, dia hanya bisa hidup dengan melacur karena tak ada pekerjaan yang bisa dilakukan atau pekerjaan yang diberikan oleh orang lain kepadanya.

Cerita Risma itu mengingatkan dan memperingatkan kita bahwa kemiskinan bisa menyebabkan orang melakukan hal-hal yang tidak pantas bahkan melawan hukum. Ibu tua yang ditemui oleh Risma itulah contohnya. Dia terpaksa menjadi pelacur kumuh dan murahan karena miskin, tetapi ingin tetap bertahan hidup.

Berdasarkan hasil berbagai penelitian di Indonesia, sangat banyak perempuan melacurkan diri karena ingin bertahan hidup dalam kemiskinan yang menderanya. Banyak juga yang ingin menyekolahkan anak atau adiknya, ingin menghidupi dan mengobati orang tuanya, dan sebagainya. Problem sosial yang muncul akibat kemiskinan sangat beragam.

Sering diberitakan banyaknya anak usia sekolah yang menjadi anak jalanan untuk mengais sedekah sedapatnya. Ada juga anak yang bunuh diri karena selalu ditagih uang SPP oleh gurunya setiap masuk kelas, sementara orang tuanya tidak mempunyai uang. Tidak sedikit pula yang terpaksa mencuri atau merampok. Bahkan ada yang membunuh karena tepergok saat mencuri. Itulah akibat kemiskinan.

Kalaulah kemiskinan terjadi secara wajar, misalnya, karena tekanan situasi ekonomi dunia, mungkin masih bisa dimaklumi. Masalahnya, kemiskinan di negara kita dikontribusikan oleh ketidakadilan, misalnya, korupsi yang berkelanjutan dan masif, sementara hukum dan keadilan tumpul. Koruptor-koruptor besar sering dihukum ringan, sedangkan pencuri kambing atau pencopet dompet dihukum lebih berat.

Masih banyak terduga atau tersangka koruptor bebas berkeliaran, bahkan berpidato untuk memberantas korupsi. Selain penegakan hukum, ketidakadilan tampak juga dari kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin. Indeks kesenjangan yang sering disebut gini ratio kita sangat buruk. Indeks gini ratio kita sekarang ada di kisaran 0,43, meningkat jauh dari era Orde Baru yang hanya 0,20, padahal Orde Baru diidentifikasi sebagai rezim penuh KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Menurut para ahli, hampir tidak ada negara yang bisa bertahan dari gempuran keruntuhan jika indeks gini ratio mencapai 0,50. Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa negara yang rontok ketika indeks gini ratio nya mendekati 0,450. Ini harus kita tangani secara serius karena jumlah orang miskin di Indonesia meningkat menjadi sekitar 29 juta jiwa.

Kemiskinan kita banyak dikontribusikan oleh ketidakadilan, baik karena tidak tegaknya hukum maupun karena kerakusan. Menurut fakta sejarah dan temuan para ahli, ketidakadilan selalu mengancam eksistensi negara. Logikanya sederhana, jika rakyat selalu diperlakukan tidak adil tanpa keberdayaan negara untuk menolongnya maka lama-lama akan timbul disobedience (pembangkangan), dan pembangkangan yang berkepanjangan bisa menimbulkan disintegrasi.

Merefleksi cerita Risma dan perkembangan keadaan sampai sekarang ini, saya tidak beranjak dari pandangan bahwa basis nasionalisme saat ini adalah penegakan hukum dan keadilan. Hal itu pun sudah saya kemukakan dalam orasi saat penganugerahan People of the Year (POTY) oleh Harian Seputar Indonesia (KORAN SINDO) awal 2010.

Ketika itu saya mengatakan, jika nasionalisme diartikan sebagai rasa cinta, rasa memiliki, dan sikap ingin mempertahankan negara maka jika kita ingin menjaga nasionalisme Indonesia saat ini adalah menegakkan hukum dan keadilan. Pada masa revolusi sampai belasan tahun perjalanan kita bernegara, nasionalisme kita ditunjukkan dengan sikap patriotik dan siap berperang melawan penjajahan asing atau kaum separatis.

Pada waktu itu, negara memfasilitasinya dengan persenjataan dan pembinaan tentara yang kuat dan berani dengan dukungan rakyat yang juga ikut berperang menggunakan senjata apa adanya hingga muncul senjata khas rakyat, bambu runcing. Tetapi percayalah, basis nasionalisme kita saat ini haruslah bertumpu pada penegakan hukum dan keadilan, bukan pada perang fisik dan senjata-senjata.

Musuh kita yang dominan saat ini bukan serangan dari negara lain, bukan juga separatis, melainkan ketidakadilan dan kerakusan di kalangan pejabat-pejabat kita sendiri. Munculnya radikalisme, misalnya, bukan semata-mata karena ideologi, melainkan karena menumpang pada fakta ketidakadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar