Kamis, 18 Februari 2016

Perang Diplomasi Dagang di Pasifik

Perang Diplomasi Dagang di Pasifik

Bayu Krisnamurthi  ;  Dosen IPB; Wakil Menteri Perdagangan RI 2011-2014
                                                     KOMPAS, 17 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam setiap kisah yang menceritakan peperangan-misal pertempuran di Kurusetra dalam kisah Baratayudha atau pertempuran di Middle Earth karya Tolkien-selalu digambarkan pertempuran adalah kebaikan melawan kejahatan.

Maka, di semua kisah itu kebaikan selalu menang. Namun, dunia nyata diplomasi perdagangan tidaklah demikian.

Diplomasi dagang memang suatu "peperangan" karena setiap negara ingin-dan harus-memperjuangkan kepentingannya. Hanya saja, peperangan itu bukan antara yang baik dan jahat, tetapi antara yang baik dan yang baik dilihat dari kepentingan masing-masing. Akibatnya, "perang" diplomasi dagang menjadi jauh lebih kompleks karena pihak yang "berperang" tidak lagi hanya satu lawan satu yang mudah membedakan siapa lawan dan siapa sekutu.  Perang diplomasi sering tak berwujud dan beberapa pihak yang terlibat lebur dalam satu peperangan besar. Semua lawan sekaligus kawan.

Itulah yang bisa dibayangkan dengan Trans Pasific Partnership (TPP) yang baru saja ditandatangani 4 Februari 2016 di Auckland, Selandia Baru. Dua belas negara bersama-sama lebur dalam satu ajang perang diplomasi dagang. Maka, ketika mencapai kesepakatan, mereka menyebutnya kemenangan bersama.

Keberadaan TPP jelas akan sangat memengaruhi sistem perdagangan di kawasan, bahkan akan memengaruhi perdagangan dunia. TPP dianggap sebagai kesepakatan dagang terbesar setelah kesepakatan GATT/WTO.

Indonesia di TPP

Indonesia dikabarkan bersiap-siap bergabung dalam TPP. Apa yang kiranya akan dihadapi Indonesia dalam perang diplomasi dagang di Pasifik itu?

Pertama, Indonesia menjadi pendatang baru di tengah kesepakatan yang sudah ditandatangani. Artinya, Indonesia harus menerima kesepakatan yang ada sebagai awal landasan runding dengan negara-negara yang sudah lebih dulu masuk. Indonesia harus benar-benar mencermati 6.000 halaman lebih dokumen kesepakatan untuk melihat apakah kata-kata dan kalimat-kalimat yang digunakan masih memungkinkan Indonesia membawa kepentingannya atau harus "ikut" dengan apa yang sudah tertulis (yang mungkin juga sesuai keinginan kita).

Kedua, Indonesia perlu mencermati bagaimana perimbangan kekuatan di antara peserta TPP dan bagaimana hubungan dagang negara-negara itu dengan Indonesia. Ada AS yang ekonominya jauh lebih besar dari anggota TPP lainnya, salah satu negara mitra dagang Indonesia terbesar. Ada Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Brunei yang sudah bersama-sama Indonesia di ASEAN. Ada Jepang, Australia, dan Selandia Baru yang sudah bersepakat dagang dengan Indonesia ataupun ASEAN. Ada Kanada, Meksiko, Cile, dan Peru yang masing-masing juga memiliki berbagai bentuk kerja sama dagang dengan Indonesia.

Ketiga, dalam proses perundingan dan dokumen TPP sangat terlihat kepemimpinan AS. Dapat dimengerti, AS adalah ekonomi terbesar di TPP dan dunia dengan PDB sekitar 17,5 triliun dollar AS. Jika ekonomi 11 negara TPP lain dijumlahkan pun, masih lebih kecil dari AS. Oleh sebab itu, banyak yang menyebut TPP sangat "terasa" aroma AS-nya.

Misal, sejak dulu AS selalu mendorong pengadaan pemerintah (government procurement) dilaksanakan dengan mekanisme pasar, tidak boleh ada keistimewaan bagi BUMN. Namun, di sisi lain, AS selalu menolak jika subsidi pertanian dihapuskan, seperti pada kasus subsidi kapas. AS juga selalu bertahan dengan hak paten obat-obatan, padahal di WTO diakui ramuan obat dapat dijadikan produk generik. Contoh-contoh itu terlihat jelas pada hasil kesepakatan TPP.

Kuatnya pengaruh AS di TPP tidak selalu berarti buruk karena banyak posisi runding dan konsep AS yang cukup logis dan sesuai prinsip universal. Namun, kita harus sadar, memperjuangkan kepentingan Indonesia di TPP artinya harus melalui proses meyakinkan dan dapat persetujuan AS.

Keempat, meski sudah ditandatangani di Selandia Baru, TPP baru akan berlaku jika telah diratifikasi melalui proses perundang-undangan di 12 negara anggotanya. Hal ini masih penuh ketidakpastian, termasuk di AS. Calon-calon presiden AS-baik dari Demokrat maupun Republik-mengisyaratkan tentangan yang kuat atas kebijakan Presiden Obama dengan TPP. Belum lagi masalah di Kongres dan Senat serta tentangan publik AS. Joseph Stiglitz-peraih hadiah Nobel Ekonomi dari AS-menulis di The Guardian (10/1/2016) tentang harapannya untuk kesepakatan dagang yang lebih baik dan matinya TPP.  Proses politik di negara-negara anggota TPP lain juga belum tentu lancar.

TPP vs RCEP

Kelima, selain mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN-dengan empat negara ASEAN sudah masuk TPP-Indonesia juga tengah berunding dan menjadi koordinator dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ada tujuh negara TPP yang ikut berunding di RCEP. Lalu ada perundingan APEC dan beberapa proses perundingan bilateral yang juga tengah diikuti Indonesia.

Belum lagi kepemimpinan Indonesia di G33 dan implikasi politiknya yang bisa mendukung kepentingan Indonesia di forum global. Semua itu harus dikelola sebaik-baiknya dengan kejelasan arah dan kepemimpinan konsisten agar sinkron satu sama lain.

Perang diplomasi dagang yang besar memang sedang berlangsung di Pasifik. Indonesia sudah ada dalam peperangan itu.  TPP merupakan front baru dalam peperangan besar itu. Ikut atau tidak ikut TPP akan membawa risiko yang tidak ringan bagi Indonesia, selain membuka peluang dan manfaat. Namun, dalam situasi perang diplomasi dagang seperti saat ini, yang paling buruk dan tak ada manfaat justru jika kita tidak berbuat apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar