Rabu, 03 Februari 2016

Rekonstruksi Islam sebagai Ideologi Pembebasan

Joko Arizal  ;   Mahasiswa Pascasarjana Fisipol Univeristas Gadjah Mada
                                             INDOPROGRESS, 01 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SISTEM kapitalisme yang selama ini dipuja (sadar atau tidak) berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ternyata memiliki catatan hitam yang amat mengerikan. Di bawah sistem ini manusia tak ubahnya seperti benda-benda (reifikasi) yang diperas tenaganya untuk memenuhi keuntungan pemilik modal. Kapitalisme, yang merupakan bagian dari modernitas, telah membawa bencana kemanusiaan; secara psikologis, manusia menjadi makhluk mekanik yang mengalami alienasi. Sedangkan secara ekonomi dan sosial, sistem ini telah membangun kesenjangan sosial yang semakin akut. Secara global, kapitalisme telah menyebabkan keterbelakangan di berbagai negara. Keterbelakangan ini bukan disebabkan oleh teologi, budaya atau mentalitas, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakadilan hubungan antara dunia maju dengan dunia ketiga, yang berwatak imperialis-eksploitatif dan perilaku tidak adil melalui hubungan dan cara produksi yang menghisap.

Keberadaan sistem kapitalisme seakan-akan tak bisa dibendung, malah semakin menggurita dan membentuk budaya konsumerisme. Masyarakat secara luas sangat mudah terperangkap dalam jaringan itu yang tanpa disadari telah membunuh dirinya sebagai subjek yang otonom. Bahkan, agama selaku penjunjung tinggi nilai kemanusiaan, tak berdaya berhadapan dengan sistem kapitalisme yang dehumanis. Justru sebaliknya, ketika agama menjadi bagian budaya konsumerisme yang dikendalikan oleh para kapitalis secara tidak langsung dan perlahan telah meluluhkan agama dari makna liberasi dan emansipasi. Agama lalu kehilangan daya revolusionernya.

Padahal dalam sejarah umat manusia, kehadiran para Nabi yang membawa suatu ajaran (agama) sangat revolusioner dalam arti pembebasan. Ibrahim adalah cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan berhala-berhala. Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme. Isa adalah revolusi ruh atas dominasi materialisme. Muhammad merupakan teladan bagi kaum tertindas yang berhadapan dengan konglomerat (elit Quraisy) dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih, persaudaraan dan egaliter.

Risalah yang diturunkan kepada Muhammad berkaitan dengan penyeruan tauhid, baik dalam pengertian membebaskan manusia dari penghambaan selain Tuhan penciptanya, juga penghambaan dalam arti hancurnya solidaritas sosial (saat itu semangat individualisme muncul sangat kuat akibat serakahnya manusia dalam menumpuk harta untuk mengukuhkan status quo). Kelompok masyarakat yang menjadi sasasan utamanya adalah kaum musyrikin, terutama elit dan pedagang Quraisy. Masyarakat Makkah dalam wujud teologis adalah penyembah berhala, dan dalam wujud sosialnya merupakan bangunan masyarakat yang secara ekonomi, sosial dan politik dalam kendali dan hegemoni elit Quraisy yang eksploitatif. Pesan-pesan yang dibawa oleh Muhammad adalah untuk membongkar sistem kepercayaan palsu dan sistem sosial hegemonik Quraisy.

Di sini, misi utama Islam adalah pembebasan. Yaitu membebaskan manusia dari segala pengekangan, penindasan, ketidakadilan, kepercayaan palsu dan semua yang menghambat manusia untuk hidup sesuai dengan fitrahnya. Sehingga secara eksistensial, kehadiran Islam hendak mengembalikan manusia kepada perannya, khalifah Allah di muka bumi.

Apabila di Makkah misi utama Nabi terkonsentrasi pada pembebasan (liberasi), maka di Madinah lebih pada pembangunan dan memperkuat solidaritas sosial yang lebih transenden dan mempertemukan mereka dengan latar belakang sosial yang berbeda. Di sini, Nabi menyatukan kaum Muhajirin, Anshor, Yahudi, dan Nashrani dengan sebuah kontrak sosial yang dikenal dengan “Piagam Madinah.” Menurut Robert N. Bellah, kontrak sosial yang dibentuk oleh Muhammad merupakan model kontrak modern dan demokratis pertama dalam sejarah umat manusia. Di bawah kepemimpinan Muhammad, masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik.

Model Makkah dan Madinah yang terdiri dari konsep pembebasan dan pembangunan inilah dapat dijadikan salah satu contoh bagaimana Islam menjadi spirit perubahan sosial. Untuk mencapai perubahan itu diperlukan kesadaran kolektif mengenai masalah yang dihadapi, dan diharapkan dapat membawa subjek pada kesadaran akan situasinya. Kesadaran tersebut akan membawa pada kepercayaan bahwa suatu realitas bisa diubah. Hal ini dikarenakan realitas sosial merupakan realitas terlibatnya manusia dalam proses sejarah.

Dalam konteks masyarakat modern yang semakin komplek, di mana agama mulai mengalami kehilangan daya emansipatoris, diperlukan ijtihad menggali api Islam yang menggugah kesadaran sosial. Untuk itu, suatu gerakan agama, dalam hal ini Islam, harus berpadu dengan analisa sosial. Analisa sosial memberikan peta ke mana gerakan tersebut harus direkayasa, sementara itu agama memberikan semangat ideologis dan komitmen imannya. Dengan cara itu kita bisa mengharapkan agama sebagai kritik ideologi, sekaligus melibatkan masyarakat dalam gerakan sosial itu yang selama ini ekslusif dan bersifat elitis, dalam arti merupakan rekayasa yang dipikirkan oleh seorang intelektual tanpa melibatkan mereka yang menderita.

Dalam kenyataan sosiologisnya, agama merupakan universal simbolicum yang paling efektif dalam melegitimasi kepentingan-kepentingan atau relasi kuasa kelas dominan dalam proses sosial. Praksis agama seperti ini akan menjadi nyata, manakala kita terlibat dalam aksi sosial. Bentuk aksi sosial itu bisa bermacam-macam, tergantung dari konteks sosial yang dibutuhkan. Tapi yang paling penting adalah pengembangan kesadaran (raissing consciousness), yaitu mengusahakan pertumbuhan kesadaran sosial-keagamaan, supaya aksi-aksi sosial benar-benar muncul dari keputusan yang idelogis, rasional dan matang.

Penyadaran dibutuhkan dalam pemikiran keagamaan dewasa ini, karena penyadaran akan membuat seorang individu beragama secara kritis dalam melihat keterkaitan sosial terhadap apa saja yang terjadi di sekitarnya. Penyadaran ini akan membantu individu dan masyarakat berkembang dari tahap kesadaran konformis dan reformis menuju pada kesadaran kritis-transformis. Dalam usaha ini, perspektif transformatif akan memberikan dorongan psikologis-religiusnya. Agama adalah the inner dimention of man yang paling hakiki dan paling berperan dalam memotivasi bagaimana manusia harus hidup dan bertindak, termasuk bentuk-bentuk kerangka orientasinya dan objek pengabdiannya.

Islam tidak membenarkan pemeluknya pasif dan apatis, sementara orang lain teraniaya. Orang-orang yang tidak berjuang untuk membebaskan orang yang lemah dan tertindas, tidak bisa mengaku benar-benar beriman dan hanya beriman secara verbal. Umat Islam mesti benar-benar menyadari bahwa cita-cita Islam adalah terwujudnya ummah al wahidah (sebuah tatanan masyarakat yang terintegrasi, utuh dan terpadu), ummah al washatan (masyarakat penengah, moderat dan adil) dan khair al ummah (masyarakat yang unggul). Inilah pemikiran keagamaan yang berusaha memberi jawaban dan komitmen keagamaan atas situasi dehumanisasi dari dunia modern-kapitalistik.

Dari cita-cita luhur ini, jelaslah bahwa Islam tidak hanya mementingkan pengembangan spiritual dan moral pada level individu, tetapi kesadaran eksistensial yang turut-serta berperan dalam pembangunan masyarakat. Untuk menjadikan Islam sebagai amunisi perubahan sosial, mesti dilakukan pengubahan paradigma. Moeslim Abdurrahman, misalnya, memaknai Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan teologisnya (apalagi yang telah dibakukan oleh ulama), justru muncul dalam pergulatan sehari-hari para umatnya untuk menegakkan cita-cita keadilan. Islam adalah ruh kemanusian yang paling sejati yang menuntun peradaban, terutama dalam pemerdekaan dan pembebasan (liberation), baik bagi kesadaran orang per orang maupun secara kolektif, untuk mewujudkan keadaban (amar bi al ma’ruf) dan peradaban dalam arti menghidupkan cita-cita kemanusiaan yang merdeka, bebas dan terhormat (nahy munkar).

Kebenaran yang berlandaskan pemerdekaan bukanlah terletak pada kemampuan bagaimana hebatnya wacana dan nalar yang dirumuskan. Justru kriteria dasar untuk melihat apakah makna Islam telah menggerakkan emansipasi kemanusiaan haruslah dilihat dari proses empiris yang sedang berlangsung. Dengan demikian Islam menjadi gagasan sejarah yang bergerak, dan bukan sekedar memperkaya khazanah intelektual yang mengambang, tidak jelas memihak dan melakukan penghadangan terhadap proses dehumanisasi dan marginalisasi sosial.

Moeslim ingin mencari moda interpretasi orto-praksis, bagaimana mempertautkan (bahkan mengkonfrontasikan) hubungan antara iman dengan realitas perubahan sosial. Karena tujuan risalah Islamiyah adalah bagaimana ide agama dalam pergulatan hidup secara kolektif berperan dalam menegakkkan tatanan sosial yang adil, sebagai cita-cita ketakwaan. Moeslim mengupayakan bagaimana mengaitkan Islam sebagai ideologi perubahan yang menggugah kesadaran emansipatoris, terutama yang bersifat struktural dan bukan Islam sebagai kegiatan dakwah yang terlalu mengutamakan kesalehan ritual. Baginya, Islam merupakan agama yang prinsip-prinsipnya tidak hanya didasarkan pada ritual atau spiritual spekulatif, tapi yang paling fundamental ialah menjaga agar nilai-nilai kemanusiaan tidak dimanipulasi atau secara moral diselewengkan oleh sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar