Minggu, 07 Februari 2016

Staf Ahli

Staf Ahli

Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                              KORAN TEMPO, 06 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Janganlah menduga saya mau membahas kasus Masinton Pasaribu versus Dina Aditia Ismawati. Saya bukan "pengamat sorot mata", juga bukan "pengamat kebijakan publik", apalagi "pengamat perilaku pejabat", jenis-jenis pengamat yang tak saya ketahui ujung-pangkalnya. Bagi saya, Masinton versus Dita diserahkan ke "pengamat sinetron", ibu-ibu rumah tangga pasti tertarik menonton kalau kisah ini disinetronkan. Ada lelaki dan perempuan, ada dua partai berbeda, ada batu akik, ada kafe, ada tuduhan orang mabuk, lalu ada tonjokan.

Maaf, masalah yang saya soroti lebih ilmiah, ibu-ibu rumah tangga tak akan tertarik. Soal staf ahli yang ada di mana-mana. Staf ahli, sesuai dengan namanya, seharusnya lebih ahli daripada staf yang biasa. Ternyata dalam praktek, staf ahli itu adalah jabatan yang tak disukai banyak orang. Karena tak jelas pekerjaannya. Seorang teman bercerita, bapaknya yang perwira menengah kepolisian, status jabatannya "sedang parkir". Lo, maksudnya apa? Dijadikan staf ahli.

Tentu tak semua lembaga pemerintah menjadikan staf ahli dalam status "sedang parkir". Di DPR, staf ahli itu bergengsi dan persyaratan pengangkatan pun berat. Karena itu, DPR tak mau menyebutnya staf ahli, melainkan tenaga ahli. Sementara persyaratan anggota DPR boleh cuma berijazah sekolah menengah atas-kalau nasib apes bisa memakai sertifikat Kelompok Belajar (Kejar) Paket C-tenaga ahli harus lulus Strata-2 dengan IPK minimum 3. Hal ini diatur dalam Peraturan DPR Nomor 3 Tahun 2014.

Jumlah tenaga ahli DPR terus bertambah. Pada periode 2004-2009, setiap anggota DPR didampingi satu tenaga ahli. Pada periode 2009-2014, jumlah tenaga ahli bertambah menjadi dua untuk setiap anggota DPR. Periode 2014-2019, jumlahnya paling sedikit lima orang untuk setiap anggota DPR. Begitu banyak tenaga ahli, maka perlu ada tenaga administrasi, yang jumlahnya dua orang untuk setiap anggota DPR. Jadi, satu anggota DPR minimum-boleh dibaca: paling sedikit-didampingi tujuh orang "tenaga tambahan". Beralasan kalau ruang kerja DPR semakin sumpek dan perlu diperluas, perlu membangun gedung.

Apa manfaat 5 tenaga ahli dan 2 tenaga administrasi untuk masing-masing anggota? Tergantung diamati dari mana: sorot mata, kebijakan, atau perilaku. Jika bicara positif, produk legislasi DPR menjadi sangat bermutu-sedikit-sedikit ada ahlinya. Sidang paripurna full terus karena setiap anggota mendapat masukan bahan dari tenaga ahlinya untuk berdebat. Perdebatan pun tajam tapi sopan karena tenaga ahlinya mengingatkan adanya etika dan sopan santun. Jika ada wakil rakyat yang mengusulkan agar presiden memecat menteri tertentu, tenaga ahli segera menasihati, "Mbak soal menteri hak prerogatif presiden lo..." Siapa tahu wakil rakyat itu mantan pemain sinetron yang tak paham konstitusi.

Apa yang terlihat saat ini? Jauh panggang dari api. Dengan didampingi 7 orang tenaga, produk legislasi DPR justru keteteran. Mutu anggota DPR dibiarkan jadi menurun, baik karena rekrut di partai asal-asalan maupun karena membeli suara, toh ada banyak tenaga ahli. Celakanya, tenaga ahli yang diangkat itu serba tak jelas, apakah diseleksi sebelumnya, siapa yang menyeleksi. Seharusnya ada evaluasi tenaga ahli ini, apa tak kebanyakan?

Anggota DPR Masinton menjemput tenaga ahlinya, Dita, malam-malam di sebuah kafe. Tiba-tiba keduanya bertengkar dan ada yang main tonjok. Saya gagal paham apa hubungan anggota DPR dengan tenaga ahlinya malam-malam di kafe jika dikaitkan dengan nasib rakyat? Jangan-jangan mereka tak paham bahwa gaji mereka dibayar oleh pajak rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar