Sabtu, 06 Februari 2016

Uji Publik Televisi Swasta

Uji Publik Televisi Swasta

Triyono Lukmantoro  ;   Dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang
                                            SUARA MERDEKA, 04 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

UJI publik yang akan dijalankan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap sepuluh stasiun televisi swasta yang akan berakhir masa siarannya menimbulkan debat berkepanjangan. Perdebatan itu justru menunjukkan politisasi terhadap stasiun-stasiun televisi swasta memang tidak pernah berhenti.

Pada satu aspek harus dilihat bahwa stasiun-stasiun televisi yang dimiliki oleh beberapa gelintir pengusaha itu berposisi sebagai mesin uang karena mampu mengeruk banyak iklan. Itulah aspek komersial yang selalu melekat pada industri penyiaran yang dikendalikan oleh kalangan pemilik modal.

Tetapi, pada sisi lain, para pemilik modal itu juga memiliki kepentingan politis yang besar. Mereka pun menjadi penguasa partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Uji publik yang menghasilkan perdebatan sengit itu harus dibaca sebagai pertarungan kuasa modal dan politik pada satu bagian. Sementara itu, bagian lainnya adalah kepentingan publik yang selama ini sengaja dibungkam.

Secara teknis debat itu bergulir akibat acuan yang digunakan berbeda. KPI merujuk pada Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 33 Ayat 3 yang secara tegas mengemukakan bahwa pemberian izin penyelenggara penyiaran berdasarkan minat, kepentingan, dan kenyamanan publik. Posisi KPI amat jelas membela kepentingan publik dalam konteks demikian.

Sebab, memang, KPI harus menjalankan advokasi terhadap kepentingan publik. Tanpa dukungan rakyat, dan jika KPI tidak sudi membela aspirasi publik, maka stasiun-stasiun televisi swasta itu makin bermotif profit dan demokrasi terus defisit.

Fenomena yang aneh, dan demikian ajaib, justru ditunjukkan kalangan anggota DPR yang tidak setuju dengan uji publik. Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mempunyai anggapan bahwa KPI tidak mempunyai dasar hukum dalam persoalan ini. Uji publik tidak bisa menjadi dasar poin penilaian bagi televisi swasta. Arief Suditomo, anggota Komisi I DPR, berpendapat uji publik rawan direkayasa.

Sebab, bisa saja melalui social pressure (tekanan sosial) yang direkayasa melalui media sosial menjadi kesimpulan yang diambil KPI. Sementara itu Tantowi Yahya, Wakil Ketua Komisi I DPR, pun menyatakan senada dengan menegaskan bahwa uji publik yang bakal dijalankan KPI itu sekadar duplikasi belaka.

Bermakna Dekoratif

Mengapa anggota DPR, yang juga merupakan realisasi dari kepentingan publik, justru tidak setuju dengan uji publik yang akan dioperasikan KPI? Publik menjadi diksi, sebuah pilihan kata, yang acapkali terlontar dalam perpolitikan kita.

Namun, ketika publik itu diucapkan oleh kalangan anggota DPR ataupun kalangan industrialis televisi (dan radio), maka serentak dengan itu nilai-nilai dasar kepublikan mengalami kematian.

Publik menjadi kata yang bermakna dekoratif belaka dalam penyiaran di negeri ini. Publik tidak lebih dipahami sebagai penonton bayaran yang bisa bernyanyi dan berjoget bersama dengan selebriti yang sedang mempromosikan lagu terbaru.

Publik juga tidak lebih diposisikan sebagai angka- angka statistik yang dijual kepada calon pemasang iklan pada acara-acara tertentu yang dianggap memiliki rating tinggi. Itulah tragedi mengerikan ketika publik telah sengaja dilenyapkan dalam industri penyiaran.

Apakah selama ini stasiun-stasiun televisi swasta, yakni RCTI, SCTV, Indosiar, MNC TV, ANTV, TV One, Metro TV, Trans TV, Global TV, dan Trans 7, yang pada 2016 ini akan tuntas masa siarannya telah memenuhi aneka kepentingan publik? Tidak terlalu rumit dijawab.

Catatan- catatan dan berbagai teguran yang telah dilontarkan KPI dan KPID sudah lebih dari cukup memberikan jawaban bahwa seluruh stasiun televisi swasta itu masih jauh dari kepentingan publik.

Realitas yang lebih ironis dan demikian tragis adalah stasiun-stasun televisi swasta telah dengan sukses menjadi mesin propaganda bagi pemiliknya untuk menjarah kesadaran publik.

Fenomena vulgar ini bisa disimak ketika pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2014 berbagai stasiun televisi swasta begitu manis memberitakan sejumlah partai politik yang dipimpin si pemilik modal.

Namun, seketika itu berubah menjadi cerewet dan membuat mual ketika menyoroti aneka partai politik lain yang menjadi pesaingnya. Gejala serupa terjadi ketika Prabowo Subianto dan Joko Widodo berhadaphadapan memperebutkan kursi kepresidenan.

Ternyata, tidak hanya sekian partai politik yang menjalankan koalisi. Stasiunstasiun televisi swasta itu pun melakukan koalisi politik untuk menggelorakan kehebatan calon presiden idaman sendiri sambil terus mencaci-maki calon presiden lain yang dimusuhinya. Keadaan penyiaran yang dikendalikan rezim libertarian ini menjadikan berbagai stasiun televisi swasta memihak kepada kepentingan dan kebutuhan individual.

Pada konteks inilah, tidak heran pula jika selera politik dan akumulasi modal secara mutlak berada pada genggaman segelintir kapitalis industri televisi. Melalui uji publik yang akan dikerjakan KPI, diharapkan kekuasaan rezim libertarian ini dapat dikontrol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar