Sabtu, 30 April 2016

Musim Politik Basuki


Musim Politik Basuki

Budiarto Shambazy  ;   Wartawan Senior KOMPAS
                                                        KOMPAS, 30 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kita memasuki musim politik yang "tidak biasa" sehubungan dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang baru akan berlangsung Februari 2017. Musim politik menjadi tidak biasa karena situasi dan kondisi politik nasional beberapa bulan terakhir sudah mulai panas sekalipun Pilgub DKI masih lama.

Sikon (situasi dan kondisi) menjadi panas karena Gubernur DKI merupakan jabatan vital dan strategis, terutama sebagai administrator ibu kota negara yang layak dipandang sebagai "Indonesia kecil" ini. Ada fenomena baru: jika sukses memimpin ibu kota, sang gubernur sudah "naik kelas" untuk memimpin sebagai Presiden Indonesia.

Suka atau tidak, itulah yang dijalani Presiden Joko Widodo yang melompat dari Jalan Merdeka Selatan ke Jalan Merdeka Utara. Terlebih lagi Jokowi memenangi Pilgub DKI 2012 berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang sekarang Gubernur DKI.

Jadi, ada anggapan upaya Basuki terpilih kembali menjadi Gubernur DKI sebagai batu loncatan untuk menuju ke panggung nasional. Basuki sekurang-kurangnya diasumsikan akan mendampingi Jokowi sebagai wapres tahun 2019.

Tidak ada yang keliru dengan ambisi memasuki panggung nasional. Dalam politik berlaku pepatah "gantungkanlah cita-citamu setinggi langit biru".

Dan, kita melihat pula sejumlah bacagub/bacawagub lain yang tentu saja mematok target yang serupa. Sebagai informasi, kini telah beredar lebih dari 30 nama yang sudah mendaftarkan diri sebagai bacagub/bacawagub ke sejumlah partai.

Masih ada waktu beberapa bulan bagi partai untuk menyesuaikan diri dalam penjaringan bakal calon gubernur/bakal calon wakil gubernur (bacagub/bacawagub). Politik tak mudah diduga akhir ceritanya, yang bahagia jadi kecewa atau sebaliknya.

Bukan mustahil PDI-P, misalnya, akan mendukung duet Basuki-Djarot Saiful Hidayat pada saat-saat terakhir atas perintah Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Juga bisa terjadi lagi, Gerindra kembali membujuk Basuki "pulang ke rumah".

Musim politik yang tidak biasa ini menjadi panas karena kita warga Jakarta berkesempatan menyaksikan puluhan nama bacagub/bacawagub yang beredar di media massa ataupun media sosial. Banyak di antaranya nama-nama beken, seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, pengusaha muda Sandiaga Uno, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, musisi Ahmad Dhani, dan seterusnya.

Pilgub belum terjadi, tetapi prosesnya telah menjadi sebuah political catwalk yang ingar bingar. Setiap bacagub/bacawagub unjuk diri dengan pernyataan, tampilan, taglines, dan program yang layak jual.

Yusril, misalnya, memperkenalkan program pemprov akan membeli sampah dari warga Jakarta. Teguh Santosa menyajikan tagline siap 24 jam bekerja untuk melayani warga.

Akan lebih banyak manfaatnya bagi kita warga Jakarta mendengar, melihat, dan mempelajari program-program mereka. Akan lebih banyak mudaratnya bagi kita warga Jakarta dicekoki fitnah-fitnah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang murahan.

Melihat Pilgub DKI 2012, fitnah-fitnah SARA sudah tidak laku lagi. Warga ibu kota Jakarta sudah lama rasional dan akan memilih pemimpin yang bekerja melayani kepentingan mereka sehari-hari.

Musim politik yang tidak biasa ini menjadi panas karena melibatkan pula pemerintah pusat, KPK, dan BPK yang berkaitan dengan reklamasi Teluk Jakarta dan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Entah sudah berapa puluh orang, termasuk Basuki, yang telah dipanggil menjadi saksi KPK.

Namun, kini kita warga Jakarta menjadi paham bahwa reklamasi yang diputuskan sejak era Orde Baru itu ada positif dan negatifnya. Kita juga menjadi tahu bahwa di lahan RS Sumber Waras itu akan dibangun rumah sakit kanker berkapasitas 1.000 tempat tidur.

Musim politik yang kali ini tidak biasa menjadi panas karena sosok Basuki sebagai petahana. Oleh sebab itu, adalah wajar Basuki berada dalam posisi defensif diserang para bacagub/bacawagub.

Sama seperti sejumlah pemimpin daerah yang terbilang sukses, Basuki masuk dalam kategori pemimpin yang otentik. Pemimpin yang otentik itu bersikap dan berkata apa adanya, kurang sempurna karena bukan malaikat, dan sukar berubah.

Bagi sebagian warga, Basuki dipandang sebagai "figur pemecah belah" (a dividing figure). Namun, sekurang-kurangnya jika merujuk pada pengumpulan dukungan lewat KTP yang diorganisasi oleh kelompok relawan Teman Ahok, tak sedikit pula warga Jakarta yang ingin Basuki terpilih kembali.

Begitulah musim politik yang tidak biasa yang sedang kita masuki ini. Inilah "musim politik Basuki" yang akan kita jalani sampai akhir masa jabatan Oktober 2017 atau terus berlanjut setelah itu?

Memaknai (Lagi) Ontosoroh

Memaknai (Lagi) Ontosoroh

Agus Hernawan  ;   Penyair; Terlibat dalam berbagai kerja edukasi dan advokasi sejak 1999; Pernah terlibat di  Tim Advokasi Child Labor-Firestone, di Liberia, Afrika
                                                        KOMPAS, 30 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

A settled home

for white settlers!

Demikian Hindia Belanda diinginkan di suatu waktu imperial. Waktu itu dimulai pangkal abad ke-20.

Keberhasilan aneksasi pulau-pulau di luar Jawa sepanjang abad ke-19 dengan patok kekuasaan mulai dari Sumatera-Aceh masih pengecualian-sampai ke Benteng Dus Bus di Lobo, Papua, mendorong reorientasi penguasaan. Jika tujuan awal VOC sekadar mencari kekayaan, sejak pangkal abad ke-20 itu Hindia Belanda diproyeksikan jadi mukim permanen orang Putih.

Linda Tuhiwai Smith (2005) menguraikan bagaimana imperialisme abad ke-20 itu berlangsung. Ia tidak lagi semata bertopang di ekspedisi militer dan ekspansi ekonomi, tetapi mewujud sebagai satu kesatuan analisis dan diskursif di wilayah pengetahuan. Pengetahuan jadi perangkat ideologi imperial untuk melahirkan kebudayaan, tradisi intelektual, dan ekspresi teknis. Tradisi penulisan yang melakukan pemisahan ketat antara sastra dan sejarah adalah salah satu bentuk ekspresi teknis itu.

Fokus dialihkan dari struktur ke kultur. Kekuasaan merangkul pengetahuan. Monopoli ditukar hegemoni. Aneksasi diganti legitimasi. Ilmu pengetahuan jadi subtle ways, penjinakan dan penundukan secara halus guna melahirkan kepatutan menurut "etika kolonial". Di titik ini, seperti dinyatakan Edward Said, pengetahuan jadi cara-cara sistematik untuk menaklukkan orang lain (subjugation of others), sekaligus "bahan baku" ("raw material") bagi mesin produksi imperial.

Narasi yang mengacaukan

Novel Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer diterbitkan pertama kali bulan Juli 1980.  Bumi Manusia bertahan hanya enam bulan sebelum dibredel oleh Jaksa Agung melalui SK-052/JA/5/1981. Respons kekuasaan di bandul kecurigaan, juga kepandiran.  Padahal, novel Pram ini membuka ruang bertemu sastra dan sejarah. Bahkan, Keith Foulcher menyebut Bumi Manusia memuat kemungkinan didaktis dan emansipatoris. Lebih jauh, pada hemat saya, Bumi Manusia merupakan konstruksi sejarah kebangsaan lewat perspektif yang disebut Heidegger subjective experience.

Pengalaman subyektif Pram membuat Bumi Manusia berelasi dialektis atas narasi imperial.  Diskursif semantik didedahkan, berpusat pada sosok tokoh Nyai Ontosoroh.  Nyai Ontosoroh pada Pram menolak citraan Nyai yang direproduksi narasi imperial. Jamak, citraan Nyai hadir secara negatif. Ambil contoh Bas Veth dalam Het Leven in Nederlandsch-Indie (Kehidupan di Hindia Belanda, 1900). Bas menyebut para Nyai sebagai manusia sejenis kera!

Ada juga cerita Nyai Dasima, baik karangan G Francis (1896) maupun Sair Njaie Dasima-nya OS Tjiang (1897). Keduanya menghadirkan Nyai Dasima sebagai perempuan serong, lemah, dan tak dapat dipercaya. Citraan negatif itu juga dilekatkan ke Saipa dalam Si Tjonat karangan FDJ Pangemanann, yang anehnya adalah pengarang pribumi. Saipa adalah Nyai Tuan Opmeijer, asal Desa Tjirenang, yang sangat elok dan muda belia, serta sangat dicintai tuannya.  Akan tetapi, Saipa serong dengan si Tjonat, jongos di rumahnya.

Ontosoroh melawan citraan negatif itu. Ia adalah ikon antagonisme yang terhubung secara diametral dengan proyek imperial di wilayah ide dan diskursif pengetahuan.

Ontosoroh menolak kategorisasi, menolak politik identitas beserta segala prasangka rasial yang ditanamkan. Ontosoroh menolak pembatasan. Ia menolak menjadi gambaran dalam narasi imperial: sekadar obyek seksual dan pajangan tuannya. Ia bukan perempuan "ganjal batu" dibungkus kain songket bersulam benang emas dan perak, tusuk konde Roos, peniti intan dan giwang yang terbuat dari berlian.  Ontosoroh menolak diisolasi dalam kesombongan dan keangkuhan warna kulit.

Ontosoroh mengacaukan narasi imperial. Datang dari lantai terbawah dalam struktur masyarakat kolonial, seperti dikatakan Harry Aveling dalam Wanita yang Sengsara: Wanita dalam Bumi Manusia, Ontosoroh menghadirkan dirinya penjelmaan dari paras dan rupa Timur yang elok dengan keuletan dan keberanian pebisnis sejati dan kepintaran wanita Eropa tulen lulusan boarding school Inggris. Ia belajar membaca, dan belajar menulis dalam bahasa tuannya. Ontosoroh mempelajari banyak hal secara otodidak, juga mengajarkannya. Ia jadi guru Minke (sosok penting lain dalam Bumi dan Manusia) dalam hal kebangsaan.

Emansipasi

Pram menulis Bumi Manusia tidak untuk dibaca sebagai novel berlatar sejarah, tetapi sejarah itu sendiri. Sejarah sebagai alternative reality, satu patahan emansipasi.  Konteks pembacaan sosok Nyai Ontosoroh ialah situasi tanah jajahan Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19 yang terhubung ke proyek new imperialism Batavia. Ada kemiripan, bila tidak mau dikatakan peniruan, antara new imperialism Batavia dengan the Late Period (1870-1901) kolonialisme Inggris. Keduanya sama-sama tidak menonjolkan ekspansi dan eksploitasi ekonomi, tetapi rasa superioritas di dalam satu pertemuan budaya yang hierarkis sifatnya. Tujuannya menjadikan tanah jajahan a settled home for white settlers.

Karena itu, sejak akhir abad ke-19, terjadi arus masuk  perempuan Eropa ke Hindia. Dari sekitar 60.000-an "orang Putih"  di Hindia pada 1900, mengutip Chailley-Bert, hampir separuhnya, yaitu sekitar 23.000, adalah wanita Eropa. Gelombang masuk perempuan Eropa tersebut menyudahi periode kolonialisme tua. Di periode yang disebut kolonialisme tua, khususnya sebelum akhir abad ke-19, arus masuk perempuan Putih ke Hindia sangat dibatasi.

Sejak Cornelis de Houtman beserta 100  anggota ekspedisi datang ke  Banten pada 23 Juni 1596, baru pada 8 September 1627 untuk pertama kali dua perempuan Belanda menginjakkan kaki ke Kastil Batavia. Bahkan, sepanjang penguasaan VOC, malah diberlakukan pembatasan, dengan pengecualian hanya para pejabat tinggi, atau kalangan tertentu, yang dibolehkan membawa serta istri berlayar ke Hindia. Sebutlah seperti Benjamin Olitzsch yang direkrut VOC pada 1680 untuk mengelola tambang emas di Sumatera Barat.

Gelombang masuk perempuan Eropa ke Hindia itu diikuti kampanye tentang kemurnian ras Kaukasia. Di waktu yang sama, perkawinan campuran, baik yang resmi maupun tidak, antara "pria Putih" dan perempuan Slam atau pribumi sudah jamak ditabukan. Perkawinan campuran berlangsung hanya di kalangan serdadu. Anak-anak hasil perkawinan itu disebut anak kolong-penamaan yang tentunya mengandung konotasi bawah.

New imperialism Batavia mensyaratkan suatu tatanan masyarakat kolonial yang terkotak-kotak, senjang, dan hierarkis. Satu tatanan masyarakat kolonial yang berada di ruang dan waktu yang sama, tetapi terpisah oleh jarak, esensi, dan identitas  di balik warna kulit dan prasangka- prasangka rasial. Suatu masyarakat dengan kolonis berada di kasta tertinggi sebagai wakil dunia beradab, model dan arketif the most advanced civilication. Beb Vuyk, salah seorang perempuan pengarang Indo dalam Sebuah Rumah Nun Di Sana (1939), dengan ironi melukiskan bagaimana ".Manusia yang bersahaja waktu berangkat dari Genoa merasa seakan-akan derajatnya naik beberapa tingkat begitu tiba di Priok."

Nyai Ontosoroh adalah Sanikem. Ia dijual bapaknya yang gila pangkat ke Herman Mellema, administrator pabrik gula. Namun, Ontosoroh, yang dipariakan di lantai terdasar struktur kolonial, ditindas oleh kuasa patriarki feodal-kolonial, menolak jadi sosok nyai yang dicitrakan negatif dalam narasi imperial. Dihadapkan dengan situasi new imperialism Batavia, Ontosoroh jadi indeksitas emansipasi kebangsaan. "Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima," ujar Ontosoroh kepada Minke.

Memaknai Ontosoroh sebagai indeksitas emansipasi kebangsaan, dalam hemat saya, merupakan pesan penting Bumi Manusia. Pesan seorang sastrawan yang pernah dipariakan, tapi tak pernah sedetik pun kehilangan kecintaan pada Tanah Air. Sebuah pesan yang dialamatkan pada generasi bangsa ini untuk remembering, revitalizing, rewriting, dan representing sejarah ruang hidup mereka. Berdaulat atas ingatan, jadi tuan bagi masa depan.


Menjadikan Pilkada Menarik dan Bermutu

Menjadikan Pilkada Menarik dan Bermutu

Toto Sugiarto  ;   Ketua Departemen Riset dan Consulting PARA Syndicate
                                                        KOMPAS, 30 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejumlah anggota DPR bersikeras mengegolkan keinginan untuk memperberat syarat dukungan bagi calon perseorangan. Meskipun dalam draf revisi UU Pilkada yang diusulkan pemerintah tidak mengubah syarat calon perseorangan, sejumlah anggota DPR ngotot mengusulkannya dalam pembahasan yang ditargetkan selesai akhir April ini. DPR ingin menaikkan syarat dukungan dari 6,5-10 persen menjadi 10-15 persen dari jumlah daftar pemilih tetap.

Di tengah sempitnya waktu, syarat pencalonan, baik untuk calon yang diusung parpol maupun yang maju lewat jalur perseorangan, jadi prioritas. Berbeda secara diametral dengan keinginan terhadap syarat dukungan bagi calon perseorangan, untuk calon dari parpol kalangan DPR ingin meringankan syarat itu dari 20 persen kursi di DPRD setempat atau 25 persen suara pada pemilu untuk DPRD jadi 15 persen kursi atau 20 persen suara.

Merugikan bangsa

Apakah langkah parpol-parpol ini akan berdampak baik bagi mereka? Sekilas terlihat langkah mereka akan menguntungkan parpol. Calon perseorangan akan membentur hambatan yang tinggi untuk sampai ke arena kontestasi. Hal ini akan menghindarkan calon yang diusung parpol dari keharusan berhadapan dengan calon perseorangan, terutama calon yang kuat. Calon perseorangan yang kuat tampak amat menggentarkan, seperti pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang akan maju lewat jalur perseorangan pada pilkada di DKI Jakarta.

Kalau upaya menghambat Ahok menjadi alasan di balik kehendak memperberat persyaratan bagi calon perseorangan, ini suatu langkah kerdil. Langkah yang didasari kepentingan sempit-sesaat. Kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan negara dan bangsa, diabaikan.

Selain itu, mencermati pengalaman di pilkada serentak 2015, pasangan calon perseorangan mayoritas bukan dari kalangan yang murni non-parpol. Politisi PPP dan Partai Golkar, misalnya, di Pilkada 2015 menghadapi masalah: partai mereka berkonflik sehingga tak mampu mengusung calon. Banyak di antara mereka maju ke arena pilkada lewat jalur perseorangan. Artinya, pintu calon perseorangan sejatinya merupakan exit strategy bagi orang parpol yang tidak bisa maju lewat jalur perseorangan.

Dengan demikian, mempersulit pintu calon perseorangan sama saja mempersulit orang parpol sendiri. Parpol yang berupaya mempersulit pintu calon perseorangan sama saja berupaya menutup pintu kemungkinan bagi kader-kadernya yang ingin maju pilkada, tetapi terhambat karena masalah internal parpol.

Bagi rakyat, memperberat syarat dukungan bagi calon perseorangan adalah merugikan karena akan mempersempit pintu bagi masuknya alternatif calon. Rakyat tidak memiliki alternatif calon yang memadai atau representatif bagi mereka.

Bagi negara dan bangsa, keinginan ini merugikan karena menghilangkan kemungkinan diperolehnya alternatif pemimpin yang bisa membawa negara pada kemajuan. Politisi Senayan harus mempertimbangkan hal ini, tidak semata-mata berhitung perebutan kekuasaan.

Keadilan yang tak adil

Alasan dari kehendak menaikkan syarat dukungan ini adalah untuk terwujudnya keadilan. Mereka membandingkan syarat dukungan bagi calon perseorangan dengan syarat partai politik/gabungan partai untuk mengusung calon, yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pada pemilu terakhir di daerah itu. Mereka berkilah, perbedaan angka persyaratan adalah tidak adil.

Politisi Senayan salah dalam menilai hal itu. Keadilan itu tidak dilihat dari kesamaan angka persentasenya, melainkan juga harus mempertimbangkan aspek lain. Bagi calon yang diusung partai politik, angka 20 persen kursi atau 25 persen suara itu adalah angka yang sudah dimiliki parpol/gabungan parpol. Tak perlu ada upaya mendapatkannya dari bawah, dari rakyat.

Sementara bagi calon perseorangan, angka 6,5-10 persen dukungan tersebut adalah angka yang harus diperjuangkan dari rakyat langsung, yang dibuktikan dengan diperolehnya fotokopi KTP pemilih. Angka itu adalah angka yang belum di tangan.

Jika berbicara masalah keadilan dalam hal syarat dukungan ini, mesti dilihat dari tingkat kesulitannya, upaya-upaya untuk meraih itu. Parpol yang telah meraih angka syarat minimal tak perlu bekerja apa pun untuk memenuhinya. Pasangan calon tinggal melenggang. Parpol yang belum memenuhi syarat minimal tinggal melirik "kiri-kanan". Adakah parpol lain yang berminat bekerja sama dalam mengusung calon yang sama.  Sementara bagi calon perseorangan, angka batas minimal dukungan itu benar-benar harus diperoleh dari rakyat satu per satu. Diperlukan perjuangan dan kerja keras untuk sampai pada batas minimal.

Dengan demikian, adalah bijaksana jika gagasan menaikkan syarat dukungan calon perseorangan dipikirkan ulang. Alih-alih memperberat syarat dukungan dari satu jalur pencalonan, DPR lebih baik memikirkan bagaimana meringankan syarat pencalonan, baik bagi calon perseorangan maupun bagi calon dari parpol.

Buruh dan Ketimpangan

Buruh dan Ketimpangan

Rekson Silaban  ;   Analis Indonesia Labor Institute
                                                        KOMPAS, 30 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Serikat buruh sejak awal kelahirannya di Inggris, tahun 1812, digagas sebagai wadah perjuangan untuk melawan eksploitasi kapitalis terhadap buruh. Awalnya hanya di tingkat pabrik, tetapi berlanjut ke tingkat nasional dan global, mengikuti logika pergerakan arus modal. Tanpa kelahiran serikat buruh (SB), tidak ada institusi yang menemani buruh mendapat keadilan ekonomi. Sekalipun program karitatif institusi agama dan sistem perpajakan di masa itu coba ikut memperbaiki nasib buruh, tetapi tak bisa efektif mengatasi kesenjangan ekonomi antara pemilik modal dan buruh. SB melakukan gerakan penyadaran, pengorganisasian massa dan opini, untuk mempertanyakan ketidakadilan sistem distribusi ekonomi.

Gagasan perjuangan melalui SB menyebar cepat ke sejumlah negara, menimbulkan berbagai pergolakan. Dalam beberapa kasus, SB kerap dituduh provokator kerusuhan dengan mengusung paham komunis. Inilah yang terjadi pada tragedi 1 Mei 1886 di Hay Mart, Chicago, AS. Perjuangan buruh yang menuntut jam kerja 8 jam per hari berakhir dengan provokasi kerusuhan sehingga pengadilan menjatuhkan hukuman gantung kepada para pejuang buruh. Sekalipun beberapa tahun kemudian pengadilan menganulir hukuman tersebut dan merehabilitasi nama baik para martir buruh yang meninggal.

Mereduksi ketimpangan ekonomi

Namun, perjuangan buruh di Hay Mart menggetarkan pejuang buruh di belahan dunia lain: Eropa. Kelompok ideolog sosialis dalam Konferensi II Sosialis Internasional di Paris tahun 1889 memutuskan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Ironisnya, AS yang saat itu berupaya mengempang pengaruh sosialis menolak 1 Mei sebagai hari perayaan buruh dengan menggantinya menjadi hari Senin pada minggu pertama September.

Sejarah terus bergulir karena beberapa tahun kemudian, tepatnya 1919, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menetapkan pengaturan kerja 8 jam per hari ditetapkan sebagai konvensi internasional pertama ILO. Inilah prestasi awal SB yang mengawali eksploitasi di tempat kerja. Konvensi ini sekarang diadopsi di seluruh dunia.

Munculnya wadah SB dan pengaturan jam kerja ternyata tak otomatis menurunkan kemiskinan buruh. Ada masalah tentang upah. Upah yang diterima buruh hanya cukup menghidupi buruh itu sendiri, tetapi tidak cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya. Perjuangan buruh berlanjut ke isu upah minimum. Negara pertama yang memulainya adalah Selandia Baru (1894), selanjutnya menyebar ke Australia (1904), dan menyeberang ke Eropa melalui Inggris (1909). Melalui upah minimum, negara ingin memastikan perlindungan terhadap buruh dari eksploitasi kapitalis. Penetapan upah minimum dilakukan melalui usulan tripartit untuk kemudian diputuskan pemerintah.

Mengapa perlu keterlibatan unsur non-pemerintah dalam upah minimum? Jawabnya: untuk mencegah keberpihakan pemerintah terhadap salah satu pihak, baik buruh maupun pengusaha. Sebab, dalam pengalaman sejarah, pemerintah di mana pun memiliki kecenderungan keberpihakan subyektif. Sistem upah minimum di Indonesia yang saat ini mengenyampingkan peran SB dan pengusaha adalah penyimpangan dari kelaziman umum negara penganut sistem upah minimum. Sistem upah minimum menjadi salah satu temuan penting mencegah melebarnya ketimpangan pendapatan antara buruh dan majikan.

Kelahiran beberapa institusi di atas ternyata tak bisa mengatasi keserakahan kapitalisme karena buruh terus menderita akibat ketidakadilan sistem ekonomi. Adalah Otto Van Bismarck, Kanselir Jerman tahun 1889 yang meluncurkan gagasan jaminan sosial untuk buruh. Dia sebenarnya bukan tokoh sosialis pendukung buruh, melainkan memperkirakan potensi bahaya kemerosotan ekonomi Jerman dan potensi pemberontakan buruh bila tak melahirkan sistem yang mereduksi ketimpangan ekonomi melalui jaminan sosial.

Gagasan jaminan sosial ini selanjutnya menjadi program inti perjuangan SB di seluruh dunia, yang kemudian diadopsi dalam konvensi ILO dan dipraktikkan di seluruh dunia. Konsep jaminan sosial saat ini sudah berkembang, tidak lagi sebatas pemenuhan hak asasi manusia, tetapi menjadi stabilisator otomatis untuk mencegah krisis ekonomi lebih buruk.

Tahapan terbaru dalam perkembangan hubungan industrial yang saat ini dipromosikan ke seluruh dunia adalah konsep social dialogue atau suatu upaya untuk melakukan perundingan guna mendapatkan titik temu demi keberlanjutan pekerjaan dan usaha. Ini adalah konsep baru yang menegasi konsep lama "perjuangan kelas". Suatu upaya memitigasi masalah hubungan industrial melalui jalan damai ketimbang jalur konfrontasi. Produk utama dialog sosial adalah lahirnya Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang berisi kesepakatan SB dan majikan atas hak dan kewajiban di tempat kerja.

Dari data yang tersedia di Kementerian Tenaga Kerja, hanya ada 12.700 PKB di Indonesia. Sementara data BPS menunjukkan, ada 48,997 usaha menengah, dan jumlah kelompok usaha besar sebanyak 4,968. Data ini mengonfirmasi capaian sosial dialog di Indonesia masih rendah karena hanya baru 25 persen perusahaan (dengan kategori jumlah pekerja di atas 50 orang) yang bersedia berunding membuat PKB. Mayoritas perusahaan lainnya lebih menyukai penggunaan peraturan perusahaan atau sama sekali tidak memakai aturan. Tidak heran konflik hubungan industrial masih kerap mewarnai hubungan industrial di Indonesia.

Pengalaman negara industri lain, khususnya di negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), menunjukkan fakta atas dua hal. Pertama, semakin besar jumlah PKB di suatu negara akan semakin sedikit jumlah konflik hubungan industrial. Sebab, dengan adanya perundingan PKB akan menganalisasi konflik menjadi hanya urusan di tingkat pabrik, tak mudah dimobilisasi untuk kepentingan politik. Kalau saja jumlah PKB di Indonesia ditingkatkan di atas 50 persen, pasti konflik hubungan industrial menurun drastis. Inilah sebenarnya jalan termudah bila Indonesia menginginkan hubungan industrial yang damai dan berkelanjutan.

Kedua, semakin tinggi tingkat partisipasi buruh menjadi anggota SB (trade union density), semakin tinggi kepatuhan hukum dan kesejahteraan buruh. Studi yang dilakukan Bank Dunia Jakarta (2012) menyebutkan, buruh Indonesia yang tergabung dalam serikat buruh akan mendapat upah 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi anggota serikat buruh.

Syarat minimum yang diperlukan

Secara umum, konsep social dialogue di Indonesia sebenarnya diterima banyak pihak. Sebab, berunding, bermusyawarah untuk mencapai mufakat, bukanlah konsep baru dalam kultur Indonesia. Konsep ini hanya bisa jalan dengan tiga syarat minimum: adanya keterbukaan, niat baik, dan tingkat saling percaya yang tinggi.

Syarat inilah yang di banyak tempat belum bisa dipenuhi. Banyak pelaku tidak memiliki kultur untuk berdialog, lebih menyukai pola lama, menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan kehendak, pengadilan, suap, dan sebagainya. Di tahap inilah sangat diperlukan perubahan kultur unsur aktor-aktor tripartit agar konsep ini bermanfaat. Sebab, harus dipahami, tidak lagi diragukan bahwa hubungan kerja saat ini telah menjadi sangat bervariasi dan rumit, membuat sangat sulit bagi SB untuk mengorganisasi buruh secara kolektif.

Kecenderungan informalisasi kerja (informal, alih daya, kontrak, sistem bagi hasil, pekerja musiman) akan mendominasi jenis pekerjaan di masa depan, khususnya sektor formal, baik di sektor publik maupun swasta. Sebenarnya, di masa kolonial sampai pasca kolonial, situasi ini pernah terjadi. Kuantitas pekerja formal juga sangat minim. Berbeda dengan sektor pekerja formal yang ada saat itu cenderung bertumbuh, khususnya sektor industri badan usaha milik negara. Pertumbuhan itu menjadi bekal yang memelopori pertumbuhan SB. Saat ini, situasinya berubah karena semua sektor sedang berupaya menurunkan penggunaan pekerja formal dengan proyek efisiensi dan mesin.

Pesan terpenting bagi aktivis perburuhan pada perayaan kali ini adalah bagaimana memastikan misi SB sesuai peran historisnya, yaitu menyejahterakan buruh dengan menawarkan berbagai alternatif. Jangan berhenti sebatas watch dog: hanya manifestasi tanpa solusi.

Kesaksian Ahli dan Integritas Akademik

Kesaksian Ahli dan Integritas Akademik

Sigit Riyanto  ;   Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum UGM
                                                        KOMPAS, 30 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tulisan Eddy OS Hiariej tentang "Alat Bukti Keterangan Ahli" (Kompas, 25/4, 2006) menarik untuk disimak dan didiskusikan lebih lanjut.

Topik tentang alat bukti keterangan ahli dalam proses peradilan ini jadi wacana menarik di negeri ini, utamanya berkaitan dengan kasus-kasus yang menyita perhatian publik.  Lebih menarik lagi kesaksian ahli (hukum) dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.

Tulisan ini menawarkan sudut pandang lain  mengapa  alat bukti berupa keterangan ahli (khususnya para ahli  hukum) jadi persoalan yang mengundang pro dan kontra.  Mengapa kehadiran para saksi ahli hukum, yang umumnya bergelar profesor atau doktor yang mengajar di universitas,  di persidangan pengadilan menjadi kontroversial? 

Kedudukan dan fungsi kesaksian ahli sebagai alat bukti telah diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan. Masalahnya adalah terletak pada bagaimanakah para ahli hukum yang bersaksi di pengadilan memosisikan dirinya dalam kontestasi kepentingan yang sedang berhadapan di depan hakim.

Salah satu pertanyaan sederhana yang sering muncul tentang kehadiran para ahli hukum adalah tentang kompensasi apa yang diperoleh ahli bersangkutan ketika bersaksi.  Tidak ada larangan dan tidak ada keharusan untuk memberikan kompensasi atas kehadiran seorang ahli di persidangan pengadilan. Di Indonesia tidak ada aturan rinci dan ketat tentang hal ini. Seorang ahli yang bersaksi di pengadilan dapat memperoleh kompensasi atas kehadirannya untuk memberikan keterangan di persidangan, tetapi dapat juga secara pro bono (tanpa imbalan).

Sudah jamak diketahui, pada umumnya para pihak yang berperkara di pengadilan dan menghadirkan saksi ahli hukum adalah mereka yang memiliki kemampuan keuangan memadai sehingga mampu memberikan kompensasi berupa bayaran yang tinggi kepada ahli hukum yang didatangkan untuk bersaksi. Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki uang  cukup untuk membayar para ahli agar bersaksi di persidangan?

Di negara-negara tertentu, semisal Australia,  telah dibuat pedoman tentang bagaimana kehadiran dan proses kesaksian ahli di  persidangan. Bahkan, dapat saja kehadiran para ahli  dalam persidangan hukum adalah  free of charge, atau mereka tidak menerima kompensasi, misalnya  ketika kesaksiannya diperlukan  demi kepentingan umum.

Independensi

Secara normatif, para ahli yang bersaksi di persidangan pengadilan wajib bersikap obyektif dan tidak memihak (independent; impartial). Mereka dituntut memberikan keterangan yang benar, relevan, sahih, dan obyektif sesuai kompetensi keilmuannya. Para ahli ini memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan pendapat yang jujur dan obyektif dalam rangka membuat terang masalah yang sedang dihadapkan pada hakim. Pendapat atau keterangan yang diberikan di persidangan semata-mata didasarkan pada kebenaran ilmiah dan etika akademik.

Benarkah para ahli hukum yang hadir di hadapan hakim dan memberikan kesaksiannya telah menyampaikan pendapat yang jujur, obyektif, dan tak memihak? Tidak jarang kehadiran para ahli dalam proses persidangan menuai kritik karena ditengarai telah berpihak dan atau dimanfaatkan salah satu pihak yang berperkara untuk menjustifikasi kepentingannya dan memenangi kasusnya.  Kesaksian ahli yang tidak jujur, subyektif, dan memihak dapat merusak proses pengungkapan kebenaran.

Inilah gejala yang disebut "hired guns" (senjata sewaan). Para ahli yang memberikan keterangan dan atau pendapat dengan maksud menguntungkan salah satu pihak diibaratkan sebagai senjata sewaan. Mereka hadir  memberikan kesaksian semata-mata untuk memperoleh kompensasi atas keterangannya, yang umumnya berupa sejumlah uang. Ahli semacam ini akan melayani siapa saja yang mau dan mampu menyewa atau memberikan kompensasi atas jasa yang diberikan untuk bersaksi di hadapan hakim, hasil akhir persidangan tidaklah penting baginya. Para ahli semacam ini tidak segan-segan mengorbankan independensinya sebagai akademisi dan mengompromikan pendapatnya semata-mata untuk mendukung argumen salah satu pihak yang berperkara, yang sanggup menyewa jasanya untuk bersaksi di pengadilan.

Hal terpenting yang harus diingat oleh akademisi, ketika mereka bersaksi dan terlibat dalam proses hukum adalah bagaimana mempertahankan dan menjaga  integritas akademik. Integritas akademik adalah komitmen dalam situasi apa pun untuk berpegang pada lima nilai dasar: kejujuran, kepercayaan, keadilan, kehormatan, dan tanggung jawab. Lima nilai dasar ini menjadi landasan perilaku akademisi dan diterjemahkan dalam tindakan. Ketika memberikan kesaksian, benarkah dilakukan dengan jujur, dapat dipercaya, obyektif, menjunjung kehormatan, dan bertanggung jawab atas apa yang dinyatakan sebagai saksi ahli?

Nilai-nilai ini juga terkait erat dengan misi kelembagaan/institusi, kebijakan dan praksis, sehingga integritas akademik dijaga dan dirawat. Pendapat para akademisi yang berpegang dan taat pada lima nilai dasar  tadi secara konsisten merupakan kontribusi bagi upaya pencarian kebenaran dan bermuara pada pengungkapan kebenaran.  Seorang  akademisi  yang menjadi saksi ahli dituntut untuk beropini dan membangun argumen ilmiah yang jujur, adil, dan bertanggung jawab dalam rangka pencarian dan pengungkapan kebenaran; bukan membenarkan salah satu kepentingan yang sedang berkontes di lembaga peradilan. 

Jika yang dilakukan bertentangan dengan integritas akademik, ada tiga kemungkinan: penyesatan, pengkhianatan integritas akademik, atau pelacuran akademik. Bersaksi bukan untuk menyampaikan kebenaran, tetapi untuk memperoleh sejumlah uang, seperti kata pepatah: "I'm selling myself, more often than not to the highest bidder, purely for thrill and money."

Politik Sertifikasi Sawit

Politik Sertifikasi Sawit

Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
                                                        KOMPAS, 30 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Indonesia Palm Oil Pledge atau IPOP -kesepakatan lima raksasa perusahaan sawit di Indonesia-memicu polemik. Pemerintah tengah mencari landasan hukum untuk membubarkan IPOP. Alasannya, kriteria pengelolaan sawit IPOP menimbulkan kerugian pada petani kelapa sawit.

Tandan buah segar (TBS) kelapa sawit produksi petani mandiri tidak ada yang menampung dan membeli. Padahal, petani mandiri menguasai hampir separuh dari 10,5 juta hektar luas areal sawit saat ini.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun menilai IPOP berpotensi menimbulkan kartel. Kesepakatan IPOP bertentangan dengan UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan juga berpotensi mendistorsi pasar. KPPU meminta IPOP tidak diimplementasikan. Alasannya, tidak ada dasar hukum bagi korporasi mengimplementasikan IPOP. IPOP bukanlah regulasi.

Korporasi atur negara?

IPOP adalah komitmen dan atau kesepakatan lima raksasa perusahaan sawit (Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Golden Agri Resources, Musim Mas, dan Asian Agri) untuk menjalankan praktik perkebunan sawit yang berkelanjutan di seluruh rantai pasoknya. Komitmen diteken dalam forum United Nation Climate Summit 2014 di New York, AS, September 2014. IPOP mengatur: kebun sawit harus bebas deforestasi, kebun sawit tidak di lahan gambut, kebun sawit tidak di lahan berkarbon tinggi (high carbon stock/HCS), larangan menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut, dan HCS. Implementasi dimulai pada 2015.

Apa yang salah dengan IPOP? Dalam industri sawit, pemerintah membuat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai kebijakan sertifikasi yang harus dipenuhi tiap perusahaan atau perkebunan sawit. Ini jadi standar praktik perkebunan sawit berkelanjutan. Ada perbedaan mendasar antara IPOP dan ISPO. Pertama, ISPO memakai standar high conservation value forest (HCVF), IPOP menambahkan kriteria HCS, kriteria yang lebih tinggi. Ini berpotensi jadi hambatan masuk bagi mitra anggota IPOP yang sesuai dengan kebijakan pemerintah, tetapi tidak memenuhi standar HCS.

Kedua, ISPO diinisiasi pemerintah (baca: negara), IPOP kesepakatan korporasi. Indonesia adalah negara berdaulat yang memiliki hak mutlak mengatur proses pembangunan. Tak satu pun negara ataupun lembaga internasional, apalagi LSM, boleh mengintervensi kebijakan di Indonesia. Ketiga, lima perusahaan penanda tangan IPOP menguasai 70 persen CPO Indonesia. IPOP yang difasilitasi dan didukung AS patut diduga merupakan bagian dari skenario proxy war dan bentuk neoimperialisme.

Keempat, implementasi IPOP berpotensi menimbulkan persaingan usaha tak sehat. Penolakan anggota IPOP menerima TBS petani sawit ataupun CPO BUMN dan perkebunan skala kecil-menengah dengan alasan tak sesuai syarat IPOP berpotensi menyulut ketegangan sosial di 190 kabupaten sentra sawit nasional. IPOP akan menimbulkan kemiskinan di 190 kabupaten itu.

Selain ISPO dan IPOP, industri sawit Indonesia sudah mengadopsi sertifikasi keberlanjutan (certified sustainable palm oil/ CSPO) dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Menurut laporan RSPO (2014), minyak sawit adalah satu-satunya minyak nabati global pertama di dunia yang mempunyai sistem tata kelola dan sertifikasi minyak nabati berkelanjutan. Sementara minyak nabati produksi Uni Eropa, seperti minyak kedelai, rapeseed, dan bunga matahari belum memilikinya. Sistem tata kelola dan sertifikasi ini diadopsi Indonesia dan Malaysia, dua jawara produsen sawit dunia.

RSPO mengklaim sebagai lembaga sertifikasi sawit berkelanjutan paling kredibel di dunia. Klaim itu tak lebih dari pepesan kosong. Buktinya, meskipun mengantongi sertifikasi CSPO dari RSPO dan ISPO dari Pemerintah Indonesia, aneka produk sawit masih selalu dituding tidak ramah lingkungan. Ini bisa dibaca dari aneka regulasi di negara-negara maju yang intinya menuding sawit tidak ramah lingkungan, seperti renewable fuel standards oleh AS, renewable energy directive oleh Uni Eropa, food standards amendment truth in labeling-palm oil bill 2010 oleh Australia, dan amandemen UU No 367 tentang Keanekaragaman Hayati oleh Perancis.

Bahkan, ketika the big five sawit asal Indonesia mengadopsi IPOP, kampanye anti sawit tidak berhenti. Ini ditandai penemuan sejumlah produk makanan impor yang dijual di beberapa mal di Jakarta dengan label POF (palm oil free), Februari 2016. Kepatuhan the big five pada CSPO dan IPOP berbuah labelisasi POF. Masihkah kita yakin alasan di balik gerakan ini adalah alasan pelestarian lingkungan? Ataukah gerakan anti sawit sedang mengalami metamorfosis jadi gerakan aneksasi industri sawit?

Hanya taktik dagang

Sejatinya, amandemen UU No 367 dan aneka regulasi di negara-negara maju tersebut tak lebih dari taktik dagang. Sebab, dasar dan metode perhitungan ditentukan sepihak. Alasan emisi dan kesehatan tidak lebih non-tariff barrie. Sebab, syarat-syarat serupa tak berlaku bagi minyak pangan kompetitor sawit. Taktik dagang juga diberlakukan lewat sertifikasi. Sertifikasi tidak mengindahkan produsen. Tak heran muncul gugatan serius: produk apa yang harus disertifikasi dan siapa yang menyusun sertifikasi.

Kini, sertifikasi jadi ladang bisnis menggiurkan. Pelakunya lembaga-lembaga asing dari negara maju. Di Inggris saja setidaknya ada 600 jenis sertifikasi, sebagian besar diinisiasi oleh korporasi, bukan oleh negara. Bagi Pehnet dan Vietze (2009), renewable energy directive cs di atas adalah kebijakan industri, bukan kebijakan lingkungan. Ini kamuflase proteksionisme berkedok lingkungan. Aturan-aturan seperti itu menabrak prinsip Pasal I, III, dan XI WTO karena telah mendiskriminasi sebuah produk. Indonesia harus mengadukan diskriminasi dan praktik dagang tidak adil itu ke WTO.