Selasa, 26 April 2016

Maaf

Maaf

Goenawan Mohamad  ;   Esais;  Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
                                                  KORAN TEMPO, 25 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"Maaf" tak pernah bisa dipisahkan dari ingatan, tapi mungkinkah ingatan bisa kekal? Mungkinkah kita berbicara tentang "maaf" di luar sejarah?
Dalam Žert (Lelucon, The Joke), novel Milan Kundera, Ludvik ingin membalas sakit hati atas perlakuan temannya di masa lalu, yang menyebabkan ia, hanya karena sebuah lelucon, disingkirkan Partai Komunis yang berkuasa. Pembalasan itu berhasil, tapi yang terjadi tak membuatnya bahagia. Ternyata ada "lelucon" lain: manusia terkecoh ketika menyangka bahwa ingatan bisa kekal, dan terkecoh mengira kesalahan masa silam bisa dibereskan. Pada akhirnya, tulis Kundera, dendam dan maaf "akan diambil alih oleh lupa".

Tentu tak selalu demikian. Lupa nyaris tak punya efek dalam Bharatayudha. Dalam kisah perang besar itu, dengan dendam yang utuh, Bhima memenggal leher Dursasana dan meminum darahnya, dan Drupadi mencuci rambutnya dengan darah itu pula. Waktu tak menggerus sakit hati mereka kepada pangeran Kurawa itu, yang di malam pertandingan dadu bertahun-tahun sebelumnya mencoba menelanjangi Drupadi di depan majelis.

Di luar cerita, di dalam sejarah, dendam juga masih utuh dalam, misalnya, riwayat Ken Arok di abad ke-13 dan persengketaan orang Dayak dengan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, di abad ke-21. Maaf ikut mati dalam bunuh-membunuh itu. Seakan-akan berlaku prinsip pembalasan yang setimpal dari dalam Kitab Suci Taurat: lex talionis yang menentukan "satu mata dibalas satu mata"-hukum yang juga didapatkan dalam Undang-Undang Hammurabi di Mesopotamia 1.754 tahun sebelum Masehi.

Tak berarti kalimat itu selalu ditafsirkan secara harfiah, tapi ajaran-ajaran ethis yang kemudian datang menyadari bahwa dendam yang destruktif bisa jadi sah di dalam lex talionis itu. Yesus membalikkannya secara radikal. Ia mengajarkan agar kita sama sekali tak membalas, bahkan membiarkan pipi kita yang satu dipukul lagi setelah pukulan di pipi lain. Quran menegaskan bahwa Taurat memang mengajarkan Qasas, tapi bila kita bermurah hati untuk tak memberlakukannya, perilaku buruk kita akan dihapuskan.

Hukum pembalasan pun diubah jadi pemaafan; siklus kekerasan dicoba dihentikan. Agaknya disadari, lex talionis hanya akan menghancurkan masyarakat manusia. Satu dialog dalam lakon musikal Fiddler on the Roof:
Orang dusun: Satu mata dibalas satu mata, dan sepotong gigi dibalas sepotong gigi.
Tevye: Bagus, bagus! Dengan demikian seluruh dunia akan buta dan ompong.
                                                   * * * *
"Maaf" punya beragam cerita dan beberapa lapisan. "Maaf" yang dipertukarkan dalam ucapan Lebaran (sering dengan pantun yang boyak) tak akan terasa sedalam "maaf" yang diberikan Wolter Monginsidi kepada regu tembak Belanda beberapa menit sebelum ia dieksekusi.
Maka apa arti permintaan maaf pemerintah sekarang-andai kata pemerintah setuju untuk mengutarakannya-atas kekejaman pasca-1965?
Mula-mula, ada yang harus diurai.

Belum jelas mengapa pemerintah yang sekarang wajib minta maaf, atau mengapa Kepala Negara hari ini, Joko Widodo-laki-laki yang baru berumur lima tahun ketika kekejaman di pertengahan 1960-an itu terjadi-harus minta maaf untuk itu. Benarkah "Negara" yang sekarang identik dengan "Negara" yang berkuasa pada 1966, dan sebab itu menanggung dosa yang sama? Bisakah pendekatan legal semata-mata berlaku, yang melihat subyek, dalam hal ini "Negara", sebagai identitas yang tak berubah?

"Negara", dalam pengertian Hegel, memang sebuah struktur di mana yang universal menemukan wujudnya. Tapi bagi saya Marx lebih benar: "Negara" tak pernah bisa jadi wadah bagi siapa saja, kapan saja. "Negara" selalu bersifat "partikular", hanya merupakan alat kekuasaan kelas tertentu di ruang dan waktu tertentu. Bukan sesuatu yang kekal.

Bagi para pemikir setelah Marx, bahkan "Negara" bukan sesuatu yang siap. Ia sebuah proyek untuk menertibkan situasi yang berlipat-lipat ragamnya, situasi yang, kata Badiou, mirip "anarki sejati". Dalam "Negara" sebagai proyek penertiban, unsur dan bagian-bagian diklasifikasikan, dan diberi sebutan, posisi, dan peran. Mungkin ia tampak utuh, tapi dalam tersusunnya sistem itu selalu ada "bagian yang tak punya bagian". Dengan itulah sebuah komunitas politik, sebuah "Negara", menjadi-sesuatu yang tak stabil dan mengandung sengketa.

Kepala Negara meminta maaf? Untuk apa? Untuk kejahatan yang bukan kejahatannya, atas nama Negara yang sebenarnya tak bisa diwakilinya?
                                                    * * * *
Sejak 1945, dunia menyaksikan pelbagai adegan penyesalan, pengakuan, atau apologi. Dari orang per orang sampai dengan kepala negara menyatakan minta "maaf" yang disiarkan secara luas. Tapi tidakkah sebuah permintaan maaf kenegaraan, semacam upacara resmi, hanya bagian dari perhitungan politik, strategi yang tersembunyi dalam (untuk memakai ejekan Derrida) "komedi" permaafan?

Semua bukannya tak bermanfaat. Tapi Derrida, dalam Pardon, mengingatkan apa yang terjadi bila "maaf" diberlakukan sebagai proyek politik, ketika "maaf" disertai syarat.

"Maaf" dengan syarat adalah seperti yang diberlakukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran di Afrika Selatan. Para pelaku kejahatan apartheid diberi amnesti bila mengungkapkan sepenuhnya perbuatan yang mereka lakukan di masa lalu. Bagi Derrida, "maaf" macam ini akhirnya berfungsi bukan sebagai maaf itu sendiri, melainkan sebagai jalan membangun dan merawat sebuah bangsa. Dengan kata lain, "maaf" telah jadi sebuah "ekonomi pertukaran".

Memaafkan secara bersyarat juga menghadirkan sebuah hierarki. Yang memberi maaf dan menetapkan syarat meletakkan diri di atas pihak yang diberi syarat dan akan diberi maaf. Maaf bisa dibatalkan jika syarat tak dipenuhi. Faktor kekuasaan menonjol. "Apa yang membuat 'aku-maafkan' kadang-kadang memuakkan dan menjengkelkan, bahkan terasa tak senonoh, adalah dikukuhkannya sebuah daulat dalam kata-kata itu," kata Derrida.

Memaafkan dengan sikap demikian pada akhirnya membalik kebrutalan semula: sang korban dielu-elukan sedemikian rupa hingga si pelaku kejahatan direndahkan-dan akhirnya membuat sang korban tak hadir sebagai korban, si penjahat tak terasa sebagai penjahat, dan maaf hilang maknanya.

Tapi mungkinkah ada maaf yang tanpa syarat? Mungkin-betapapun langkanya. Monginsidi, pejuang gerilya Sulawesi Selatan itu, memaafkan regu tembak yang sebentar lagi mencabut nyawanya. Sang korban tetap sebagai korban dan pembunuhan tetap sebagai pembunuhan, namun sesuatu yang baru, yang luar biasa, tumbuh dari Monginsidi-dari yang diberikan Monginsidi.

Hanya dengan mengacu kepada yang tumbuh itu, hanya memandang dan membandingkan diri ke "maaf yang murni" itu, pelbagai "maaf" lain mendapatkan arti.
                                                     * * * *
Tapi terlampau mudah berbicara tentang "maaf" ketika kita mengenang apa yang dilakukan terhadap Sri Ambar, sebagaimana dikisahkan dalam Bertahan Hidup di Gulag Indonesia yang ditulis Carmel Budiardjo tentang perempuan-perempuan yang ditahan rezim Soeharto sejak 1966.
Sri Ambar seorang anggota SOBSI, serikat buruh pendukung PKI yang penting. Ia ditangkap di awal Oktober 1965, hari bermulanya kekerasan dan kebuasan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Ia dibawa ke sebuah tempat interogasi di Jalan Gunung Sahari, Jakarta.

Di hadapannya dihadirkan seorang teman yang mengkhianatinya dan membuka penyamarannya. Tapi Sri Ambar tak sepatah kata pun mau mengaku. Penyiksaan pun mulai: bersama si pengkhianat ia ditelanjangi dan dihajar. Malamnya mereka berdua diikat dan digantung pada pohon. Ketika tetap saja Sri Ambar tak mau mengaku, Acep, perwira tahanan, ambil tindakan yang lebih drastis: pantat kiri Sri Ambar ditikam. Darah muncrat ke mana-mana. Sri Ambar mencoba menutupkan kembali luka dengan tangannya. Acep pun memerintahkan agar pisau dihunjamkan lagi ke pantat kanan Sri Ambar. Perempuan setengah baya itu pingsan.
Ia siuman dua hari kemudian di rumah sakit militer. Luka-lukanya dijahit. Tapi tak lama kemudian datang seorang dokter lain yang mengatakan jahitan lukanya harus dibuka. Dalam kesakitan yang amat sangat, Sri Ambar mendengar dokter itu diperintah Markas Besar Angkatan Darat.
Dan sebelum sembuh benar, ia dibawa kembali ke tempat interogasi. Di ruangan itu, ia melihat dua anak perempuannya: mereka sedang dipukuli. Mereka ikut ditahan dan dipaksa menceritakan siapa saja yang bertamu ke rumah mereka. Kedua anak itu menolak berbicara. "Ibu jangan bilang apa-apa!" teriak kedua anak itu, "Biar kami tanggungkan ini!"

Dan Sri Ambar pun diam, menyaksikan kedua anaknya disiksa. Ia juga diam ketika kemudian ibunya yang tua didatangkan ke ruang interogasi itu-ibu yang mengatakan bahwa Sri Ambar memang anaknya dan bahwa ia akan melindunginya dengan risiko apa pun. Orang tua itu segera jadi tahanan politik.

Bisakah "maaf" akan berlaku di sini? Bisakah Sri Ambar memaafkan? Berhakkah ia?

Hannah Arendt pernah mengatakan bahwa "maaf" seperti hukuman. Keduanya dimaksudkan untuk mengakhiri sebuah kejahatan. Tapi ia juga mengakui ada yang tak terjangkau oleh keduanya: "kekejian yang radikal"-kekejian yang sedemikian rupa hingga tak ada lagi hukuman yang pantas. Itu berarti juga kekejian yang tak ada maaf yang bisa ditawarkan. Maaf adalah bagian proses bersama di mana hidup manusia mungkin.
                                                   * * * *
Pada pertengahan Maret 2000, Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia, sekaligus seorang tokoh NU dari generasi yang mengalami sendiri apa yang terjadi di hari-hari mengerikan dan penuh kekejaman pasca-1965, mengucapkan minta maaf kepada para korban. Ia juga tak ingin menutupi bahwa banyak anggota NU ikut dalam pembantaian orang-orang PKI atau yang dianggap PKI.

Dari seorang Gus Dur hal itu tak mengejutkan: sudah lama ia berhubungan dengan para eksil, aktivis Kiri di Eropa; sudah lama ia dikenal sebagai seseorang yang membuka pikiran orang banyak dengan berani.

Yang mengejutkan adalah reaksi Pramoedya Ananta Toer, yang disekap bertahun-tahun di Pulau Buru dan ketika bebas jadi sebuah ikon tersendiri. Ia menolak permintaan maaf Gus Dur. "Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur."

Saya masygul mendengar reaksi ini. Bagi saya, sikap Pram tidak tepat. Dan saya tak sendiri. Sekitar dua hari sesudahnya saya bertemu dengan beberapa bekas tahanan politik di rumah Oey Hay Djoen, tokoh Lekra, penerjemah Das Kapital. Saya sering ke rumah yang sejuk di Cibubur itu. Hari itu kami-Amarzan Ismail Hamid, Hardojo, Joesoef Isak, Hay Djoen sendiri-membicarakan apa yang dikatakan Pram.

Di satu bagian percakapan terdengar Hay Djoen berkata, seperti kepada 
dirinya sendiri: "Apa hak moral kita untuk menolak memberikan maaf...."
Tiba-tiba dari kalimat yang lirih itu "maaf" punya arti yang sangat dalam. Hay Djoen, sastrawan, aktivis PKI yang bertahun-tahun disekap dan disiksa, adalah suara yang bahkan tak dibayangkan Derrida: pemberi maaf yang tak berbicara tentang syarat dan tak meletakkan diri sebagai "sang korban" yang secara moral lebih tinggi dan lebih berdaulat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar