Selasa, 31 Mei 2016

Topeng

Topeng

Goenawan Mohamad ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
                                                       TEMPO.CO, 30 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Laki-laki bertopi infanteri bertopeng ski hitam dengan pipa kecil yang menyembul dari mulutnya itu tak tampak lagi. Tak di San Cristobal de las Casas, tak di kota lain, tak juga di pedalaman Meksiko. Di sana ia pernah angkat senjata, bertempur, berbicara, menulis, dan bergabung dengan petani Chiapas miskin yang memperjuangkan hak mereka. Sepuluh tahun kemudian, Sub-komandante Marcos, tokoh paling menonjol dalam pembangkangan Zapatista itu, menghilang.

Mungkin begitulah seharusnya: pejuang datang, pejuang menang, pejuang menghilang. Sepuluh tahun sebelumnya sekitar 3.000 anggota pasukan bersenjata Zapatista menyatakan perang kepada tentara Meksiko, menduduki beberapa kota, dan 150 orang tewas. Mereka kemudian terpukul, tapi akhirnya diakui sebagai satu kekuatan politik yang nyata yang berhasil membangun wilayah-wilayah otonomi tanpa pengakuan resmi. Selama 10 tahun itu Marcos, dengan penampilannya yang unik, jadi ikon perjuangan. Tapi kemudian sebuah statemen Zapatista diumumkan pada 24 Maret 2014: Marcos tak ada lagi. "Ia sosok yang diciptakan, dan kini para penciptanya, kaum Zapatista, menghancurkan dia."

Kata "menghancurkan" tentu saja sebuah kiasan. Sebab Marcos menghilang bukan karena dibunuh atau disingkirkan, melainkan karena gerakan pembebasan itu menyimpulkan: perannya telah selesai. Kata orang yang bersangkutan, "Suara Tentara Pembebasan Nasional Zapatista tak lagi datang dari saya."

Mungkin ini terjadi karena arus balik: ada yang mengatakan dukungan rakyat Chiapas semakin menipis. Usaha menegakkan ekonomi rakyat yang swadaya tak berhasil. Tapi Marcos (tentu saja bukan nama sebenarnya) sejak mula memang tampak mendua dalam menjalankan perannya. Ia tampil di tiap kejadian besar gerakan Zapatista, berpidato di depan massa, dan mengesankan sebagai ideolog gerakan itu; tapi ia tak pernah disebut "komandante"; ia cuma "sub-komandante". Ia memang anggota gerakan pembebasan bangsa Maya, orang Indian di ujung selatan Meksiko, yang tanahnya diambil alih bisnis besar dan hidup miskin berabad-abad; tapi ia bukan "pribumi". Dari celah topengnya, ia tampak berkulit putih, bermata biru. Dalam potret yang tersebar di seluruh dunia ia-kadang-kadang berkuda dan bersenjata-kelihatan jantan dengan postur seorang pemimpin yang karismatis; tapi jika kita dengarkan cara ia berpidato dan kita simak bahasa tubuhnya, ia lebih mirip seorang profesor desain, atau seorang penulis, yang tak kelihatan perkasa, tapi malah santun. Kalimat yang dipilihnya dengan baik tak diucapkan berapi-api. 
Kata-kata itu lebih menggugah orang berpikir-bukan bahasa politik kerakyatan yang lazim. Ia tak hendak mengkhotbahi audiens. Nadanya tak menganggap diri punya otoritas yang lebih.

Ia tampaknya sadar: ia tak bisa mengklaim ia mewakili suara petani miskin di sekitar hutan Lacandona. Betapapun dalam simpatinya, betapapun erat hubungannya dengan para petani itu, benar-benar tahukah ia tentang harapan dan rasa cemas mereka? Dalam percakapannya dengan sastrawan Garcia Márquez ia mengaku dibesarkan dalam keluarga guru dusun yang kemudian makmur, dengan ayah-ibu yang mengajarinya mencintai buku dan bahasa. Dari statemen-statemennya bisa ditebak ia penulis yang bagus; ia memang menulis sejumlah puisi, prosa, cerita.

Tampaknya ia juga mempelajari filsafat dan tertarik pada Marx, Althusser, Foucault. Ia seorang Marxis. Dengan militan ia melawan penetrasi neoliberalisme dari Amerika ke wilayahnya; ia mengagumi Ché Guevara, pahlawan Partai Komunis Kuba. Tapi ia berhenti percaya ada partai yang bisa mewakili kelas proletar di Chiapas. Berada di kancah petani Maya, ia tak lagi melihat kelas proletar bisa jadi pelopor segmen rakyat yang luas. Bagi Marcos, yang jadi pedomannya adalah asas mandar obedeciendo, "memimpin dengan mematuhi", adat orang Indian setempat.

Dengan kata lain, ia percaya kaum miskin itu yang punya kearifan. Ia sendiri hanya berguru di sana, lebur di sana. Ia bukan "aku" yang berpikir, bukan pemandu jalan, bukan pula pahlawan pembela yang jelata. Ia bukan siapa-siapa.

Di sini topeng-topeng yang dikenakannya bersama kaum Zapatista-adalah satu pernyataan. Topeng itu meneguhkan tak pentingnya nama-nama: tak ada yang pegang supremasi dan memonopoli perjuangan. Tapi topeng itu juga meneguhkan kemampuan memilih identitas ketika kekuasaan yang ada menghapusnya. "Kami menutupi wajah kami, agar mereka melihat kami," kata Marcos. "Kami lepaskan nama kami, agar mereka memanggil nama kami."

Dengan kata lain, topeng membuat nama dan label hanya sebagai tanda perlawanan, bukan cap yang menetap. Maka ia bisa jadi lambang siapa saja. Marcos, dengan topengnya, "adalah tiap minoritas yang tak diterima, ditekan, dan diisap-dan melawan dan berkata, 'Cukup!'"

Partai

Partai

Putu Setia ;   Pengarang; Wartawan Senior TEMPO
                                                   KORAN TEMPO, 28 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebagai pilar demokrasi, partai politik lagi tak laku. Wibawa partai runtuh. Banyaknya politikus yang terlibat dalam skandal korupsi hanya salah satu penyebab. Perilaku politikus yang suka berulah, baik lewat kata-kata maupun tindakan, dan partai yang kerap bergejolak, adalah penyebab yang lain. Partai yang bergantung pada satu tokoh juga jadi penyebab orang melirik sebelah mata.

Namun kegiatan demokrasi tetap bergairah tatkala ada tokoh yang tiba-tiba menjadi penyalur bagi ketidaksukaan kepada partai politik itu. Misalnya, saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tak mau diusung partai politik dalam pemilihan kepala daerah Jakarta tahun depan. Orang rela datang dengan biaya sendiri untuk menyetorkan kartu tanda penduduk untuk mendukung pencalonan Ahok. Banyak yang berkata, mereka bukan sekadar memilih Ahok, tapi juga merasa terwakili sebagai masyarakat non-partai. Jalur independen atau "jalur emoh partai" ini menular dalam pilkada Yogyakarta; Kabupaten Buleleng, Bali; dan mungkin di tempat lain lagi.

Meski partai sudah "sulit dijual", toh hal itu tak mengurangi niat orang untuk membuat partai baru. Padahal, 10 partai yang punya perwakilan di parlemen sudah cukup bikin riuh. Pemilu 2014 diikuti 12 partai politik. Partai Bulan Bintang serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia tak lolos ke DPR. Padahal, kurang apalagi. Tokohnya, Yusril Ihza Mahendra dan Sutiyoso, orang pintar dan populer.

Pendaftaran partai politik baru sudah dibuka di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Belum seminggu, enam partai baru sudah mendaftar, yakni Partai Rakyat, Partai Pribumi, Partai Idaman, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Indonesia Kerja, dan Partai Beringin Karya. Lalu, ada Partai Perindo, yang setiap hari mengumandangkan himne-nya lewat stasiun televisi milik ketuanya, Hary Tanoesoedibjo. Akankah masih ditambah partai lain pada pekan depan?

Para pendiri partai dengan nama aneh-aneh itu patut diacungi jempol. Jempol untuk keyakinannya bahwa partainya akan bisa lolos verifikasi di Kementrian Hukum, yang persyaratannya demikian ketat: harus memiliki pengurus dengan rincian 100 persen di tingkat provinsi, 75 persen di kabupaten/kota, dan 50 persen di kecamatan. Bahwa nanti akan ada jempol mengarah ke bawah karena suara yang diraih hanya nol koma nol sekian, itu pasti tak aneh.

Kementrian Hukum dan Komisi Pemilihan Umum harus tegas ketika melakukan verifikasi. Kalau dengan mudah partai politik lolos, Pemilu 2019 akan menjadi yang paling riuh. Bisa riuh dengan rusuh, syukur kalau riuh dengan banyolan.

Betul kita sudah biasa dengan pemilu banyak partai. Pemilu pada awal masa reformasi 1999 diikuti 48 partai. Pemilu 2004 mengusung 24 partai, Pemilu 2009 naik lagi 38 partai, dan Pemilu 2014 dengan 12 partai. Namun Pemilu 2019 memiliki format berbeda. Ada keputusan Mahkamah Konstitusi, kecuali jika diuji lagi, bahwa Pemilu 2019 berlangsung serentak dengan pemilihan presiden dan mengacu ke Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang sudah diamendemen. "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum". Jadi setiap partai bisa mengajukannya asal lolos dalam verifikasi KPU untuk menjadi peserta pemilu.

Partai besar mungkin berkoalisi karena mereka serius, tapi sulit menggandeng partai baru yang tak jelas. Sedangkan partai baru yang terjangkiti euforia sensasional justru memanfaatkan format pemilu serentak ini. Maka, bisa ada puluhan calon presiden di republik ini. Luar biasa riuh, juga membingungkan, kecuali dianggap dagelan lima tahun sekali.

Kebiri di Kediri

Kebiri di Kediri

Sarlito Wirawan Sarwono ;    Guru Besar Psikologi UI;
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI
                                                    KORAN SINDO, 29 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya tidak kenal dengan Sonny Sandra, yang oleh media massa diberi inisial SS, tetapi entah kenapa, nama lengkapnya pun disebut atau ditulis juga terang-terangan. Yang saya tahu SS (saya gunakan inisial untuk menghemat halaman) ini seorang pengusaha besar untuk ukuran Kediri dan banyak bisnis, baik bisnis beneran (katanya bisnis utama SS adalah infrastruktur) maupun Bisnis dalam artian Bisikan Manis pada para pejabat-pejabat lokal. Bisa dibayangkan, untuk kota sebesar (atau sekecil?) Kediri, siapa yang tidak mengenal seorang pebisnis seperti SS? Tetapi saya tahu SS dari media massa dan media sosial.

Dikabarkan bahwa SS yang sudah berusia 63 tahun itu (buat saya 63 tahun masih muda, loh ! Masih gagah perkasa secara seksual!) dianggap melanggar Pasal 81 UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yaitu telah ”memerkosa” 58 ABG perempuan berumur 13-17 tahun. Cewek-cewek umur segitu secara hukum memang masih tergolong anak-anak, tetapi secara biologis sudah dewasa penuh (lengkap dengan semua tanda-tanda seksual sekundernya) dan menurut agama Islam sudah dianggap akil balig.

Wajib untuk wanita seumur mereka, karena sudah haid, untuk salat. Karena itu, saya duga SS akan berlindung pada definisi pemerkosaan, yang mengandung makna pemaksaan, yang belum tentu benar, karena ada unsur transaksi (imbalan uang) di sini, sehingga bisa jadi yang disebut ”memerkosa” itu sebetulnya adalah suka sama suka. Itulah sebabnya banyak kasus yang tidak melapor. Tetapi biarlah itu menjadi urusannya hakim untuk memutuskannya, dan tentu saja Tuhan di atas sana, wallahu alam bisawab.

Yang saya ingin bahas di sini adalah soal kebiri yang rencananya akan dijadikan hukuman tambahan atau pemberatan dalam perppu tentang pemerkosaan sebagai kejahatan luar biasa, sebagaimana sudah dicanangkan oleh Presiden Jokowi pekan yang lalu (Mei 2015). Tampaknya masyarakat sudah gemes betul pada ulah para pemerkosa yang sudah makin kurang ajar ini.

Sebagian pelakunya masih muda belia, remaja, bahkan ABG umur 12- 13 tahun, bahkan ada yang masih SD. Sebagian melakukannya rame-rame, tidak sendirian, melainkan sampai belasan orang. Beberapa korban bahkan dibunuh setelah ”dipakai” dan mayatnya dibuang begitu saja di kebun. Betul-betul seperti kata pepatah, ”habis manis sepah dibuang!”. Korban yang dibunuh bahkan ada yang baru 2,5 tahun.

Ngerinya, pelakunya sering kali adalah orang dekat korban sendiri, bisa temannya sendiri, pacarnya atau bahkan ayah kandung sendiri (yang tipe ini mungkin tidak dibunuh, tetapi korban hamil, sehingga ketika bayi lahir, si ayah bingung sendiri, mau memanggil bayi itu sebagai anak atau sebagai cucunya) Saking gemasnya, masyarakat menginginkan hukuman mati buat pelaku, tetapi karena tidak semudah itu menjatuhkan hukuman mati maka mereka mengusulkan hukuman kebiri, yang ditanggapi serius oleh pemerintah.

Kebiri yang dimaksud di sini bukan kastrasi, yaitu memotong penis agar tidak bisa lagi memproduksi hormon-hormon testosteron dan androgen yang konon menghasilkan libido (dorongan seks), melainkan kebiri kimiawi, yaitu dengan memberi suntikan tertentu untuk menonaktifkan kedua hormon kelaki-lakian tersebut.

Diharapkan bahwa dengan SKK (suntikan kebiri kimiawi) ini, pelaku pemerkosa (termasuk para pedofilia) tidak akan mengancam anak-anak lagi, baik perempuan maupun lakilaki (jangan lupa, 14 anak korban Babeh, semuanya laki-laki), maupun orang dewasa (dari 11 korban pembunuh berantai Ryan, sembilan adalah laki-laki dewasa). Saya bukan pakar SKK. Walaupun konon hukuman SKK ini sudah dipraktikkan di AS, saya belum cukup membaca tentang hal ini.

Yang saya tahu sebagai mantan dosen Perilaku Seksual di Psikologi UI, adalah terapi hormon apa pun, tidak bisa dilaksanakan hanya sekali, melainkan harus diberikan secara berkala, berkali- kali, agar ada efek tetapnya. Di samping itu, penghentian hormon seksual lakilaki pada pria, akan menyebabkan pertumbuhan tandatanda seksual sekunder wanita, seperti membesarnya payudara dan lainnya.

Apakah efek samping dari SKK ini juga diharapkan sebagai hukuman terhadap pelaku pemerkosaan? Lagi-lagi saya tidak tahu. Tetapi ada satu hal lagi yang diharapkan dari hukuman pemberatan berupa SKK ini, yaitu efek jera. Yang dimaksud dengan efek jera adalah agar orang lain yang akan melakukan perbuatan yang sama akan berpikir dulu setelah melihat dampaknya pada pelaku yang sudah dihukum SKK.

Tetapi di dalam psikologi (ini bidang saya, jadi saya PD betul), dalilnya tidak seperti itu. Eksperimen Pavlov yang mengajari anjingnya untuk berliur terhadap bunyi bel hanya berlaku buat anjing Pavlov saja. Anjing-anjing lain tidak akan belajar dari eksperimen Pavlov selama tidak mengalaminya sendiri. Begitu juga barangkali eyang kakung SS akan jera setelah diberi SKK, ampunampunan dan menyesal, tetapi ya sudah, efek jeranya ya hanya buat SS sendiri.

Anak-anak kita, anak-anak tetangga kita, tetap saja terancam, walaupun hukuman SKK pada SS sudah disosialisasikan secara meluas di media massa maupun media sosial. Pasalnya pemerkosaan pada anak, apalagi pemerkosaan berjamaah, bukan hanya masalah libidonya salah satu atau beberapa pelaku, melainkan kumulasi dari berbagai faktor, seperti desakan teman sebaya, paparan pada pornografi, hubungan emosional dengan orang tua yang tidak hangat, para guru yang tidak sempat lagi mengawasi murid-muridnya, desakan ekonomi, pengaruh gadget (teknologi informasi) yang makin lama makin terjangkau oleh daya beli anak-anak dan seterusnya. Karena itu, kalau saya boleh usul, lupakan saja hukuman kebiri, kalau tujuannya untuk memberi efek jera, apalagi untuk menghapuskan gejala pemerkosaan massal di Indonesia di kemudian hari.

Usul Geram Impor Hakim

Usul Geram Impor Hakim

Moh Mahfud MD ;    Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013
                                                    KORAN SINDO, 28 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Selasa lalu sahabat saya Elman Saragih mengusulkan agar Indonesia mengimpor hakim dari luar negeri saja. Melalui dialog interaktif di sebuah televisi, Elman mengusulkan itu dengan alasan hakim-hakim di Indonesia sudah sangat bobrok dan tidak bisa diharapkan untuk menegakkan hukum.

Jauh sebelum ini, pada awal-awal reformasi, saya pernah mendengar juga Faisal Basri mengusulkan hal yang sama: sebaiknya Indonesia mengimpor hakim saja. Ada yang menertawai usulan tersebut sebagai usul yang konyol karena jelas-jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tapi kita tak perlu menilai Elman dan Faisal tidak tahu hukum Indonesia.

Mereka tahu pasti bahwa hakim di Indonesia berdasarkan UU yang berlaku haruslah warga negara Indonesia, tak mungkin diimpor. Usul itu dikemukakan hanya untuk menunjukkan betapa mereka geram terhadap dunia peradilan dan banyak hakimnya yang sangat korup. Meski begitu, apa yang diusulkan oleh keduanya bukan tidak ada contohnya dalam teori dan dunia hukum.

Guru besar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengakui ada pengalaman negara lain yang benar-benar mengimpor hakim, yakni Georgia. Negara Georgia pernah melakukan kebijakan lustrasi yang disusul dengan mengimpor hakim dari luar negeri. Tak lama setelah lepas dari Uni Soviet, untuk mengakhiri mafia dan korupsi yang sangat parah di lembaga peradilan, Georgia membuat kebijakan lustrasi, yakni memberhentikan para hakim dengan kriteria tertentu secara serentak.

Istilah populernya, kalau di Indonesia, adalah potong generasi dan menggantinya dengan generasi baru: semua hakim diberhentikan untuk kemudian diangkat hakim baru yang bersih. Langkah Georgia yang memberhentikan para hakimnya secara serentak itu tentu menimbulkan masalah terkait dengan perkara yang penanganannya sedang berjalan.

Kalau hanya untuk menangani perkara-perkara baru tentu bisa diselesaikan oleh hakim-hakim baru pula. Tapi bagaimana menyelesaikan perkara yang sedang ditangani oleh hakim-hakim yang sudah diberhentikan karena lustrasi? Itulah problem serius yang dihadapi Georgia pada saat itu. Georgia kemudian mengambil langkah mengimpor hakim.

Georgia mengimpor hakim-hakim dari Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat dengan tugas khusus menangani perkara-perkara yang sedang ditangani hakim yang diberhentikan dengan kebijakan lustrasi itu. Keadaan menjadi beres, kebijakan itu cukup berhasil, dan Georgia sekarang mempunyai lembaga peradilan yang lebih kredibel.

Jadi usul mengimpor hakim itu sudah ada rujukannya dalam pengalaman berhukum di negara lain yang ternyata cukup berhasil. Meski mungkin tidak serius untuk benar-benar mengusulkan dilakukannya impor hakim, ekspresi kemarahan Elman dan Faisal mewakili kemarahan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia sekarang. Reformasi peradilan termasuk salah satu yang paling gagal, padahal paling diharapkan keberhasilannya.

Sebenarnya untuk membenahi dunia peradilan yang di era Orde Baru banyak diwarnai mafia dan berada di bawah ketiak eksekutif, proses reformasi sudah memilih cara yang baik. Mula-mula, melalui UU No 35 Tahun 1999, dilakukan kebijakan penyatuatapan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung (MA) dengan maksud agar hakim-hakim bisa bebas dalam melaksanakan tugasnya di bawah pembinaan MA tanpa bisa diintervensi pemerintah.

Tapi pemberian kebebasan itu malah menjadi pukulan balik karena dalam banyak kasus para hakim menjadi lebih bebas pula untuk menjualbelikan perkara. Mafia peradilan makin banyak terjadi dan banyak hakim serta pegawai pengadilan yang ditangkap dan dipenjarakan karena menjualbelikan kasus. Langkah lain yang juga agak gagal adalah pembentukan Komisi Yudisial (KY).

KY dibentuk sebagai lembaga negara dengan maksud bisa mengawasi hakim-hakim dari tindakan tercela. UU tentang KY sudah dibentuk sedemikian rupa agar KY bisa menjadi mitra MA dalam mengawasi para hakimnya. Tapi kemudian banyak hakim agung yang mengeroyok KY ini sehingga kewenangan-kewenangannya dikurangi sedikit demi sedikit sampai akhirnya seperti sekarang, lebih banyak berfungsi sebagai administrator dalam perekrutan hakim agung saja.

Pelemahan terhadap KY dilakukan melalui pengujianpengujian yudisial (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan revisi atas UU KY di legislatif. Sebelum menjadi hakim MK saya menyatakan protes keras atas putusan MK yang memereteli kewenangan KY itu.

Begitu pula setelah selesai tugas di MK saya sudah memberikan masukan dalam sidang resmi agar MK tidak memasuki ranah opened legal policy dengan melarang-larang KY ikut menyeleksi calon hakim yang kewenangannya sudah diberikan UU secara benar. Tapi tetap saja MK memereteli kewenangan KY sehingga hakim-hakim malah bisa bersimaharajalela.

Melihat perkembangan yang semakin buruk kiranya semua pihak harus segera sadar, sekarang diperlukan langkah radikal untuk membenahi lembaga peradilan. Kalau keadaan terus-menerus begini, atau, kalau misalnya grand corruption seperti yang dikatakan oleh komisioner KPK dibiarkan berlanjut, maka masa depan negara ini sangat terancam dan negara bisa hancur.

Kalau hukum (baik pembuatannya maupun penegakannya) bisa dibeli oleh cukong-cukong, tidak ada seorang pun yang bisa merasa aman, termasuk cukong-cukong itu sendiri. Sebab jika ada pergantian pejabat dan hakim dan mereka bermain dengan cukong baru, cukong lama akan juga terancam. Sekurangnya akan terjadi perang antarcukong yang akan membuat kacau dunia penegakan hukum.

Kalau hukum sudah dikuasai cukong, rakyat akan jadi korban dan jika rakyat jadi korban, masa depan eksistensi negara pun menjadi pertaruhan. Jadi kebijakan hukum yang radikal memang diperlukan.

Korupsi Peradilan

Korupsi Peradilan

Marwan Mas ;    Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
                                                    KORAN SINDO, 28 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lagi-lagi menangkap tangan (OTT) lima orang terkait transaksi suap di ruang gelap Senin (23/5). Tiga orang yang kena jerat OTT itu dari lingkungan peradilan.

Lebih celakanya lagi, karena ketiganya berasal dari pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang seharusnya lebih terjaga kredibilitasnya. Dua hakim di antaranya dari Pengadilan Tipikor dan satunya lagi Panitera Pengadilan Tipikor Bengkulu. Dua kalangan swasta yang menyuap adalah pejabat keuangan salah satu rumah sakit di Bengkulu, yang ternyata menjadi terdakwa dugaan kasus korupsi penyalahgunaan honor dewan pembina di rumah sakit itu tahun anggaran 2011. Tujuan penyuapan sebesar Rp650 juta itu, majelis hakim menjatuhkan putusan bebas.

Ini yang kesekian kali KPK menangkap pejabat dan hakim di lingkungan peradilan. Masih hangat dalam pembicaraan di ruang publik, Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus Mahkamah Agung(MA) Andri Tristianto Sutrisna menjadi salah satu yang tertangkap tangan KPK saat menerima suap dari pengusaha dan oknum pengacara yang juga diduga terkait sekretaris MA. Tahun lalu majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan yang sedang mengadili keputusan soal dana bansos juga kena OTT KPK saat menerima suap dari oknum pengacara.

Lagi-lagi arahnya bagaimana putusan hakim dimainkan sesuai kehendak pelaku korupsi. Ada juga yang bertujuan agar MA memperlambat penerbitan salinan putusan kasasi terhadap terdakwa Ichsan supaya eksekusi putusan tidak segera dilaksanakan oleh kejaksaan. Padahal, yang bersangkutan divonis bersalah sejak 2014 dalam kasus dugaan korupsi proyek Dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur (KORAN SINDO, 16/ 2/2016).

Sudah bukan rahasia lagi, pola permainan putusan agar diputus bebas atau ditunda penerbitannya sebagai salah satu bentuk permainan oknum pegawai MA dan hakim.

Merusak Wibawa Hakim

Bukan rahasia lagi, setiap tahapan jalannya perkara di pengadilan memberi ruang bagi oknum pegawai pengadilan dan hakim melakukan permainan untuk memperoleh sesuatu dari pencari keadilan. Rangkaian perilaku korup di lingkungan peradilan, bahkan di puncak peradilan MA, laksana bola salju yang terus menggelinding liar. Semakin jauh menggelinding, akan semakin membesar.

Kenyataan tersebut tidak boleh dibiarkan tanpa perbaikan dan tindakan tegas sebab pengadilan adalah benteng terakhir suatu perkara diputuskan untuk mencapai tujuan hukum. Rangkaian perilaku korup di dunia peradilan Indonesia telah merusak wibawa hakim. Publik bisa saja tidak percaya pada kinerja hakim yang dianggap sebagai wakil Tuhan didunia.

MA sebagai puncak peradilan perlu banyak belajar dalam membenahi pegawai dan hakimnya. Tidak boleh lagi menutup diri yang kadang berlindung dari posisi hakim sebagai pengadil yang independen sehingga amat sulit pengawas eksternal melakukan intersep ke dalam lingkungan MA. Ketertutupan MA dalam mengawasi pegawai dan hakim telah mengonfirmasi bahwa pengawasan internal tidak efektif dan efisien menjaga integritas hakim.

MA harus lebih terbuka terhadap Komisi Yudisial (KY) dan KPK dalam menyikapi sejumlah skandal korupsi dan mafia peradilan. Kalau pimpinan MA selalu tertutup dari pengawasan KY terhadap perilaku hakim karena menjaga wibawa, semua usaha untuk memberantas korupsi dilingkungan peradilan tak akan optimal. Pimpinan MA perlu mengambil langkah progresif dalam membina dan mengawasi perilaku pegawai dan hakim.

Jika pun ada yang beranggapan bahwa berbagai kasus korupsi yang terjerat OTT bukan gambaran umum lembaga peradilan, publik sudah punya jawaban sendiri. Secara kasatmata, perilaku korup sejumlah hakim yang sepertinya tidak gentar pada ketegasan KPK menjadi ukuran penilaian publik bahwa reformasi di tubuh peradilan belum berjalan maksimal.

Langkah penting saat ini memberi porsi yang lebih besar pada KY dalam membenahi integritas pegawai dan para hakim. Bukan semata-mata menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sesuai perintah Pasal 24B UUD 1945. KY perlu diperluas kewenangannya untuk mengawasi dan menegakkan martabat dan perilaku pegawai pengadilan sejak rekrutmen sampai pada pelaksanaan tugas.

Boleh jadi, permainan putusan yang melibatkan pegawai pengadilan laksana gunung es. Hanya puncaknya yang tersentuh, tetapi begitu diseruduk ke bawah akan jauh lebih banyak boroknya. Profesionalitas hakim tidak akan mungkin berjalan baik apabila integritas tidak hadir di dalamnya. Profesi yang mulia itu harus dijauhkan dari orang-orang yang sejak awal integritasnya diragukan.

Maka itu, rekrutmen hakim di tingkat pengadilan negeri sudah waktunya melibatkan peran KY. Bukan hanya dalam memilih hakim agung sebab yang paling banyak merusak citra hakim ada pada pengadilan di tingkat bawah yang tersebar di provinsi dan kabupaten/ kota.

Selalu Ada Harganya?

Penangkapan dan penetapan tersangka sejumlah hakim bukan tidak mungkin memengaruhi kredibilitas hakim agung yang layak diakui memberi progresivitas dalam putusannya. Terutama pada perkara korupsi, tidak sedikit putusan pengadilan di bawahnya dilipatgandakan hukumannya saat tiba di kamar Majelis Hakim Tipikor MA.

Paling tidak, pembenahan dimulai pada perbaikan informasi administrasi perkara secara transparan. Ia dapat menutup celah permainan salinan putusan melalui transaksi suap sekaligus mencegah oknum pengacara berhubungan langsung dengan majelis hakim. Kalau hanya mencopot dari jabatannya atau memberhentikan jika terbukti bersalah di pengadilan, sepertinya tidak cukup lantaran tidak memberi efek jera atau menimbulkan rasa takut bagi yang lain.

Buktinya, sekian kali KPK menangkap pegawai pengadilan dan hakim, kemudian membawanya ke ruang tahanan, setiap kali ada yang terjerat OTT. Perlu menjatuhkan sanksi lebih berat sebagai tanggung jawab agar menjadi contoh dalam merefleksi proses peradilan yang transparan, objektif, dan berkeadilan.

Apabila ruang-ruang pengadilan terkontaminasi perilaku korup secara liar, dipastikan persoalan keadilan akan semakin jauh dari jangkauan publik. Betapa tidak, bukan hanya perkara perdata yang sering terdengar ada permainannya. Tetapi, perkara korupsi pun yang seharusnya membuat nurani hakim tergerak memeriksa dan memvonisnya dengan tegas lantaran merampas hak-hak ekonomi dan sosial rakyat, justru juga terkontaminasi korupsi.

Betul-betul luar biasa. Sehingga, korupsi layak disebut sebagai ”nenek moyangnya” semua kejahatan. Hampir semua perkara yang masuk dalam ranah proses hukum amat berpotensi melahirkan korupsi dalam bentuk suap. Institusi pelaksana criminal justice system tidak ada yang betul-betul kebal dari godaan korupsi. Ada oknum penyidik, penuntut umum, pengacara, dan hakim meringkuk di penjara karena menjadikan perkara hukum yang ditanganinya sebagai barang komoditas.

Hampir semua tingkatan proses hukum selalu ada harganya karena bisa diperdagangkan. Gurita korupsi yang begitu sistematis menembus institusi peradilan di negeri ini, bukan tidak mungkin akan membuat publik beralih kepercayaannya pada peradilan yang dibuatnya sendiri. Rakyat yang merasa menjadi korban korupsi bisa mendesain sendiri dengan melakukan ”self help” atau menolong diri sendiri dengan membuat peradilan sendiri terhadap para koruptor.

Sesuatu yang tidak kita kehendaki karena belum tentu akan menyelesaikan substansi persoalan. Perang melawan korupsi sepertinya akan panjang, apalagi kalau integritas para pengadil tidak mampu dibenahi secara progresif. Gagasan Presiden Jokowi melalui ”revolusi mental” bagi hakim dan pegawai pengadilan layak di implementasikan.

Tentu dilakukan secara bersinergi antara MA, KY, dan KPK yang memiliki tugas pencegahan korupsi seperti dimaksud dalam Pasal 6 huruf-d UU Nomor 30/ 2002 tentang KPK. Hanya dengan sistem yang kuat dengan melibatkan berbagai komponen bangsa yang dapat mencegah, atau paling tidak mengurangi perilaku korup di lingkungan peradilan.

Di Balik Jatuhnya EgyptAir

Di Balik Jatuhnya EgyptAir

M Bambang Pranowo ;    Guru Besar UIN Jakarta;
Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
                                                    KORAN SINDO, 28 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pesawat EgyptAir MS 804 yang mengangkut 66 orang dari Paris menuju Kairo jatuh di Laut Mediterania, Sabtu (19/5/lalu). Seluruh penumpang dan awak pesawat diduga tewas. Penyebabnya diduga kuat akibat serangan teroris. Kelompok teroris yang berafiliasi ke Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) juga sudah mengklaim bahwa mereka pelakunya.

Jika (dugaan dan klaim) itu benar, jatuhnya EgytAir ini menandakan kehancuran musim semi demokratisasi di Timur Tengah (Arab Spring) sudah mendekati sempurna. Demokratisasi negara-negara Islam di Timur Tengah itu kini sudah nyaris gagal total.

Majalah The Economist edisi 14 Mei 2016 dalam ulasannya tentang Musim Semi Demokrasi di Dunia Arab menyatakan revolusi di dunia Arab kini sudah tidak berbekas lagi. Demokrasi di Arab telah mengubah dari satu keluarga pencuri menjadi banyak keluarga pencuri. Revolusi di Libya dan Mesir misalnya telah mengubah ”satu keluarga penguasa maling” menjadi ”banyak keluarga penguasa maling”. Ini artinya, alih-alih revolusi itu memperbaiki tatanan demokrasi di Timur Tengah, yang terjadi adalah sebaliknya: menghancurkan sistem politik demokrasi itu sendiri. Bahkan lebih jauh, menghancurkan sendi-sendi ekonomi negara tersebut.

Awalnya Tunisia digadang-gadang menjadi lokomotif demokrasi di Timur Tengah setelah jatuhnya Zainal Abidin Bin Ali (Zine al-Abidine Ben Ali) pada 2011. Saat itu dunia mengapresiasi peristiwa Tunis tersebut sebagai Arab Spring (musim semi demokratisasi Arab). Sampai empat tahun setelah jatuhnya Ben Ali, dunia internasional masih melihat Tunisia sebagai contoh proses demokratisasi di Arab yang berlangsung mulus.

Dua kali pemilu, Tunisia berhasil mengakomodasi politik pluralisme yang merupakan sendi utama dalam demokrasi modern. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Pada 27 Juni 2015 bom meledak di sebuah destinasi wisata di Tunisia menewaskan 39 orang yang sebagian besar orang asing. Sebelumnya pada Maret 2015 dua orang bersenjata menyerang Museum Nasional di Tunisia dan menewaskan sedikitnya 22 orang. Sebuah kelompok yang berafiliasi dengan ISIS mengklaim serangan itu dan telah berjanji akan melakukan serangan lanjutan. Tunisia yang perekonomiannya mengandalkan pariwisata itu porak-poranda. Turis ketakutan dan tak mau datang lagi ke Tunisia. Sejak ledakan-ledakan bom tersebut, ekonomi Tunisia pun melemah.

Di pihak lain, para politisi yang berkomitmen terhadap pengembangan demokrasi mulai terpengaruh penyusup-penyusup ISIS. Krisis politik dan pembentukan blok-blok politik yang saling mengecam makin memperparah proses demokratisasi di Tunisia. Pinjam istilah The Economist, proses demokratisasi di Tunisia kini mulai keropos dan mendekati kehancuran.

Arab Spring berganti menjadi ”badai gurun” yang panas. Parahnya lagi, posisi Tunisia yang bertetangga dengan Libya menjadi ”pintu masuk” para pengungsi dan teroris yang berkeliaran di negerinya Moamar Khadafi itu. Banyak pengamat khawatir, Tunisia akan menjadi ” Suriah” kedua yang menjadi tempat persemaian para pemberontak dan teroris di Timur Tengah.

Hal ”serupa” dengan akibat yang sama terjadi di Mesir. Jatuhnya rezim Mubarak yang digadang-gadang akan menjadi benih tumbuhnya demokrasi di Mesir ternyata gagal. Pemilu yang dimenangkan Partai Ikhwanul Muslimin pada 2012 ternyata gagal membentuk pemerintahan karena kudeta militer. Presiden Mohamed Mursi dari Ikhwanul Muslimin digulingkan Jenderal Abdel Fatah El-Sisi.

Pemilu demokratis pertama yang bersih di Mesir pada 2012 itu pun berakhir dengan kebangkrutan demokrasi setelah El-Sisi mengambil alih kekuasaan. Tragisnya, El-Sisi yang menghancurkan demokrasi ini mendapat dukungan negara-negara Barat dan kerajaan-kerajaan kaya minyak di Teluk Arab. Apa hasilnya?

Mesir kini makin tertatih-tatih, baik secara politik maupun ekonomi. Pemilu terakhir pada 2014 yang dimenangkan El-Sisi hanya ” dagelan demokrasi” Mesir untuk memperkuat kekuasaan militer. Di tengah kondisi politik dan ekonomi yang goyah, pesawat metrojet Rusia meledak di atas Sinai, Oktober 2015, dalam penerbangan dari Bandara Sharm el-Sheikh–kota wisata terkenal di Mesir–ke Moskow. Korban tewas mencapai 224 orang tewas. Hampir semua penumpang adalah turis asal Rusia yang berlibur ke destinasi wisata Sharm El-Sheikh. Penyelidikan menunjukkan bahwa metrojet ini meledak karena bom. Dan, ISIS kemudian mengakui sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Sejak kasus tersebut, turisme yang menjadi andalan pemasukan devisa Mesir langsung lumpuh. Tidak hanya Sharm El-Sheikh yang lumpuh, turisme Mesir pun hancur. Akibatnya bisa diduga: ekonomi Mesir pun krisis. Kota-kota wisata terkenal Mesir seperti Alexandria, Hurghada, Aswan, Luxor, Dosuok, Port Said, dan Giza sepi. Hotel-hotel kosong dan pengangguran pun makin banyak.

Tidak hanya Rusia yang menghentikan penerbangan ke Mesir dan melarang warganya untuk berlibur ke Negeri Piramida itu, tapi juga Inggris. Mesir pun kehilangan pemasukan dari turisme yang amat besar. Pada 2015 misalnya jumlah turis merosot drastis, dari semula 15 juta orang kini berkurang hingga 10 juta orang.

Dari perspektif ini, jatuhnya EgyptAir pada 19 Mei lalu di Laut Mediterania yang diduga karena sabotase teroris akan semakin menghancurkan perekonomian Mesir. Wisatawan takut pesawat-pesawat yang menuju dan berangkat dari Mesir tidak aman. Kenapa? Kelompok Islam garis keras yang sudah terpengaruh dengan jihad model ISIS sudah masuk ke dalam industri pariwisata dan penerbangan Mesir. Ini membahayakan keselamatan wisatawan.

Di sisi lain, konflik di Timur Tengah makin luas setelah aliansi Arab (di mana Mesir berada di dalamnya) ramai-ramai memerangi Yaman yang didukung Iran. Perang proksi antara mazhab Sunni yang dipimpin Arab Saudi dan mazhab yang dipimpin Iran kini makin memanaskan suhu Timur Tengah.

Dalam kondisi butuh biaya perang tersebut, harga minyak jatuh sehingga Arab Saudi yang selama ini menjadi ”donatur” Mesir mulai kepayahan.
Pada 2015 misalnya Arab Saudi mengalami defisit anggaran USD98 miliar. Jika defisit ini dibiarkan, dalam lima tahun ke depan perekonomian Arab Saudi akan bangkrut. Jika klan Su’udiyah tak mampu lagi                  ”memproteksi Kerajaan Bani Su’ud” dengan guyuran dolar, mampukan Arab Saudi bertahan?

Betapa suramnya masa depan negara-negara Arab. Walid Jumblatt, pemimpin Druze Libanon, menyayangkan konflik sektarian di Timur Tengah tersebut. ”Inilah masa-masa yang diimpikan Zionis Israel, yaitu terpecahnya Timur Tengah menjadi negeri-negeri sekte,” ujarnya kepada wartawan The Economist.

Jika melihat konflik antarfaksi yang terjadi Libya, Tunisia, Suriah, kemudian konflik besar antara Arab Saudi dan Iran–konflik sekte itu tengah berlangsung. Konflik itu terjadi baik antarsekte kecil yang berbasis klan (suku) maupun antarsekte besar berbasis mazhab.

Analis politik Timur Tengah Stuart Mill mencoba mencari solusi: Mungkinkah negara-negara Arab membentuk konfederasi agar bisa bersatu menjadi sebuah negara besar yang aman dan stabil?

Solusi Mill tersebut jelas tak mungkin. Jangankan membentuk negara konfederasi, mempersatukan Liga Arab untuk menjadi ujung tombak diplomasi dalam menekan Israel saja tidak bisa, apalagi membentuk konfederasi. Libya di bawah Gadafi, Irak di bawah Saddam, dan Suriah di bawah Assad yang ingin membangkitkan nasionalisme dunia Arab melalui Partai Ba’ath misalnya terbukti semuanya kandas.

Dan, kini dunia sedang menonton saat-saat hancurnya Dunia Arab akibat gagalnya Arab Spring tersebut. Dari perspektif inilah kita melihat jatuhnya EgyptAir di Laut Mediterania tersebut. Sebuah simbol dari makin dalamnya kekacauan yang menimpa negara-negara Arab akibat perbedaan-perbedaan kepentingan yang mengatasnamakan pilihan mazhab dan tafsir Islam. Mengerikan!

Doktor Itu Beban

Doktor Itu Beban

Komaruddin Hidayat ;    Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                                    KORAN SINDO, 27 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Secara formal-administratif, jenjang tertinggi sekolah itu ketika seseorang berhasil menamatkan prodi S-3 dengan meraih titel doktor. Jika dihitung dan dirunut dari bawah, pada umumnya untuk menamatkan pendidikan TK (taman kanak-kanak) diperlukan waktu 2 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, sarjana 4-5 tahun, S-2 atau master 2-3 tahun, S-3 atau doktor 4-5 tahun. Jadi seseorang kalau saja menyelesaikan studi sampai terminal akhir bisa menghabiskan usianya sekitar 20-22.

Itu belum berbicara kualitas karena sekarang ada juga institusi yang menjual gelar master atau doktor tanpa repot-repot duduk mengikuti kuliah, melakukan riset, dan menulis disertasi. Makanya ada beberapa kategori universitas. Ada yang sudah terkenal dan lolos dalam akreditasi lembaga internasional yang berwibawa, ada yang masuk kategori papan atas tingkat nasional dan sudah terakreditasi, ada juga yang sering disebut sebagai perguruan tinggi abal-abal sekalipun jumlah mahasiswanya di atas 20 ribuan.

Bagi saya, apa pun kualitas dan peringkat sebuah perguruan tinggi, kesemuanya layak diapresiasi. Semuanya ingin memajukan mahasiswa untuk menambah ilmu pengetahuan. Selagi mereka secara tulus dan serius ingin mengembangkan kualitas dirinya dengan ilmu, akhlak, dan keterampilan hidup, nantinya masyarakat yang menilai dan merasakan hasilnya.

Yang kita sedih dan sakit hati adalah jika titel formal kesarjanaan itu diraih secara tidak fair dan hanya untuk menaikkan gengsi. Itu sebuah penipuan kepada diri sendiri, masyarakat, dan negara. Mengapa negara? Karena banyak pegawai negeri yang kemudian mengambil program master ataupun doktor, tetapi dengan jalan pura-pura kuliah, yang penting memperoleh ijazah untuk mendongkrak kepangkatan dan gajinya.

Mereka jarang ikut kuliah dan membayar orang lain untuk menulis tugas makalah, tesis, dan disertasi. Yang demikian itu dosennya diduga kuat mengetahui, tetapi hanya mendiamkan saja. Yang penting membayar uang kuliah dan bimbingan. Syukur-syukur ada tambahan uang terima kasih atas statusnya sebagai pembimbing.

Saya sendiri ketika tamat menempuh pendidikan doktor tahun 1990 pada usia yang ke- 37 dari Middle East Technical University, Ankara, Turki, seketika muncul rasa malu dan gamang. Merasa berat dan malu dengan titel PhD yang saya miliki. Saya menulis disertasi tentang filsafat politik.

Saya sadar betul, ibarat hutan ilmu, banyak pohon besar ilmuwan yang saya kenal namanya dan karyanya, tetapi tidak sempat dan tidak sanggup saya membaca serta menyelaminya. Yang paling melegakan tentu saja saya bisa tamat dan menggenggam titel doktor, simbol terminal akhir bagi seorang mahasiswa setelah melalui perjuangan yang tidak ringan. Titel doktor bagi saya ibarat SIM bagi seorang pengemudi.

Titel doktor haruslah dimiliki seorang dosen sekalipun doktor bukan jaminan kualitas kecendekiaan seseorang. Disayangkan, masyarakat sering kali salah persepsi dan terlalu besar harapannya terhadap penyandang gelar doktor. Terlebih doktor alumni luar negeri. Doktor lalu diasosiasikan dengan jabatan dan kekayaan.

Padahal doktor itu lebih tepat diposisikan sebagai ilmuwan atau akademisi yang kiprah dan pendalaman intelektualnya justru dimulai setelah menamatkan pendidikan doktornya. Tapi kenyataan di lapangan sangat menyedihkan. Begitu seseorang selesai dengan studi doktornya, tuntutan ekonomi keluarga dan harapan masyarakat begitu tinggi.

Sebagai PNS, gaji doktor jauh di bawah standar kebutuhan untuk hidup layak, boro-boro hidup mewah. Makanya banyak doktor yang kemudian memilih jadi birokrat di lingkaran departemen pemerintahan atau mengajar di berbagai universitas semata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan biaya sekolah anak-anaknya.

Kalau sudah sibuk dengan tugas birokrasi atau mengajar secara rutin, praktis tidak sempat lagi membaca buku, riset atau menulis. Puncak ilmunya adalah sewaktu menulis disertasi. Setelah itu masuk fase antiklimaks. Teman-teman saya yang doktor sadar betul akan beban dan tuntutan terhadap mereka agar kerja produktif di bidang keilmuan.
Tapi fasilitas negara untuk melakukan riset amat sangat minim. Makanya sekalipun Indonesia memiliki banyak doktor, langit keilmuannya tetap rendah. Masih jadi bangsa konsumen ilmu asing, bukannya produsen.