Kamis, 23 Juni 2016

Kontroversi Perda Nirtoleransi

Kontroversi Perda Nirtoleransi

Zainal Arifin Mochtar ;   Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua Pukat Korupsi
pada Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 14 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BERAWAL dari Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat, Pemkot Serang, Banten, lalu melakukan penegakan dalam bentuk razia di berbagai tempat yang menjual makanan di siang hari. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang diembani tugas untuk melakukan penegakan hukum atas perda tersebut lalu melakukan razia yang eksesif dengan bentuk penyitaan. Sang pemilik warung menangis di hadapan media, berita yang menjadi viral kemudian berubah menjadi pembicaraan publik yang besar.

Ada sekian banyak problem yang mungkin dianalisis. Pertama, apakah perda diperbolehkan mengatur hal-hal yang sangat nirtoleransi seperti itu. Kedua, analisis terhadap prosesi pembuatan perda. Ketiga, apakah yang harusnya dilakukan untuk antisipasi hal tersebut.

Secara hukum, perda hanya dapat dibuat dalam rangka menjalankan tugas otonomi dan perbantuan, serta dalam hal tertentu dapat dibuat dalam kerangka menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Memang, kemudian dibuatkan konteks di luar hal tersebut, yakni dalam kerangka menjalankan materi muatan lokal, tetapi tetap saja ‘dibelenggu’ dengan ketentuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Muatan lokal

Di sinilah menariknya melihat Perda tentang Penyakit Masyarakat tersebut. Paling mungkin, perda itu dianggap menjalankan muatan lokal tentang penyakit masyarakat. Akan tetapi, tentu saja sulit untuk dikatakan apakah ada kesesuaian muatan tersebut dengan peraturan perundang-undangan. Penyakit masyarakat secara antropologis dan sosiologis biasanya diidentikkan dengan narkoba, miras, judi, maksiat, anak jalanan, dan lainnya yang dianggap sangat mengganggu masyarakat. Yang menarik, mengapa kemudian problem membuka warung di tengah hari kala puasa ialah bagian yang dianggap sebagai penyakit masyarakat dan mengganggu masyarakat?

Kondisi objektif serta penalaran yang wajar sangat mungkin menerima perilaku membuka warung di siang hari kala puasa. Bahkan dalam perintah agama ada kemungkinan bagi orang muslim untuk tidak berpuasa semisal halangan, menyusui maupun sakit. Tentu saja menjadi aneh jika menjual makanan pada kelompok orang ini pun dianggap sebagai bagian yang masuk kategori penyakit masyarakat. Belum lagi jika dilebarkan analisisnya ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bukan negara agama, tetapi penganut sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, kembali menjadi pertanyaan, apa yang ada di kepala para pembentuk peraturan daerah ini ketika membentuk konsep hukum penyakit masyarakat yang memasukkan larangan membuka warung saat Ramadan.

Kedua, tentu saja kaitan dengan pertanyaan di atas yakni soal prosesi pembuatan perda itu sendiri. Memang sering kali dinisbahkanlah bunyi muatan lokal peraturan daerah itu kekeinginan masyarakat lokal tatkala pembentukan peraturan daerah. Semisal perda Serang ini, Wali Kota mengatakan hal tersebut merupakan masukan kaum alim ulama dan tokoh masyarakat Kota Serang serta didukung sepenuhnya oleh mereka.

Partisipasi publik

Inilah yang sering menjadi catatan terbesar dari pembentukan peraturan perundang-undangan. Sering kali, terjadi pengerdilan public participation yang ala kadarnya serta merusak prinsip partisipasi itu sendiri. Kritik lama soal public participation yang selama ini sudah mengecil seiring dengan maraknya proses pengambilan keputusan yang dalam konteks demokrasi saat ini hanya dikuasakan kepada pasar dan orang-orang yang dianggap ahli.

Apa yang dituliskan Olle Turnquist, Neil Webster, dan Kristian Stoke dalam Rethinking of Popular Representation (2009) menjadi menarik. Sering kali, peraturan kemudian dirampas orang-orang yang merasa punya otoritas untuk mewakili publik sehingga sebuah aturan sering kehilangan makna mengatur seluruh rakyat dan bukan sekadar penerimaan secara oligarkis, baik pasar maupun kalangan ahli.

Alasan bahwa didukung tokoh masyarakat dan kaum alim ulama tidaklah dapat dijadikan sandaran sejati bahwa perda tersebut sudah benar dan tinggal dijalankan secara murni dan konsekuen. Masyarakat yang paling kelas terbawah pun seharusnya punya ruang dalam konsep perda yang wajib disusun dalam kerangka partisipatif. Pada saat yang sama, inilah kritik terhadap model legislasi kita yang minim model simulasi dan hanya bertahan pada posisi partisipasi. Padahal, dalam konsep legislasi bermo­del simulasilah akan ditemukan berbagai kemungkinan dan penyakit bawaan yang akan terjadi dalam sebuah model peraturan.

Ketiga, tentu yang paling menarik ialah apa yang dapat dilakukan terhadap perda-perda nirtoleransi macam ini. Bayangan saya, negaralah yang harus hadir dalam bentuk kekuasaan dan bukan hadir dalam bentuk tindakan individual. Karena itu, memberikan sumbangan individual seperti yang dilakukan Presiden Jokowi dan Menteri Dalam Negeri merupakan jauh dari kesan cukup. Tindakan terlalu individual tersebut tidak akan mengubah apa-apa.

Yang diperlukan lagi-lagi ialah tindakan yang hadir dalam bentuk negara. Negara memiliki kewenangan executive review untuk melihat materi muatan perda-perda semacam ini. UU Pemerintahan Daerah menganut model larangan materi muatan perda yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan. Bahkan, dalam konteks ketentuan tentang kepentingan umum, termasuk di dalamnya ialah ketika aturan tersebut mengganggu kerukunan warga, mengganggu akses pelayanan publik, mengganggu ketertiban dan ketenteraman umum, mengganggu kegiatan ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan rakyat serta diskriminasi terhadap suku, agama, kepercayaan, ras, dan antargolongan serta gender.

Dalam hal itulah, negara harus hadir. Pemerintah pusat dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah harus menghadirkan diri dalam konsep yang lebih substantif mengawal perda-perda tak pas dan punya daya rusak yang kuat jika dibandingkan dengan perbaikan masyarakat yang diharapkan.

Selain negara, publik punya hak kuat melalui judicial review. Siapa saja yang merasa dirugikan dengan perda tersebut bisa membawa ke hadapan Mahkamah Agung untuk pengujian formil maupun materiil. Tindakan itu pada intinya sebagai penegas, jangan lagi ada peraturan daerah yang tidak toleran dan merusak seperti perda tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar