Minggu, 27 November 2016

Beragama Bukan untuk Bikin Stres

Beragama Bukan untuk Bikin Stres
Kalis Mardiasih  ;   Menyelesaikan S1 di Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sebelas Maret (UNS); Pernah jadi santri di Pondok Pesantren Khozinatul Ulum Blora selama 9 tahun; Kini nyantri tiap Jumat kliwonan; Kolomnis di beberapa media
                                                DETIKNEWS, 26 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada seorang teman bercerita, konon katanya, dia punya masalah dengan mertuanya gara-gara ribut kubu Ahok dan Anti-Ahok. Anggap saja begini: Ia dan suaminya adalah golongan yang menganggap Ahok tidak menista Alquran, sedangkan mertuanya adalah kubu yang menuntut kasus mulut comel Ahok diusut hingga tuntas.

Dua kubu ini berdebat seru di grup-grup whatsapp serta akun-akun sosial media mereka perihal alur kasus di Kepulauan Seribu, aksi bela Islam jilid pertama, jilid kedua hingga jilid-jilid yang akan datang. Lama kelamaan, tanpa mereka sadari, debat tekstual itu makin panas. Kebetulan, baik menantu maupun mertua sama-sama terpelajar pula. Mereka berdua merasa punya sikap beragama yang dilandasi konsekuensi logis dan pijakan perspektif yang kuat. Saya pun menjawab dengan serius,"Kalau mau berantem itu soal diskusi mau beli tanah atau debat harga rumah aja kan lebih keren. Berantem kok gara-gara Ahok…"

Rasa-rasanya, sejak akun sosmed kita jarang adem ayem pasca pilpres dua tahun lalu, fenomena semacam ini tidak ada habisnya. Coba diingat-ingat, siapa di antara kita yang belum baikan sama sahabat gara-gara beda pilihan calon presiden, padahal Jokowi sama Prabowo sendiri sudah kencan berkali-kali mulai dari nyari kodok hingga naik kuda. Atau, siapa diantara kita yang sering membatin dalam hatinya semacam ini: "Si A itu sebetulnya baik sih, dia temanku sejak kecil, dia suka membantu orang lain…tapi kok sekarang jadi buzzer politik ya…tapi kok sekarang jadi bala jonru ya… tapi kok sekarang posting di akunnya bego banget ya…". Dih, hayo, ternyata nggak saya aja!

Yang lagi kekinian, adalah soal tiga anak muda yang akhirnya datang menemui Gus Mus ke Pondok Raudhatut Thalibien, Leteh, Rembang, sebab mereka akhirnya kerepotan melihat reaksi linimasa atas ulahnya mengatakan "Bid'ah Ndasmu!" langsung ke akun twitter Abah Mustofa Bisri. Kalau mau adil, melontar pisuhan ke orang tua, siapapun itu, mau ulama atau bukan, ya memang kurang layak menurut adat ketimuran sih. Apalagi, jika pisuhan itu datangnya tanpa angin tanpa hujan. Gus Mus enak-enak ngetwit dengan ketinggian ilmunya, lha kok tiba-tiba si bocah emosi sendiri. Akhir-akhir ini, beragama jadi bikin emosi ya?

Dari hasil kunjungan tiga bocah itu, Gus Mus kemudian memberi nasihat begini: "Nomerku cateten wae, Le. Suk meneh yen awakmu anyel trus pengen misuhi aku, langsung wae. Aja sampek wong akeh ngerti." "Catat saja nomorku, Dik. Kapan-kapan kalau kau marah lalu ingin mengumpat lagi, langsung saja. Jangan sampai diketahui banyak orang."

Nasihat Gus Mus itu sesungguhnya mengandung filosofi dialektika Jawa yang tidak sederhana. Istilahnya, sanepan. Sanepan adalah campuran antara canda, sindiran serta nasihat yang dalam. Memang begitulah orang yang berilmu memahami bahasa. Beliau tahu bahwa bahasa menyediakan ruang-ruang toleransi. Di hadapan jiwa yang tulus dalam mendekati bahasa, bahasa dapat berubah sebagai alat penyalur gagasan dalam berbagai bentuk yang indah, seperti cerita, dongeng, dan syair puisi.

Lucunya, di linimasa, kasus itu justru belum selesai. Dua kubu berseberangan yang mengklaim dirinya "Santri" versus "Non Santri" meneruskan sindir menyindir. Katanya, kaum santri yang nyantai, toh jadi berlebihan cuma gara-gara twitter. Di sisi lain, saya mengerti betul jika konsep guru, dalam kitab Ta'limut Taalim bukan sekadar harus dihormati, lebih jauh dari itu merupakan kunci utama ilmu yang bermanfaat dan hidup yang barokah.

Padahal, kalimat Gus Mus yang tidak berpanjang-panjang itu mestinya justru menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk bersama-sama mengakui ketololan diri masing-masing dan merasa konyol untuk larut dalam aktivitas sindir menyindir di sosial media karena merasa lebih saleh dan bertakwa. Ada juga lho yang kadarnya sudah sampai sulit tidur gara-gara hari ini kalah debat dalil dan kalah argumen ilmiah, dan dalam batin berniat untuk melanjutkan debat lanjutan di hari esok dengan persiapan dukungan data yang lebih lengkap. Halo, Ibu-ibu, itu gorengan ikan di dapur gosong sudah diangkat?

Agama itu kan mestinya sederhana: biar tenang, biar damai, biar rajin bekerja, biar nambah saudara, biar sayang keluarga, biar saling tolong menolong dalam kebaikan. Lah, zaman sekarang, kebanyakan cabang dewan debat aliran agama, udah nggak ada bedanya sama hatersnya Agnes Mo atau fansnya JKT 48. Memang betul sih, di mimbar-mimbar yang mereproduksi agama secara instan, ia seolah-olah menjadi alat untuk membangun sebuah kerajaan utopis yang mustahil bagi kehidupan manusia.

Semesta itu berbentuk dunia Islam dalam sempitnya pemikiran ideologi-ideologi tertentu yang menolak realitas kemanusiaan. Mereka menghilangkan sifat Ar Rahman Allah yang memayungi seluruh makhluk. Maka, muncul generasi baru yang suka marah, mengumpat dan menyerang umat lainnya sebab gagal mewujudkan cita-cita hidup yang seragam itu.

Generasi anti-realitas itu jumlahnya terus berlipat ganda dan semakin nyata. Banyak dari mereka bahkan sudah tidak lebih percaya dan tidak menaruh adab pada orang tuanya sendiri. Mereka memasrahkan akal sehatnya pada guru yang jauh dari kapasitas murabbi ruuh. Demi ideologisasi keseragaman yang mustahil, mereka rela meninggalkan orang tua, dan pelan-pelan juga membuat batas pada saudara, sanak keluarga, serta teman-teman dekatnya sendiri.

Mereka menggunakan hadis seruan jihad (perlawanan) untuk mendukung keputusannya, sedangkan tugas utama manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah fil ardh, atau penjaga yang baik bagi bumi seisinya. Gelombang pendakwah kalah yang tidak siap pada berbagai kondisi iman dan ragam manusia tidak akan mencipta harmoni, melainkan chaos satu ke chaos lainnya.

Gus Mus, seperti pula Almarhum Gus Dur, memang sosok guru yang cenderung unik. Keunikan itu dapat kita saksikan lewat hal-hal yang paling dekat dengan beliau sendiri. Sebagai pribadi yang "nyeni" dan pandai bergaul dengan semua golongan, mereka justru kerap dianggap aneh dan diragukan keulamaannya. Gus Mus bertopi ala penyair Pablo Neruda, membuat sajak dan melukis.

Anak serta menantu beliau pun merdeka untuk berpenampilan modern, tidak seperti anak-anak kiai pada umumnya, dengan profesi yang bermacam-macam pula. Plis, nggak perlu debat soal anak-menantu Gus Mus, wong Gus Mus aja nyantai. Bahkan, di dalam keluarga beliau, ada tradisi memanggil anak dan menantu untuk berdiskusi secara terhormat perihal sebuah kasus dengan menyajikan keilmuan dan kitab andalan masing-masing.

Gus Mus mempersonakan sisi manusiawi. Ia sedang meneladankan sesuatu tanpa mesti berteori. Lagipula, ketika orang-orang kerap menyalahpahami beliau, beliau tetap mengajar kitab setiap hari di pesantren sejak subuh hingga sore hari, juga menjadi pemimpin dan pendengar keluh dan peluh masyarakat yang datang tiap hari. Hampir tak ada waktu untuk dirinya sendiri.

Kuntowijoyo memang pernah bertanya,"Jika agama tidak boleh kubawa berpolitik, apa ia mesti disimpan dalam lemari?" Kita tentu boleh bersepakat dengan Kuntowijoyo, tetapi yang ia maksud dengan kata "berpolitik" tentu saja bukan sekadar sotoy di sosial media. Bolehlah menguji nilai Islam mana yang lebih baik untuk membangun sekolah, bolehlah kita mengadu konsep Islam yang lebih baik dalam mewujudkan ekonomi berasas keadilan, bolehlah kita berpikir konsep Islam bagian mana yang anti macet Jakarta dan bisa mengurangi pengangguran. Diskusi yang begitu sih sepertinya nggak bakalan berisik. Hehehe…

Jadi, kalau hari ini atau besok sedang debat agama trus ngomel-ngomel sendiri, coba dicek itu agama atau apa kok bikin stres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar