Minggu, 27 November 2016

Lingkaran Setan Prasangka

Lingkaran Setan Prasangka
Jean Couteau  ;   Wartawan Senior KOMPAS
                                                    KOMPAS, 27 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam hidup, kadang-kadang kita harus berhadapan dengan hal yang tak terduga.. Dua hari yang lalu, saya berada di depan komputer dan tengah mencari-cari sudut pendekatan yang cocok untuk "Udar Rasa" ini. Pendeknya, saya tengah bengong di depan keyboard ketika, tiba-tiba "tululilit", ada pesan masuk di telepon seluler saya. Saya buka, lalu wah saya langsung tahu: itulah topik saya. Ternyata Aung San Suu Kyi, pucuk pimpinan Myanmar sejak dua tahun, tetap menolak istilah "persekusi (penindasan) Rohingya" yang digunakan Pelapor Khusus PBB. Pesan itu disertai ajakan untuk menandatangani petisi untuk mencabut Penghargaan Nobel Peace Prize yang diberikan kepadanya pada tahun 1991.

Sekilas, Aung San Suu Kyi memang memenuhi syarat untuk tampil sebagai tokoh universalis sebagaimana diimpikan para aktivis hak asasi manusia: dia korban kekerasan rezim militer, teguh melakukan perlawanan seorang diri selama bertahun-tahun, serta rela mengorbankan keluarganya demi nasib bangsanya. Namun, profilnya juga sesuai dengan fantasi pengagum selebritas: dia cantik, anggun, dan lulusan Oxford. Maka, tak heran apabila ladies and gentlemen yang menjadi anggota dari juri Nobel tanpa ragu menganugerahinya Hadiah Nobel pada tahun 1991, agaknya tanpa mengujinya lebih jauh, dan terutama tanpa mengetahui landasan pemikirannya yang sebenarnya. Mereka naif-dan bukan untuk yang pertama kali. Namun, kini kita tahu: dasar pokok pemikiran Aung San Suu Kyi adalah nasionalisme-etnis yang sempit. Dia pasti mengetahui bahwa kaum Rohingya adalah korban penindasan yang sistematis oleh militer dan kaum Buddha radikal. Meskipun demikian dia bungkam. Dia tidak mampu membersihkan diri dari prasangka historis masyarakat Burma terhadap orang etnis India-Burma, terutama mereka yang beragama Islam, kaum Rohingya. Oleh karena itu, dia pantas dianggap sebagai pemegang Hadiah Nobel yang gagal-gagal melampaui kepentingan kelompok etno-religios asalnya untuk mewakili kepentingan yang lebih luas: universalisme kemanusiaan.

Masalah Suu Kyi adalah masalah kita semua. Etnosentrisme, menurut Levi-Strauss, inheren pada konstruksi psikologis kita. Kita cenderung meyakini ketakmanusiaan kelompok lain-dan itulah kebarbaran kita. Sebagai ilustrasinya, Levi-Strauss memberikan contoh kontak-kontak pertama, pada abad ke-15, yang terjadi antara orang Spanyol dan orang Karibia. Yang pertama membentuk komisi khusus untuk menyelidiki apakah orang Karibia mempunyai "jiwa", sedangkan orang Karibia membunuh orang Spanyol untuk mengetahui apakah jasadnya membusuk seperti orang Karibia atau tidak membusuk seperti dewa. Jadi kemanusiaan kelompok "lain" cenderung disangkal tanpa ragu.

Berdasarkan keyakinan itu, perbuatan apa pun dibenarkan: membunuh, merampas, mendiskriminasi, memerkosa, dan tindak kekerasan lain, karena "mereka" berbeda "ras", kelas sosial, agama, suku, bangsa, dan sebagainya. "Selalu" yang "lain" itulah yang apriori dicap "bersalah": orang Yahudi atau Tionghoa menipu, orang "bule" berlagak superior, orang Arab memerkosa, orang Nasrani menyebarkan agamanya, orang Hindu kafir, orang Islam siap berjihad.

Kita setiap saat ditawarkan untuk merangkul aneka prasangka sejenis, yang disebarkan secara tersurat ataupun tersirat, melalui orangtua, sekolah, pers, TV, media sosial, figur agama, dan apa saja. Jadi tidak mudah menerima konsep kemanusiaan yang utuh. Prasangka-prasangka setiap saat siap bermunculan kembali dan "mereka yang lain" itu selalu kembali menghantui kita karena "si Ano, Tionghoa itu, memang nyatanya rakus", "Si Ahmad memang menambah istri lagi satu", dan "si Fransiskus yang Flores memang kasarnya bukan kepalang". Untuk melampauinya ada dua jalan: empati spiritual dan/atau pengertian intelektual atas kompleksitas.

Figur kemanusiaan yang sesungguhnya adalah mereka yang telah berhasil melampaui segala determinasi sempit di atas dan bersikap secara konsekuen. Hemat saya, figur panutan utama di dalam hal ini adalah Nelson Mandela, almarhum yang telah mampu, tanpa pernah mengalah, memahami beban historis yang mendasari rasisme kaum "putih" Afrika Selatan dan kemudian membantu mereka keluar dari lingkaran setan rasisme itu.

Khususnya di Indonesia, yaitu di Jakarta, saya berharap tokoh-tokoh Islam dan Nasrani, pribumi dan Tionghoa, mampu juga memahami beban historis yang mendasari prasangka mereka masing-masing dan saling tolong-menolong untuk keluar dari lingkaran setan yang tengah menjerat mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar