Selasa, 20 Desember 2016

Ahok dan Perang Keramaian

Ahok dan Perang Keramaian
Aris Setiawan  ;   Etnomusikolog ISI Surakarta
                                                  TEMPO.CO, 20 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Aton Rustandi Muliana (2014) dalam studinya secara spesifik menjelaskan bahwa keramaian, kegaduhan, dan kebisingan sering kali dibentuk atas dasar kesengajaan. Keramaian itu adalah sebuah citra sosial yang dibangun untuk memberi kesan mendalam terkait dengan dua hal, yakni kekuatan dan peristiwa besar. Dalam konteks permasalahan yang dihadapi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang dituduh menistakan agama, misalnya, kemudian ada gerakan dari masyarakat—berbasis agama—turun ke jalan dengan jumlah besar. Mereka ingin mengkonstruksi citra sebuah kekuatan massa sekaligus hendak menunjukkan bahwa kasus itu besar dan penting. Setelahnya, keramaian tidak hanya diwakili oleh tubuh-tubuh yang berkumpul, tapi juga komentar-komentar di media sosial. Perang wacana dan pembelaan dari masing-masing kubu menjadi kegaduhan—keramaian—tersendiri yang tak kalah sengit.

Selama ini belum ada studi yang secara spesifik mengamati fenomena "keramaian", terutama dalam konteks politik. Keramaian yang dimaksudkan bukan tentang "apa yang diramaikan", melainkan bagaimana keramaian itu dibentuk, dimaknai, dan implikasi apa yang ditimbulkannya. Dalam konteks ini, apa yang diramaikan menjadi tidak lagi penting untuk diulas. Kini kita memasuki "zaman keramaian" (kegaduhan?) atau, meminjam istilah Guy Debord (1967), disebut sebagai spectacle. Hal ini terjadi ketika kita menjadikan apa pun sebagai sebuah masalah berjemaah, konsumsi publik, dan siapa pun dapat memberinya makna dan nilai baru.

Michael Oriard (1993) dan Alan Tomlinson (2006) meneliti bagaimana proses keramaian itu dibentuk. Ia mengambil kasus dalam pertandingan olahraga, sepak bola. Pertandingan sepak bola dalam arti sesungguhnya tidaklah penting. Yang penting justru bagaimana menjadikan peristiwa itu bermakna dan bernilai. Hal ini dikonstruksi, misalnya, dengan perang komentar-wacana antara klub dan pelatih, menggerakkan suporter, mengangkat isu rasial, hingga membuat pertandingan tampak menarik dengan adanya dentuman kembang api, tari-tarian, serta nyanyian (musik).

Peristiwa biasa kemudian menjadi luar biasa. Seseorang kemudian menonton sepak bola tak hendak menyaksikan gelindingan bola dari kaki ke kaki, melainkan pembelaan terhadap harga diri dan gengsi. Mereka bisa sangat marah dan berbuat anarkistis saat klub yang dibelanya kalah, dan menjadi sangat jemawa saat klub yang dibelanya menang. Secara hierarkis, sebenarnya mereka tidak memiliki hubungan langsung terhadap pertandingan dan pelaku permainan itu (pemain, pelatih, pengurus). Namun kehadiran individu-individu itu seolah dibuat dekat dengan memunculkan "ritual keramaian" tadi. Wacana, isu, dan gosip diembuskan untuk meraih simpati, terutama lewat berbagai media. Orang-orang dalam radius terjauh pun merasa memiliki kewajiban untuk terlibat langsung. Timbullah kemudian fans club, suporter, sepak bola Eropa di Indonesia yang mati-matian membela klubnya nan jauh di sana.

Jika teori itu dihadapkan dalam persoalan politik mutakhir, orang-orang yang tak pernah bersentuhan langsung dengan Ahok merasa memiliki kewajiban untuk terlibat, entah membela atau menghujat. Mereka meluapkan dengan berbagai cara. Keramaian pun semakin membuncah sehingga esensi persoalan yang sebenarnya menjadi bias alias kabur. Tidak lagi penting tentang apa yang diucapkan Ahok, melainkan bagaimana keramaian itu terus dipelihara lewat pemunculan atau produksi wacana, konflik, isu, dan gosip baru. Sama seperti pertarungan di antara dua klub sepak bola, bukan lagi persoalan kalah-menang, melainkan tentang citra-harga diri yang dibangun.

Pada zaman ini keramaian sengaja dibentuk dengan berbagai kepentingan, sering kali bagi orang-orang yang paham dan mampu mengolah justru menjadikannya senjata nan akurat dan berguna. Ia mengolah kegaduhan itu dengan teliti, menggerakkan manusia-manusia dengan hanya satu produksi wacana kecil. Kisah Ahok berkembang bukan lagi semata penistaan agama, tapi juga menyangkut persoalan politik, suku, ras, hukum, ekonomi, dan kultural. Setiap individu perang wacana.

Dalam dunia seni pertunjukan, Ngarot di Indramayu dan pasar malam di Jawa adalah contoh yang ideal bagaimana peristiwa kegaduhan bunyi diproduksi untuk meraih simpati publik agar datang dan terlibat. Suara bising orkes dangdut dibenturkan dengan musik memekik kesenian reog, suara gamelan tari topeng, dan bunyi mainan anak-anak secara bersamaan. Kegaduhan itu adalah katalisator dalam meraih tujuan-tujuan tertentu. Dalam keramaian ada eksistensi dan harga diri. Lewat keramaian mereka menciptakan ruang yang gaduh dengan berbagai diskusi dan wacana. Pertanyaannya kemudian, apa yang hendak mereka cari lewat keramaian itu? Jika demikian, apabila setiap orang begitu ramai dan gaduh menanggapi kasus Ahok, apa yang sudah dan akan mereka dapatkan? Bukankah hubungan pertemanan seringkali harus berakhir, hidup menjadi tidak tenang dengan berbagai teror keramaian baru?

Alangkah baiknya jika kita dapat mengolah keramaian itu dengan bijak, dengan sedikit menahan untuk tidak menyampaikan wacana yang dapat membuat kegaduhan baru. Bukankah terlalu ramai hingga menyebabkan bising dan noise juga tidak baik untuk kesehatan? Karena itu, dalam beberapa kasus, keramaian memang harus dihindari agar hidup menjadi lebih tenang dan damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar