Rabu, 28 Desember 2016

Dunia Makin Terancam Terorisme

Dunia Makin Terancam Terorisme
Amidhan Shaberah  ;   Ketua MUI (1995-2015;  
Anggota Komnas HAM (2002-2007)
                                              KORAN SINDO, 26 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menjelang tahun baru 2017, dunia makin terancam terorisme. Kematian-kematian tragis para gembong teroris seperti Osama bin Laden, Azahari, Noordin M Top, Santoso, Imam Samudera ternyata tidak menyurutkan kelompok-kelompok radikal Islam untuk menghentikan aksi terorismenya.

Bahkan belakangan ini, gerakan mereka makin intensif dan mengancam kemanusiaan. Di Indonesia, Rabu (21/12) Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88) mengepung sebuah rumah kontrakan di Kampung Curug, Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten. Di dalam rumah itu, terdapat tiga teroris yang sudah mempersiapkan bom. Dan polisi kemudian menembak mati ketiganya karena mereka melawan dan melemparkan bom ke arah petugas. Di hari yang sama, polisi juga menangkap tiga terduga teroris di tiga tempat berbeda.

Di Kota Payakumbuh Sumbar, Densus 88 menangkap Hamzah yang telah menyiapkan bahan peledak. Lalu di Kabupaten Deli Serdang, Sumut, polisi menangkap Syafii, yang telah lama dipantau gerak-geriknya. Ketiga, di Batam, Densus menangkap Abisya, juga teroris yang lama diamati polisi. Menurut polisi, para teroris yang tewas dan ditangkap Rabu itu adalah anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD), organisasi sayap ISIS di Indonesia pimpinan Bahrun Naim, warga Solo, yang kini bermukim di Suriah. Sebelum tertangkap, mereka berencana akan menusuk polisi di hari pesta akhir tahun, kemudian ketika orang ramai menolong polisi, salah seorang di antara mereka akan meledakkan diri dengan bom.

Dengan demikian, di samping polisi, korbannya makin banyak. Bagi kelompok teroris, makin banyak korbannya makin baik karena niatnya untuk mendirikan negara sesuai keinginan mereka makin mulus. Para korban tersebut dianggap orang-orang yang akan merintangi niatnya. Apakah tewasnya tiga teroris di Jawa dan tertangkapnya tiga teroris lain di Sumatera di atas akan bisamenghentikanterorisme di Indonesia?

Fakta menunjukkan, aktivitas terorisme tampaknya tidakterganggu dengan penangkapan dan tewasnya mereka. Malah, mereka menyusun strategi baru lagi untuk melakukan aksi-aksi teror dengan modus baru. Di kawasan Eropa, kondisinya lebih parah lagi. Selasa (19/ 12) seperti halnya di Indonesia, tiga teror melanda tiga negara dengan modusyang berbeda. Mungkin ini hanya kebetulan.

Tapi ketiganya menunjukkan kepada kita bahwa terorisme tidak pernah mati dan teroris tidak kekurangan akal untuk mengacaukan tatanan dunia yang tidak sesuai keinginannya. Teror pertama adalah pembunuhan Dubes Rusia untuk Turki, Andrei Karlov oleh seorang polisi Turki, Mevlut Mert Altintas. Altintas diduga merupakan anggota jaringan terorisme di Turki. Karlov ditembak mati dalam jarak sangat dekat dari belakang oleh Altintas, ketika memberikan sambutan dalam suatu acara pameran foto bertema ”Rusia dari Pandangan Orang-orang Turki” di Gedung Cagdas Senat Merkezi, Ankara.

Terbunuhnya Dubes Rusia ini menyentak para pemimpin internasional. Dunia cemas, kalau-kalau peristiwa tersebut akan memicu perang dunia seperti kasus terbunuhnya Pangeran Ferdinand, putra mahkota Kerajaan Austria oleh teroris Serbia, tahun 1914. Maklumlah, Turki dan Rusia selama ini hubungannya kurang akrab. Apalagi sebelum peristiwa penembakan Dubes Rusia ini, pada November 2015, Turki menembak jatuh pesawat tempur Su-24 Rusia yang dianggap melanggar kedaulatan udara Turki.

Alhamdulillah, kedua pemimpin negara tersebut, Erdogan (PM Turki) dan Putin (Presiden Rusia) menyadari bahwa kasus penembakan Dubes Karlov itu ”didalangi” pihak ketiga yang ingin merusak hubungan Rusia-Turki yang baru saja pulih setelah kunjungan Erdogan ke Rusia, Agustus 2016 lalu. Teror kedua, serangan atau teror dengan menggunakan truk besar yang ditabrakkan ke kumpulan massa di sebuah pasar Natal, di Berlin, yang menewaskan 12 dan melukai lebih 50 orang. Serangan ini mirip teror di Kota Nice, Prancis, Juli lalu.

Pengemudi diyakini sengaja menabrakkan truknya untuk membunuh orang sebanyak mungkin. Sopir truk itu diduga adalah Anis Amri, pengungsi dari Tunisia yang tidak diterima untuk menetap di Jerman. Surat kabar Jerman Die Welt melaporkan, pelaku diperkirakan datang ke Jerman pada 16 Februari 2016. Teror dan kekerasan ketiga terjadi di sebuah musala di Zurich, Swiss. Kali ini, seorang pria membabi buta menembak kaum muslim yang sedang salat. Kepolisian Zurich, masih mengumpulkan bukti-bukti. Belum dapat disimpulkan motif penembakan yang melukai tiga orang jamaah itu.

Meski tidak ada hubungan ketiga aksi teror tersebut, benang merah radikalisme dan terorisme semakin mencemaskan dunia. Perbedaan ideologi dan aliran keagamaan yang mestinya menjadi ”alat untuk saling mengenal dan menghargai pihak lain” justru menjadi alat teror dan kebencian. Padahal, jika dikaji secara mendalam, jangankan aksi teror yang menewaskan banyak orang atau merusak kehidupan, menyakiti orang lain saja dilarang oleh agama manapun. Karena itu semua tokoh agama, baik di Indonesia maupun belahan bumi lainnya, harus bersama-sama membina umat dan mengembalikan kehidupan agama sesuai tujuan yang dikehendaki Allah.

Yaitu, agama diturunkan ke bumi untuk kemaslahatan manusia. Dalam bahasa Islam, agama diturunkan untuk memperbaiki akhlak manusia. Aksi terorisme tampaknya sulit dihentikan jika ketimpangan di berbagai lini kehidupan masih terus terjadi. Sangat mungkin aksi-aksi itu dipicu oleh rasa tidak puas pada ketimpangan dan ketidakadilan di sekitar mereka, lalu ketidakpuasan itu diekspresikan melalui ”keyakinan agama mereka yang ekstrem”. Namun demikian, karena basis tindakan terorisme ini umumnya dari ajaran agama, maka peran kaum agamawan tetaplah sangat urgen, di samping, tentu saja peran aparat keamanan menjadi sangat penting.

Mereka harus mampu mengendus setiap gerakan yang berpotensi mengancam keamanan masyarakat, baik dilihat dari aspek ideologis maupun aspek keamanan. Noor Huda Ismail, seorang pengamat terorisme, dalam penelitiannya menemukan bahwa para teroris itu umumnya adalah orang-orang yang hidup dalam keretakan rumah tangga; hidup dalam kemiskinan yang kronis; dan berada dalam asuhan yang salah. Intinya, kata Ismail, terorisme hanya tumbuh di masyarakat yang hidup dalam ketidakbahagiaan. Itulah sebabnya, Ismail, mencoba mencari solusi dengan mendirikan ”warung makan dan bistik” di Solo dan Semarang.

Melalui Yayasan Prasasti Perdamaiannya, Ismail menjelaskan, para teroris dan calon teroris harus diajari bagaimana memberikan ”servis” kepada para tamu restorannya. Menyervis tamu resto adalah strategi pemasaran yang mengutamakan keramahan dan kepuasan pengunjung. Dari resto bistik inilah, kata Ismail, para mantan teroris belajar bersikap ramah dan memperhatikan keinginan orang lain. Dari metode ini, sedikit demi sedikit karakter radikal dan ekstrem seseorang akan terkikis. Apa yang dirintis Ismail, menurut kami ada benarnya.

Apalagi bila dipadukan dengan ajaran-ajaran agama, khususnya yang berkaitan keharusan manusia untuk saling menghargai orang lain. Nabi Muhammad bersabda, sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaatnya untuk kehidupan orang lain. Terkait dengan persoalan di atas, ketika dunia kini cemas melihat perkembangan terorisme, mungkin perlu ada solusi alternatif.

Yaitu, bagaimana dunia melalui PBB, kembali menata keadilan baik secara ekonomi maupun sosial, agar kekayaan dunia terdistribusi dengan adil dan merata. Dunia membutuhkan keadilan yang komprehensif sehingga dirasakan oleh seluruh umat manusia. Jika itu terjadi, niscaya terorisme akan berhenti dengan sendirinya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar