Minggu, 25 Desember 2016

Fatwa Kapolri dan Fatwa MUI

Fatwa Kapolri dan Fatwa MUI
Moh Mahfud MD  ;   Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
                                              KORAN SINDO, 24 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kamis, 22 Desember2016, dua hari yang lalu, selama seharian saya berdiskusi melalui Twitter dengan sangat banyak netizen tentang fatwa. Diskusi tersebut dipicu oleh pernyataan Kapolri Tito Karnavian bahwa fatwa MUI bukan hukum positif.

Pekan lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang mengeluarkan Fatwa No. 56 Tahun 2016 yang menyatakan ”haram” bagi kaum muslimin memakai atribut-atribut agama lain, termasuk atribut Natal. Diberitakan, ada dua kapolres yang merespons dengan cepat dan bermaksud memberlakukan Fatwa MUI tersebut di lapangan.

Namun, Kapolri Tito Karnavian menegur keduanya dan menyatakan bahwa Polri tidak bisa menegakkan fatwa tersebut dalam posisinya sebagai penegak hukum, karena fatwa bukanlah hukum positif. Atas pertanyaan seorang netizen, saya mengatakan bahwa ”Kapolri benar, fatwa bukan hukum positif sehingga penegakannya tidak bisa menggunakan Polri sebagai aparat penegak hukum”.

Ternyata banyak netizen yang belum paham arti fatwa dan arti hukum, bahkan tidak paham perbedaan antara norma hukum dan norma yang bukan hukum. Akun Twitter saya pun dibanjiri berbagai respons. Selain yang sependapat dengan saya, ada juga netizen yang tidak setuju dan menyatakan fatwa MUI adalah hukum Islam yang mengikat bagi umat Islam.

Bahkan ada juga yang mempertanyakan keislaman saya dengan tudingan, saya anti-MUI atau antihukum Islam. Saya sendiri tak terganggu sedikit pun dengan tudingan tersebut. Pendapat saya bahwa fatwa bukan hukum positif dan tidak mengikat merupakan dalil yang tidak perlu persetujuan dari siapa pun.

Kalau ada yang tidak setuju pun, dalil itu tetap berlaku: fatwa tidak mengikat. Jangankan hanya fatwa MUI, fatwa Mahkamah Agung (MA) yang merupakan lembaga yudikatif tertinggi pun tidak mengikat, tidak harus diikuti. Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) dan bukan hukum itu sendiri.

Soal identitas keislaman, saya nyatakan bahwa justru karena saya Islam maka saya berpendirian bahwa fatwa keagamaan tidak mengikat dalam arti hukum, boleh diikuti dan boleh tidak. Saya juga sama sekali tidak anti-MUI karena saya tidak termasuk orang ikut berteriak agar MUI dibubarkan.

Bagi saya, MUI sangat penting keberadaannya sebagai pembimbing umat yang sekaligus menjadi jembatan antara umat Islam dan pemerintah. Saya menyatakan pendapat saya tentang fatwa sebagai pembelajar hukum, termasuk hukum Islam. Oleh sebab itu, masalah kedudukan fatwa yang tidak mengikat itu bisa saya jelaskan baik dari hukum nasional maupun dari hukum Islam sendiri.

Dari sudut hukum nasional fatwa itu, meskipun bersisi fatwa tentang hukum Islam, tetap tidak mengikat. Dalam hukum nasional, yang mengikat adalah norma yang sudah dijadikan norma hukum, yakni ditetapkan keberlakuannya oleh negara. Di dalam masyarakat, banyak sekali norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku, tetapi tidak semua norma menjadi hukum.

Pada hari pertama mahasiswa belajar di fakultas hukum, misalnya, yang diajarkan adalah doktrin dan dalil utama bahwa di dalam masyarakat ada empat macam norma atau kaidah, yaitu norma keagamaan, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum. Norma yang mengikat dan bisa dipaksakan keberlakuannya melalui aparat negara adalah norma hukum, yakni norma yang diberlakukan secara resmi oleh negara melalui pemberlakuan oleh lembaga yang berwenang, misalnya, dijadikan UU atau perda oleh lembaga legislatif.

Orang memerkosa, misalnya, harus diadili dan dihukum karena yang bersangkutan melanggar norma yang sudah dijadikan UU, bukan karena melanggar hukum agama. Namun, orang melanggar norma kesopanan seperti hanya memakai kaus ketika menghadap rektor atau melanggar norma agama seperti tidak mau berpuasa bulan Ramadan tidaklah dapat dihukum karena hal-hal tersebut bukan norma hukum.

Kalau begitu, bisakah norma agama dijadikan hukum? Tentu saja bisa, sepanjang disahkan sebagai hukum oleh lembaga yang berwenang, misalnya dijadikan UU atau diberi bentuk peraturan perundang-undangan lainnya dan bukan hanya berbentuk fatwa. Dalam bidang keperdataan, misalnya, sudah ada norma agama Islam yang dijadikan hukum seperti di bidang perkawinan, pewarisan, dan ekonomi syariah yang bisa ditegakkan melalui kekuatan negara.

Hukum pidana Islam (jinayat) yang mengenal qishas (sanksi hukuman yang sama dengan pidana yang dilakukan) atau had (jenis hukuman tertentu seperti cambuk dan potong tangan) sejatinya bukan hukum di Indonesia karena hal tersebut tidak diberlakukan. Jadi, benarlah pendapat hukum atau fatwa Kapolri bahwa fatwa MUI tentang atribut Natal tak bisa ditegakkan oleh negara karena ia, dalam konteks Indonesia, bukanlah hukum positif.

Lebih dari itu, di kalangan internal umat Islam sendiri sebenarnya fatwa itu juga tidak mengikat karena ia hanya pendapat hukum dan belum tentu sama dengan hukum itu sendiri. Itulah sebabnya setiap ulama bisa membuat fatwanya sendiri-sendiri.

Hasil penelitian dosen UIN Jakarta Rumadi yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, ”Fatwa Hubungan Antar Agama di Indonesia” menguraikan adanya beberapa fatwa yang berbeda dalam isu yang sama antara tiga lembaga yakni MUI (Komisi Fatwa), NU (Lembaga Bahtsul Masail), dan Muhammadiyah (Majelis Tarjih).

Dalam hal mengucapkan selamat Natal, pemimpin perempuan, atau bunga bank, misalnya, ketiga lembaga tersebut mengeluarkan fatwa yang berbeda-beda. Keberbedaan tersebut bisa saja terjadi karena fatwa itu hanyalah pendapat hukum dan bukan hukum itu sendiri.

Makanya fatwa tidak mengikat, kita boleh ikut salah satunya, boleh juga tidak diikuti ketiganya karena kita mengikuti fatwa yang lain lagi. Kalau begitu, apakah fatwa itu penting? Tentu penting sebagai rujukan karena fatwa itu hanya boleh dibuat oleh orang atau lembaga yang berkompeten dalam bidang agama.

Apakah fatwa itu baik? Tentu pada umumnya fatwa-fatwa itu baik karena bisa menjadi tuntunan bagi umat yang membutuhkan bimbingan. Tetapi terlepas dari soal penting dan baik, fatwa bukanlah hukum dan penegakannya tidak bisa menggunakan aparatur hukum negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar