Rabu, 28 Desember 2016

Fatwa MUI dan Living Law Kita

Fatwa MUI dan Living Law Kita
Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara;  Ketua MK-RI 2008-2013
                                         MEDIA INDONESIA, 26 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETELAH melalui berbagai media, saya mengatakan bahwa dari sudut konstitusi dan hukum, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)tidak mengikat dan tidak bisa dipaksakan melalui penegak hukum, kemarin, dimunculkan satu statemen dari pakar hukum Yusril Ihza Mahendra yang seakan-akan dipertentangkan dengan pendapat saya.

Pernyataan Yusril Ihza yang oleh media diberi judul ‘Yusril: Hukum Islam adalah the Living Law’ sebenarnya tidak ada pertentangannya sama sekali dengan pendapat saya bahwa ‘Fatwa MUI bukan Hukum Positif dan tidak Mengikat.’ Saya dan Yusril Ihza sepen­dapat bahwa hukum agama yang belum diformalkan negara, apalagi hanya fatwa, adalah tidak mengikat dan tidak dapat dipaksakan pemberlakuannya oleh aparatur hukum negara.

Tetapi, di media sosial, statemen Yusril Ihza itu dikonfrontasikan dengan pendapat saya, seakan-akan bertentangan. Akun Twitter @kawanabadi misalnya, menanyakan bagaimana pendapat saya tentang pendapat Yusril Ihza terkait the living law itu. Di beberapa grup WhatsApp (WA) pernyataan Yusril Ihza itu dijejer dengan pernyataan saya disertai caption, “Sesama Ahli Hukum, Mana yang Benar?”

Tidak bertentangan

Saya pastikan, pendapat yang saya kemukakan bahwa fatwa MUI tidak mengikat tidaklah bertentangan dengan pendapat Yusril Ihza bahwa hukum Islam adalah living law. Sebab living law pun, kalau belum diberlakukan secara resmi oleh negara, keberlakuannya tidak bisa dipaksakan dengan sanksi heteronom atau sanksi yang dipaksakan negara. Istilah living law itu sendiri, sekurang-kurangnya, mempunyai dua arti.

Pertama, norma yang hidup karena ditaati keberlakuannya oleh masyarakat meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara. Kedua, hukum resmi yang bersifat dinamis dan kenyal atau supel, sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman dan selalu aktual dalam keadaan apa pun. Untuk pengertian yang kedua tersebut di dalam ilmu politik dan konstitusi ada juga istilah living constitution dan living ideology. Mari kita runut secara singkat pandangan saya dan pandangan Yusril Ihza.

Saya menyatakan, jangankan fatwa MUI, fatwa Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di negara Indonesia juga tidak mengikat. Di dalam tata hukum kita yang mengikat dari Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan hanyalah vonis yang sudah inkracht, bukan fatwa. Fatwa itu tak lebih dari pendapat hukum (legal opinion) yang boleh diikuti dan boleh tidak diikuti.

Dari sudut peraturan yang bersifat abstrak, fatwa baru bisa mengikat kalau sudah diberi bentuk hukum tertentu oleh lembaga yang berwenang, misalnya dijadikan undang-undang atau peraturan daerah sehingga menjadi hukum positif. Bahwa ada orang Islam yang mau melaksanakan fatwa itu bisa saja sebagai kesadaran beragama secara pribadi, bukan sebagai kewajiban hukum.

Kalau pun, misalnya, orang bersalah karena tidak mengikuti fatwa keagamaan, sanksinya adalah sanksi otonom atau sanksi yang datang dari dalam diri sendiri berupa penyesalan atau rasa berdosa. Pernyataan Yusril Ihza bahwa hukum Islam adalah living law tidak lantas bisa diartikan bahwa fatwa, bahkan hukum Islam sendiri, adalah hukum yang mengikat dan bisa dipaksakan. Yusril Ihza tidak mengatakan itu.

Hukum Islam sebagai living law, seperti yang dipergunakan dalam pernyataan Yusril Ihza, merupakan hukum yang hidup dan ditaati keberlakuannya oleh masyarakat meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Living law seperti hukum Islam yang belum dijadikan isi undang-undang tentu tidak bisa dipaksakan penegakannya oleh aparat penegak hukum.

Mengapa? Karena keberlakuannya bersifat sukarela berdasar kesadaran pribadi pihak yang menerima sehingga sanksinya hanyalah dosa menurut agama atau sanksi otonom berupa penyesalan. Itulah sebabnya Yusril Ihza juga menyertakan dalam statemennya itu agar pemerintah memformalisasikan living law menjadi hukum formal, sehingga bisa ditegakkan negara. Artinya, pada titik ini, saya dan Yusril Ihza sama-sama berpendapat bahwa norma-norma yang menurut ilmu hukum disebut hukum Islam, meskipun sudah menjadi living law, tidak bisa dipaksakan keberlakuannya oleh negara, jika tidak atau belum dijadikan hukum positif dulu melalui pengundangan dalam bentuk undang-undang, peraturan daerah, dan sebagainya.

Norma

Pelajaran yang paling awal diberikan kepada pembelajar hukum adalah bahwa hukum merupakan kristalisasi norma di dalam masyarakat, yang diberlakukan secara resmi oleh negara dengan disertai ancaman sanksi yang dapat ditegakkan melalui aparatur penegak hukum negara. Di dalam kehidupan masyarakat ada empat jenis norma yakni norma keagamaan, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.

Norma yang mengikat dan bisa dipaksakan berlakunya oleh negara dengan sanksi heteronom adalah norma hukum. Hubungan norma hukum dengan norma-norma lainnya bersifat gradual, artinya, norma-norma lain itu baru mengikat dan bisa dipaksakan keberlakuannya kalau ditingkatkan menjadi norma hukum melalui, misalnya, proses legislasi.

Dalam konteks ini karena bukan merupakan norma hukum yang sudah diformalkan, menurut tata hukum Indonesia, fatwa MUI tidak mengikat dan tidak dapat dipaksakan keberlakuannya oleh aparatur negara. Bagaimana kedudukan fatwa MUI di depan pengadilan? Fatwa MUI di depan pengadilan bisa dijadikan keterangan dan atau pendapat ahli, bahkan doktrin, dalam rangka pembuktian kasus konkret-individual (in concreto), bukan sebagai peraturan yang abstrak-umum (in abstracto). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar