Minggu, 25 Desember 2016

Jeda Asap Memberi Napas Lega

Jeda Asap Memberi Napas Lega
Ichwan Susanto  ;   Wartawan Kompas
                                                    KOMPAS, 24 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seperlima populasi Indonesia, khususnya di sebagian Sumatera dan Kalimantan, tahun ini boleh bernapas lega. Sepanjang tahun 2016, jumlah titik panas turun signifikan atau lebih dari 80 persen dibandingkan tahun 2015.

Banyak yang nyinyir dan beranggapan capaian itu anugerah Tuhan yang memberi musim kemarau basah akibat La Nina. Kondisi iklim yang berkebalikan dari setahun lalu saat Indonesia dilanda iklim sangat kering akibat El Nino.

Bencana asap tahun 2015, di mana lebih dari 43 juta warga di sebagian Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua bagian selatan menghirup udara kotor berbulan- bulan, agaknya menjadi pelajaran berharga. Dalam pidato resmi di Konferensi Perubahan Iklim Ke-21 di Paris, Perancis, November 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan tekadnya menghentikan langganan kebakaran hutan dan lahan.

Meski areal rawa gambut yang terbakar hanya sepertiga dari total 2 juta hektar luas lahan dan hutan yang terbakar, dampak kebakaran di areal gambut sangat serius. Kabut asap menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari Rp 200 triliun, belum termasuk kerugian lingkungan serta biaya kesehatan dan gangguan hubungan politik dengan negara tetangga.

Melihat dampak kebakaran hutan dan lahan itu, Istana membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016. Pembentukan badan itu disambut baik sebagai bukti keseriusan politik pemerintah menyudahi kabut asap dari emisi kebakaran di rawa gambut yang dikeringkan.

Analisis pemodelan yang dipimpin Harvard University, Shannon N Koplitz menyebut, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015 menyebabkan kematian dini 91.600 orang Indonesia, 6.500 orang di Malaysia, dan 2.200 orang di Singapura. Angka mencengangkan itu dari analisis kepekatan udara PM2,5 dari stasiun bumi di Singapura, citra satelit, serta arah angin periode September-Oktober 2006-2015.

Selain partikel debu halus (PM2,5), riset Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo bersama sejumlah universitas di Amerika Serikat didanai NASA menunjukkan, asap gambut mengandung zat kimia berbahaya. Riset itu berpotensi merevisi data emisi asap dari kabut asap yang tahun 2015 menempatkan Indonesia sebagai pengemisi terbesar ketiga di dunia.

Upaya restorasi

Berbagai kajian alamiah yang muncul seakan menguatkan langkah Presiden membentuk BRG. Meski di lapangan terjadi perdebatan dan menyayangkan isi perpres yang hanya menjadikan BRG sebagai "pelaksana" dan seolah berada di bawah menteri teknis-karena harus melaporkan kepada Presiden melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan-sejumlah pihak menaruh kepercayaan tinggi.

BRG yang memiliki empat deputi diisi sosok akademisi dan pegiat lingkungan dipimpin Nazir Foead, yang pernah bekerja untuk WWF Indonesia.

Iklim bersahabat tahun ini, tanpa mengabaikan kabut asap di Kalteng dan Riau pada Agustus 2016, membuat BRG bergerak leluasa. Bermodal peta awal Kawasan Hidrologis Gambut dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BRG dibantu tim pakar menyusun peta indikatif restorasi pada September 2016.

Peta itu menempatkan 2,4 juta hektar areal gambut sebagai prioritas restorasi di tujuh provinsi, yaitu Riau, Sumsel, Jambi, Kalteng, Kalbar, Kalsel, dan Papua. Dari total itu, diketahui 684.000 hektar kawasan lindung, 1,4 juta hektar kawasan budidaya berizin, dan 396.000 hektar kawasan budidaya tak berizin. Itu terdiri dari areal restorasi pasca kebakaran 2015, restorasi kubah gambut berkanal, restorasi kubah gambut tak berkanal (utuh), dan restorasi gambut dangkal berkanal.

Dari sisi biaya, BRG diinstruksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla mendapatkan pembiayaan luar negeri. Meski demikian, tahun 2017 negara masih menganggarkan Rp 865 miliar untuk operasional BRG.

Dengan restorasi berupa pembasahan kembali (di luar revegetasi) yang membutuhkan rata-rata biaya Rp 12 juta per hektar, sedikitnya dibutuhkan biaya Rp 12 triliun untuk pekerjaan restorasi 1 juta hektar gambut di hutan lindung dan kawasan budidaya tak berizin. Itu dengan catatan 1,4 juta hektar gambut yang telah berizin direstorasi sendiri pengelolanya.

Tak cukup di situ, BRG yang jadi "pelaksana" membutuhkan peta detail/teknis dengan skala tinggi. Karena itu, sejak September 2016, mereka memetakan menggunakan sonar khusus di sejumlah kabupaten prioritas: Kepulauan Meranti (Riau), Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir (Sumsel), dan Pulang Pisau (Kalteng). Pemetaan dibantu Pemerintah Norwegia.

Jika peta detail itu diperoleh, BRG bisa menjalankan restorasi dengan kecepatan penuh. Namun, tak semudah bayangan. Kekuatan dan konsistensi pemerintah untuk menjalankan restorasi harus berhadapan dengan fakta 1,4 juta hektar telah dikuasai korporasi, baik kebun sawit maupun akasia/eukaliptus (hutan tanaman industri). Belum lagi menyelesaikan konflik sosial pada hampir 400.000 hektar areal gambut yang dikelola secara ilegal.

Permasalahan lebih teknis, bagaimana mencari tanaman komoditas pengganti tanaman sawit dan akasia/eukaliptus yang tahan tanah lembab/basah. Bagaimana menciptakan peluang investasi dan menjalankan instruksi presiden agar restorasi membawa kesejahteraan masyarakat?

BRG yang didukung 19 pejabat eselon I serta tujuh gubernur sebagai pengarah teknis mengemban tugas berat karena keberhasilan restorasi-yang harapannya mencegah kebakaran-menjadi kunci sukses Indonesia menurunkan emisi.

Dari 29 persen target penurunan emisi yang dijanjikan Indonesia dalam Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-21 Konferensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Paris, Perancis, 17 persen dibebankan ke sektor hutan dan lahan (termasuk karhutla), disusul energi (11 persen), dan sampah/limbah (1 persen).

Berkaca pada COP-22 UNFCCC di Marrakesh, Maroko, sangat disadari penurunan emisi yang hanya mengandalkan komitmen (NDC) para peserta ratifikasi Perjanjian Paris tak cukup mengerem laju penghangatan global. Negara-negara dunia menyerukan keterlibatan aktif pelaku usaha dan masyarakat agar ikut bergerak menyelamatkan masa depan dunia, termasuk menghindarkan gambut sebagai sumber emisi sangat besar.

Namun, hingga kini, ruang keikutsertaan masyarakat-baik dalam restorasi maupun pengawasan-belum disediakan. Jangan sampai pelaksanaan komitmen di lapangan sebatas proyek, sedangkan janji restorasi meleset dari capaian.

Kini, pemerintah memiliki waktu sekitar delapan bulan sebelum Indonesia kembali memasuki musim kemarau yang diprediksi tidak sebasah tahun ini. Selain permasalahan teknis, masih ada sederet konsistensi penegakan hukum dan kebijakan yang memberi solusi penghidupan bagi masyarakat yang telanjur bergantung pada gambut.

Kabar baiknya, kini pengelolaan gambut diharapkan lebih baik seiring kemunculan PP No 57/2016 awal November 2016. Revisi dari PP No 71/2014 yang terbit dua tahun lalu itu memberi aturan main lebih jelas soal sanksi bagi perusakan gambut.

Saatnya bersama-sama melangkah serius sebelum tiba saat di mana cuaca ekstrem dengan El Nino muncul lagi. Jangan sampai semua yang sudah direncanakan sia-sia dan ribuan atau jutaan orang, termasuk anak-anak, dipaksa lagi menghirup kabut asap berbahaya.

Tahun 2017 adalah ujian, sejauh mana pemerintah dan negara melindungi bangsa dan dunia dari praktik bermasalah dalam mengelola lahan rawa gambut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar