Minggu, 31 Desember 2017

Pembangunan di Tahun Politik

Pembangunan di Tahun Politik
M Ikhsan Modjo ;  Technical Advisor UNDP
                                                    KOMPAS, 29 Desember 2017



                                                           
Memasuki tahun 2018, Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah di berbagai sektor pembangunan. Di bidang ekonomi, misalnya, persoalan yang ada adalah bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari kisaran 5 persen untuk mencegah negara masuk dalam perangkap pendapatan menengah (middle income trap) serta mendapatkan sumber pembiayaan alternatif untuk pendanaan pembangunan.

Perekonomian Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 5,1 persen sepanjang 2017 akibat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tersendat di bawah angka 5 persen. Belum bergairahnya konsumsi ini diperkirakan akan berlanjut pada kuartal keempat 2017 dan paruh pertama 2018.

Begitu juga, mengingat jeda yang ada (lag effect), pembangunan infrastruktur belum akan memberikan dampak riil pada pertumbuhan ekonomi, setidaknya pada dua sampai tiga tahun ke depan.

Hal ini kemudian ditambah oleh dua faktor lain yang saling terkait. Pertama, belum selesainya transisi perekonomian dari basis sumber daya alam ke basis manufaktur dan jasa, yang mengakibatkan tersendatnya pertumbuhan di sektor manufaktur dan ekspor.

Kedua, tersedianya ruang kapasitas terpasang yang cukup besar di kedua sektor ini, yang pada gilirannya mengakibatkan pergerakan sektor investasi domestik tidak akan maksimal. Alhasil, pertumbuhan produk domestik bruto pada 2018 pun tidak akan lebih tinggi dari maksimal 5,3 persen.

Satu hal yang akan membantu pertumbuhan ekonomi pada 2018 adalah membaiknya iklim berusaha yang akan mendorong arus investasi dari luar negeri masuk. Perbaikan iklim berusaha juga akan makin terlihat seiring langkah perbaikan di bidang logistik dan sistem pengarsipan tunggal terpadu yang diterapkan pemerintah melalui paket stimulus ekonomi 15 dan 16 pada bulan Juni dan Agustus 2017.

Selain itu, pada 2018, investasi juga akan terbantu oleh pulihnya alokasi belanja infrastruktur pemerintah yang pada 2017 tercatat meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya menjadi sebesar Rp 317,1 triliun atau meningkat 11 persen dari draf anggaran negara tahun 2017. Di samping infrastruktur, rencana pemanfaatan dana desa pada program pembangunan padat karya juga akan turut menopang pertumbuhan investasi dan daya beli masyarakat di perdesaan pada 2018.

Sementara itu, di sektor pendapatan negara masih menunggu langkah lebih lanjut perbaikan di sektor pajak dan upaya menciptakan instrumen pembiayaan alternatif untuk pembangunan.

Selama 2017, pemerintah dengan dukungan Badan Amil Zakat Nasional dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) telah mencatat beberapa kemajuan di bidang ini seperti mobilisasi keuangan Islam melalui program Zakat for SDGs (Sustainable Development Goals), yang model percontohannya berupa pendanaan pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tenaga air (microhydro) tengah dilakukan di Provinsi Jambi.

Dengan dukungan UNDP melalui Laboratorium Keuangan Inovatif (Innovative Financing Lab), sejumlah instansi seperti Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Otoritas Jasa Keuangan juga tengah menggarap secara serius upaya lain memobilisasi keuangan Islam untuk pembangunan, termasuk di antaranya pendanaan melalui instrumen wakaf.

Dalam bidang pembiayaan pembangunan, UNDP juga mendukung upaya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan untuk kegiatan penandaan anggaran melalui proyek Sustainable Development Financing (SDF) Tahap I yang mengidentifikasi dan menandai output anggaran yang terkait perubahan iklim.

Terkait dengan hal di atas, dalam konteks perubahan iklim, Indonesia telah berpartisipasi dalam Konferensi Perubahan Iklim Internasional (COP23) pada akhir 2017 sebagai bagian dari komitmen negara untuk memperkuat pelaksanaan tindakan iklim global menyusul Kesepakatan Paris dan mengoperasionalisasikan kontribusi pertama yang ditetapkan sebagai komitmen nasional Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga telah menghasilkan sejumlah instrumen fiskal untuk mendukung komitmen tersebut melalui mobilisasi pembiayaan mitigasi dampak perubahan iklim dan mendorong investasi energi terbarukan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41 persen pada tahun 2030.

Momok terbesar

Di sektor sosial, tantangan terbesar adalah pada upaya mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan yang masih menjadi momok terbesar pembangunan di Indonesia. Pada 2017, angka kemiskinan, walau turun ke angka 10,64 persen, masih di bawah target sebesar 10,5 persen yang ditetapkan oleh pemerintah.

Salah satu dimensi kemiskinan yang masih buruk di Indonesia adalah dimensi kecukupan gizi (malnutrition). Laporan Badan PBB untuk Anak-anak (United Nations Children’s Fund/Unicef) tentang kemiskinan multidimensi di Indonesia pada 2017 menunjukkan hampir 37 persen atau satu dari tiga anak Indonesia di bawah usia lima tahun pertumbuhannya terganggu (stunted). Demikian juga satu dari sepuluh anak Indonesia di bawah usia lima tahun ditengarai mengalami kekurangan asupan gizi yang akut (acute malnutrition).

Lebih lanjut, data yang ada juga menunjukkan peningkatan kemiskinan di perkotaan di Indonesia, di mana selama 2017 tercatat peningkatan sebesar 0,33 juta orang miskin di perkotaan meskipun secara persentase tingkatnya menurun.

Salah satu penyebab meningkatnya orang miskin di perkotaan adalah arus urbanisasi yang lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya, di mana diprediksikan sekitar 68 persen penduduk Indonesia akan bertempat tinggal di daerah urban pada tahun 2025. Daerah perkotaan, apabila tidak diambil langkah konkret yang terarah, akan menjadi pusat kemiskinan dan pemiskinan cepat di Indonesia.

Salah satu langkah mengantisipasi peningkatan kemiskinan perkotaan adalah dengan mempercepat penyediaan layanan publik di daerah-daerah perkotaan. Dengan dukungan program Perencanaan Inovatif dan Pembangunan Perkotaan (IPUD) UNDP, pemerintah tengah berfokus pada eksplorasi solusi potensial terhadap berbagai tantangan pembangunan di daerah perkotaan.

Salah satu langkah nyata yang dilakukan adalah perbaikan pengelolaan limbah darat yang dilakukan di Bandar Lampung pada 2017 dengan mengembangkan prototipe spesifik yang memungkinkan keberlanjutan upaya pengelolaan limbah di daerah-daerah lain di Indonesia.

Di tingkat nasional, upaya pemantapan pembangunan juga mendapatkan angin segar dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

Melalui peraturan presiden ini, pengarusutamaan dan lokalisasi upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di sejumlah daerah akan semakin terfokus dan semarak pada tahun-tahun mendatang sehingga memantapkan upaya pembangunan yang sudah ada, termasuk upaya mengurangi angka kemiskinan.

Saat ini beberapa daerah pelopor seperti Provinsi Lampung dan Provinsi Riau merupakan dua dari provinsi yang sudah melakukan beberapa kegiatan pengarusutamaan SDGs dalam perencanaan pembangunannya. Diharapkan, dengan keluarnya peraturan presiden ini, langkah kedua provinsi ini akan diikuti oleh provinsi-provinsi lain sehingga menambah daya dukung bagi pembangunan di Indonesia pada 2018.

Isu ketimpangan

Selain masalah kemiskinan, ketimpangan juga tercatat sebagai satu hal yang akan menjadi beban pada beberapa tahun ke depan, terlepas dari semakin menurunnya angka ketimpangan di mana rasio gini terus menurun dari tahun sebelumnya menjadi 0,393, yang mencerminkan persamaan pendapatan secara progresif.

Ketimpangan masih menjadi persoalan besar yang apabila tidak diantisipasi secara cepat dan cermat akan menjalar ke berbagai persoalan lain di bidang sosial dan politik. Hal ini, misalnya, terlihat dari catatan Oxfam tentang ketimpangan di Indonesia pada 2017 yang menunjukkan bahwa kekayaan dari 1 persen penduduk terkaya sejajar dengan 49 persen penduduk termiskin di Indonesia. Atau secara kolektif, kekayaan empat penduduk terkaya Indonesia mencapai hampir sebesar 25 miliar dollar AS atau setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin Indonesia.

Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index terbaru Indonesia adalah 0,689, di mana ini menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah. Perbaikan dalam IPM menunjukkan adanya pencapaian yang cukup signifikan dalam pembangunan Indonesia di sektor kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Pertumbuhan IPM ini konsisten dengan pola akselerasi selama 25 tahun terakhir di mana telah terjadi peningkatan tidak kurang dari 30,5 persen.

Dalam hal ini tentu saja masih terdapat beberapa catatan, seperti persoalan di bidang jender yang terlihat dari perbedaan IPM untuk pria dan wanita di Indonesia yang masing-masing adalah 0,712 dan 0,66. Indikator ini juga dikonfirmasi oleh survei kekerasan berbasis jender (gender based violence) di Indonesia dari Dana Penduduk PBB (United Nations Population Fund/UNFPA) pada 2017 yang menunjukkan bahwa 41 persen dari perempuan Indonesia pernah mengalami salah satu atau kombinasi dari kekerasan fisik, seksual, emosional, dan ekonomi selama hidupnya, di mana 16 persen mereka mengalami kekerasan ini pada tahun lalu.

Di sisi lain, beberapa program pemerintah untuk memperkecil ketimpangan jender juga telah banyak mendapatkan hasil, yang terlihat dari kenaikan Indeks Global Gender Gap Indonesia dari 0,682 pada 2016 menjadi 0,691 pada 2017, yang menunjukkan perbaikan ketimpangan jender di empat bidang utama, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik.

Artinya, optimisme adanya kelanjutan perbaikan ketimpangan pembangunan jender di empat bidang tersebut bukanlah sesuatu yang tak berdasar.

Sebagai penutup, perekonomian Indonesia diprediksi tumbuh sekitar 5,3 persen pada 2018, dengan konsumsi domestik dan investasi tetap menjadi pendorong utama. Implementasi beberapa kebijakan di sektor sosial, kebudayaan, dan lingkungan yang diuraikan di atas akan mulai dirasakan dan memperkuat dasar-dasar pembangunan di Indonesia pada 2018.
Beberapa tantangan terkait pembiayaan pembangunan akan sangat bergantung pada upaya pemerintah mendorong dan memfasilitasi upaya mendapatkan instrumen keuangan dan pembiayaan alternatif pembangunan yang dilakukan oleh berbagai pihak.  ●

Korupsi dan Malaadministrasi

Korupsi dan Malaadministrasi
Ahmad Suaedy ;  Anggota Ombudsman Republik Indonesia
                                                    KOMPAS, 29 Desember 2017



                                                           
Langkah pertama untuk melakukan reformasi dan perbaikan adalah dengan mengakui adanya penyakit pada birokrasi (”bureaupathologies”) dan menganggap itu sebagai sesuatu yang serius. Tanpa itu, salah kelola pemerintahan akan terus berlangsung dan membuat kerusakan.

Gerald E Caiden

Di depan forum perayaan Hari Antikorupsi, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengakui Indonesia belum serius dalam pemberantasan korupsi (Kompas, 10/12/17).

Presiden juga mengakui bahwa penataan pelayanan publik dan birokrasi merupakan hal yang penting untuk pencegahan korupsi. Meskipun indeks prestasi antikorupsi Indonesia naik tahun ini, fenomena korupsi justru tampak marak dengan contoh banyaknya kepala daerah serta anggota DPR dan DPRD yang ditangkap karena korupsi.

Pemberantasan korupsi dan juga pemberantasan pungli tidak bisa berdiri sendiri meskipun secara kelembagaan bisa saja dipisah. Sebagai kata majemuk pun bisa dimaklumi bahwa ”pemberantasan korupsi” hanya mengejar target apa yang sudah terjadi dengan menyisihkan aspek-aspek penyebab dasarnya.

Hal ini wajar mengingat pemberantasan korupsi dan khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru dibentuk pada awal era Reformasi ketika korupsi sudah begitu menggurita, bukan hanya besaran korupsinya, melainkan juga jejaring dan aktor-aktornya. Oleh karena itu, meskipun telah dilakukan penangkapan dan pemenjaraan serta penyitaan harta hasil korupsi dan mungkin pemiskinan, fenomena korupsi masih terus marak.

Awal dan akar

Kutipan dari Caiden dalam tulisannya berjudul ”What Really is Public Maladministration?” di atas menunjukkan bagaimana malaadministrasi dan korupsi yang merusak harus ditangani dari akar dan sejak awal, tidak bisa hanya dicegat di tengah jalan, apalagi di ujung jalan. Sebab, dari titik awal berangkat ke tengah perjalanan telah terbangun suatu jejaring, aktor-aktor  dan bahkan tradisi terjadinya korupsi yang tidak mudah diurai.

Hal ini tentu saja tidak mengurangi pentingnya pemberantasan yang diperankan oleh KPK selama ini.

Jika hendak serius menangani korupsi dan memperkuat antikorupsi—tentu saja tanpa mengabaikan pentingnya peran KPK—pemerintah dan juga masyarakat mesti memulai dari hal dasar dan awal yang menyebabkan itu terjadi, yaitu gejala terjadinya malaadministrasi. Dalam rumusan Ombudsman RI, ada sepuluh jenis malaadministrasi dan bisa dikatakan kesepuluhnya mengarah atau menjadi penyebab terjadinya korupsi.

Kesepuluh jenis malaadministrasi tersebut adalah tidak memberikan pelayanan, penundaan berlarut, tidak kompeten, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, permintaan imbalan, tidak patut, berpihak, diskriminasi, dan konflik kepentingan.

Dari sepuluh hal tersebut, ada beberapa malaadministrasi yang tidak bisa dijangkau oleh antikorupsi dan antipungli, tetapi menjadi penyebab sangat penting terjadinya korupsi. Diskriminasi, berpihak, dan tidak patut adalah contoh untuk itu. Namun, yang terpenting di sini adalah  semua malaadministrasi harus menjadi perhatian bagi pencegahan oleh setiap penyelenggara pelayanan publik.

Kultur dan sistemik

Berbeda dengan proses hukum atau peradilan pidana di dalam antikorupsi yang efektivitas dan sanksinya mengarah kepada pelaku individu, maka efek dari sanksi produk Ombudsman tidak hanya kepada individu, melainkan bersifat sistemik dan organisasional.

Sanksi dan efektivitas produk Ombudsman tidak berada di Ombudsman, melainkan di dalam struktur institusi pelayanan publik itu sendiri. Peran kepemimpinan, atasan, dan sistem sanksi yang efektif penting di sini.

Dengan kata lain, penegakan integritas, pengawasan sejak dini dalam penyimpangan sekecil apa pun, penegakan sanksi secara efektif, serta pembangunan tradisi sejak awal dalam institusi pelayanan publik itu sendiri menjadi kunci bagi terbangunnya tradisi dan sistem antikorupsi.

Perlu ada semacam pembahasan dan pendekatan komprehensif bahwa seluruh perilaku itu sebagai bagian dari akar korupsi serta strategi pencegahan dan pengawasannya sehingga terbangun kultur, mekanisme, dan sistem sejak semula.

Di samping itu, pemerintah perlu mendorong agar semua penyelenggara pelayanan publik menjadikan semua jenis malaadministrasi sebagai sistem pencegahan dan pengawasan yang efektif di dalam institusi itu.

Lebih jauh dari itu, penting bagi institusi penyelenggara pelayanan publik untuk membuat aturan bahwa pelaku malaadministrasi yang tidak melaksanakan produk Ombudsman RI, baik melalui konsiliasi, mediasi, rekomendasi, maupun saran, memperoleh sanksi tegas dari atasan dan organisasi. ●

Peran Indonesia untuk Palestina

Peran Indonesia untuk Palestina
Hasibullah Satrawi ;  Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
                                                    KOMPAS, 29 Desember 2017



                                                           
Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan akan memindahkan kedutaan AS ke kota suci tersebut, terasa sangat menohok.

Di satu sisi kebijakan ini secara terang-terangan mengabaikan sejumlah ketentuan dunia, seperti Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 181 (1947) yang menetapkan Jerusalem sebagai kota Internasional, Resolusi 252 PBB (1968) yang meminta Israel menghentikan semua aktivitasnya di Jerusalem, Resolusi 298 PBB (1971) yang menyatakan segala tindakan Israel untuk mengubah status Jerusalem adalah melanggar hukum, dan sejumlah ketentuan lainnya.

Adalah benar kebijakan Trump di atas sesuai dengan UU yang telah disahkan di AS pada 1995 terkait kedutaan Jerusalem (sebagaimana dimuat dalam pidato Trump). Adalah benar bahwa Trump dan pendukungnya meyakini bahwa kebijakan itu demi kepentingan nasional AS. Dan mungkin benar kebijakan tersebut menguntungkan Trump secara politik domestik AS, khususnya saat Trump mulai terdesak secara politik akibat dugaan skandal pemenangan dirinya dalam pilpres lalu.

Namun, sebagai presiden negeri adidaya, sejatinya Trump tidak hanya berpegangan pada UU yang berlaku di negaranya, tetapi juga pada sejumlah ketentuan yang berlaku di dunia, khususnya melalui resolusi PBB. Trump juga harus memikirkan kepentingan, kedamaian. dan ketertiban dunia. Apalagi AS selama ini banyak memprakarsai sejumlah inisiatif perdamaian, termasuk menjadi salah satu mediator upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Perang saudara

Di sisi lain, kebijakan Trump itu diumumkan di tengah terjadi pelbagai macam perang saudara dan persoalan pelik yang melanda sejumlah negara di Timur Tengah (Timteng), khususnya pasca-Musim Semi Arab. Padahal, negara-negara itu selama ini menjadi sandaran sekaligus ”keluarga besar” bagi Palestina. Ini menjadikan Palestina tak ubahnya anak yatim piatu.

Mesir yang selama ini selalu berada di garda terdepan dalam membela Palestina belakangan dilanda persoalan ekonomi dan keamanan yang sangat serius. Suriah porak-poranda akibat perang saudara berkepanjangan. Begitu juga Libya dan Yaman. Situasi lebih kurang sama dialami Irak setelah serangan AS pada 2003 hingga bagian cukup besar wilayahnya sempat dikuasai kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) meski Irak berhasil merebut wilayahnya kembali dan mengumumkan kemenangan atas NIIS.

Sementara Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Iran berada dalam posisi saling kunci, khususnya terkait dengan persoalan perang di Suriah dan perang di Yaman. Dalam perang di Suriah, negara-negara ini (terkecuali Iran) sempat berada dalam satu barisan mendukung kelompok revolusi anti-Bashar al-Assad bersama sejumlah negara Barat, termasuk AS. Namun, karena satu dan lain hal, Turki melakukan manuver politik zig-zag dan belakangan merapat ke Iran, Rusia, dan pihak-pihak lain yang mendukung Bashar al-Assad sejak konflik terjadi.

Arab Saudi terus konsisten melawan rezim Al-Assad yang dianggap sebagai perpanjangan tangan Iran di kawasan (walaupun intensitasnya menurun). Bahkan, sampai hari ini Arab Saudi memimpin koalisi sejumlah negara Arab yang melakukan serangan secara langsung di Yaman untuk menghadapi kelompok Houthi yang juga didukung Iran. Semua ini dilakukan Arab Saudi untuk menumpas tangan-tangan Iran di dunia Arab.

Sentimen anti-Iran yang sedemikian kuat di Arab Saudi membawa negara kaya minyak itu bersama sejumlah negara Arab lain (Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir) mengisolasi negara Teluk lain yang juga kaya minyak, yaitu Qatar. Selain karena tuduhan mendukung dan mendanai kelompok teroris, Qatar dianggap tak mau terlalu ketat terhadap Iran. Belakangan hubungan Arab Saudi-Turki juga memburuk karena Turki justru bekerja sama dan mendukung Qatar.

Dukungan kosong

Dalam kondisi seperti itu, apa yang bisa diberikan kepada Palestina? Tak ada, kecuali hanya sebatas kecaman dan kutukan terhadap AS di atas mimbar ataupun konferensi-konferensi darurat. Apa yang dilakukan negara-negara itu terhadap Palestina berbanding terbalik dengan apa yang telah mereka lakukan di Suriah dan di Yaman. Menurut beberapa sumber, negara-negara itu sampai pada tahap mengirim ahli-ahli militer terbaiknya ke medan tempur untuk memenangi peperangan yang ada.

Peran Indonesia

Dalam konteks negara-negara Timteng dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain seperti sekarang, Indonesia bisa mengambil peran penting bagi Palestina mengingat Indonesia tak terlalu memiliki persoalan internal. Yang paling penting adalah karena Indonesia memiliki hubungan sangat baik dan strategis dengan negara-negara yang bisa berperan optimal dalam upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina: Indonesia berhubungan baik dengan Arab Saudi, Turki, Iran, Qatar, Mesir, Jordania, dan yang lainnya. Bahkan, Indonesia juga berhubungan sangat baik dengan AS, Eropa, Rusia, dan China sebagai pihak-pihak yang selama ini berperan penting di pentas politik global, termasuk dalam persoalan konflik Israel-Palestina.

Karena itu, melalui modal besar yang ada di atas, dalam hemat penulis, Indonesia bisa mendorong penyelesaian konflik Israel-Palestina melalui tiga ranah sekaligus, yaitu ranah internal Palestina, ranah Timteng ataupun ranah negara-negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, dan ranah global.

Dalam konteks ranah nasional Palestina, rekonsiliasi di antara faksi-faksi di internal Palestina harus diperkuat, khususnya di antara faksi Fatah yang selama ini cenderung memilih perjuangan dengan cara-cara damai dengan faksi Hamas yang cenderung pada perjuangan bersenjata. Rekonsiliasi ini sangat dibutuhkan untuk menyongsong Palestina yang satu sekaligus bersatu.

Dari rekonsiliasi yang ada, Palestina bisa melakukan penguatan internal, khususnya di kalangan aparat negara. Hingga Palestina mempunyai aparat yang siap untuk menjalankan pemerintahan yang kuat, bersih, dan dipercaya oleh segenap rakyat.

Pada ranah Timteng ataupun negara-negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia bisa mengajak semua negara terkait untuk bersatu dan mengurangi perselisihan yang bersifat sektarian dan kekuasaan politik. Visi Islam rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi semesta alam) bisa dijadikan sebagai salah satu payung besar menyatupadukan negara-negara itu dalam mendukung perjuangan Palestina.

Sementara dalam ranah global, Indonesia bisa mendorong negara-negara adidaya untuk memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini dengan menjadi mediator yang adil terhadap kedua belah pihak dan tepercaya. Hal ini menjadi sangat penting karena, walaupun konflik Israel-Palestina merupakan persoalan politik murni, konflik ini berdampak secara langsung terhadap hal-hal keagamaan. Itu mengingat wilayah yang diperebutkan terhadap tempat-tempat suci yang diimani oleh pemeluk tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Menyelesaikan persoalan ini secara damai dan abadi sama halnya dengan membendung potensi-potensi konflik secara global. Sebaliknya, menangani persoalan ini tidak secara adil sama halnya dengan membuka potensi-potensi konflik secara global. ●

Asia Segera Melompati Barat

Asia Segera Melompati Barat
Simon Saragih ;  Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 29 Desember 2017



                                                           
Sejumlah negara di Asia akan melompati negara-negara maju atau Barat dalam peringkat perekonomian di tahun 2032. Pada tahun itu juga China akan menggeser posisi AS dan Indonesia menggeser posisi Kanada. Demikian prediksi sebuah lembaga think-tank independen yang berbasis di London, Centre for Economics and Business Research (CEBR).

CEBR mengumumkan perkiraan tersebut pada hari Senin (25/12) di London, Inggris.  CEBR yang sudah berusia 20 tahun terkenal dengan akurasi atas perkiraan ekonominya. CEBR didirikan Profesor Douglas McWilliams, salah satu ekonom terkemuka Inggris. Dia adalah penasihat bagi Konfederasi Industri Ingris (CBI).

McWilliams juga merupakan penasihat terkenal untuk partai-partai di Inggris dan untuk 25 besar perusahaan teratas Inggris yang menerbitkan saham di bursa London, FTSE. McWilliams tidak melihat efek buruk yang lebih besar akibat kebijakan perdagangan Presiden  AS Donald Trump yang proteksionis terhadap perekonomian AS.

Dia juga tidak melihat efek negatif yang besar atas Brexit (julukan bagi Inggris keluar dari Uni Eropa) terhadap perekonomian Inggris. Namun dia juga melihat geliat perekonomian India tidak akan terhambat walau ada gangguan sementara dalam proses pembangunan ekonominya. Hal itu juga berlaku bagi Asia yang terus disibukkan dengan deru pembangunan.

 “Perekonomian negara-negara utama di Asia akan semakin penting pada 2018 hingga tahun-tahun berikutnya. Berbagai data memperlihatkan kawasan  Asia akan  semakin mendominasi dalam satu dekade mendatang,” demikian siaran pers CEBR. Berdasarkan data Bank Dunia di tahun 2016, produksi domestik bruto (PDB) AS berdasarkan harga berlaku sebesar 18,624 triliun dollar AS dan PDB China sebesar 11,199 triliun dollar AS.

Dua negara ini menempati posisi nomor 1 dan nomor 2 di dunia berdasarkan PDB dengan harga berlaku (current prices). Akan tetapi berdasarkan keseimbangan daya beli (purchasing power parity/PPP), PDB China sudah sebesar 21,450 triliun dollar AS dan PDB AS sebesar 18.624 triliun dollar AS.

PDB berdasarkan PPP merujuk pada besaran unit barang yang mampu dibeli dengan jumlah uang yang sama. Sebagai contoh, uang sejuta rupiah di AS tidak akan bisa membeli jumlah unit barang yang sama dengan uang sejuta rupiah yang dibelanjakan di Indonesia. Ini disebabkan harga-harga barang di AS lebih mahal ketimbang di Indonesia. Dengan demikian pemilik uang sejuta rupiah di Indonesia lebih kaya ketimbang pemilik uang sejuta rupiah di AS.

Akan tetapi ukuran PDB berdasarkan PPP masih diperdebatkan dan banyak negara tidak menerima kenyataan bahwa PDB China berdasarkan PPP sudah mengalahkan AS. Meski demikian memang besaran pendapatan per kapita di AS masih  jauh lebih besar dari PDB per kapita di China.

Kembali pada perkiraan CEBR, berdasarkan harga berlaku,  disebutkan perekonomian India akan melompati posisi PDB Inggris dan Perancis pada tahun 2018. Berdasarkan data 2016, PDB India sebesar 2,263 triliun dollar AS, PDB Inggris 2,647 triliun dollar AS, dan PDB Perancis 2,465 triliun dollar AS. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di India akan mampu membuat negara ini menggeser posisi Ingris dan Perancis dari segi besaran ekonomi pada 2018.

Berdasarkan peringkat di tahun  2016 posisi PDB Inggris adalah nomor 5 setelah AS, China, Jepang, dan  Jerman. Posisi PDB Perancis sekarang ini nomor 6 dan PDB India nomor 7.

Menurut CEBR, PDB India juga akan menggeser besaran PDB Jerman pada 2027. India pada tahun itu akan menempati urutan ketiga sebagai pemilik PDB terbesar di dunia. PDB Jerman berdasarkan harga berlaku pada tahun 2016 adalah 3,477 triliun dollar AS.

Pada tahun 2032 PDB China akan menggeser besaran PDB AS. Disebutkan, dari empat pemilik ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2032, tiga negara ada di  Asia yakni China, India dan Jepang. Posisi India tidak berhenti di situ saja dan akan menjadi nomor 1 dari segi besaran PDB di separuh akhir abad ini atau setelah 2050.

Melompati Kanada

Masih berdasarkan prediksi CEBR, pada 2032 PDB Korea Selatan dan Indonesia akan masuk dalam kelompok 10 besar teratas di seluruh dunia. Dua negara Asia ini akan menggeser posisi Italia dan Kanada. Berdasarkan data 2016, PDB Italia sebesar 1,858 triliun dollar AS atau di posisi ke-8. PDB Kanada sebesar 1,529 triliun dollar AS atau di posisi ke-10.

Pada tahun 2016 PDB Korea Selatan sebesar 1,411 triliun dollar AS atau di posisi ke-11. PDB Indonesia sebesar 932 miliar dollar AS atau di posisi ke-16.

Perkiraan CEBR ini semakin menguatkan perkiraan yang sudah terjadi dalam 10 tahun terakhir yang menyimpulkan Asia akan menggeser Barat dalam besaran perekonomian. Sekarang ini saja  secara keseluruhan, perekonomian Asia memberi kontribusi lebih dari 60 persen terhadap total pertumbuhan ekonomi global.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Christine Lagarde sudah sering menyebutkan bahwa Asia sekarang ini adalah mesin utama perekonomian dunia. Jika Asia berhasil mengeluarkan kebijakan ekonomi yang tepat maka posisi perekonomian Asia akan jauh lebih dahsyat. Pertumbuhan ekonomi didorong penduduk berusia di bawah 50 tahun. Ini menjadi salah satu alasan di balik kebangkitan ekonomi Asia pada dekade-dekade berikut. ●

Reformasi Birokrasi Jokowi

Reformasi Birokrasi Jokowi
Agus Pramusinto ;  Guru Besar dan Ketua Departemen Manajemen dan
Kebijakan Publik, Fisipol UGM
                                                    KOMPAS, 28 Desember 2017



                                                           
Dalam sebuah pidato di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Presiden Joko Widodo mengingatkan para menteri, gubernur, dan wali kota/bupati agar memperbaiki anggaran yang tidak masuk akal.

Presiden mencontohkan ada anggaran pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang jumlahnya Rp 3 miliar. Dana yang digunakan untuk pemulangan TKI ternyata hanya Rp 500 juta, sedangkan yang Rp 2,5 miliar justru untuk rapat dalam kantor, rapat di luar kantor, rapat koordinasi, kunjungan daerah, dan alat tulis kantor.

Apa yang dikatakan oleh Presiden memang terjadi di beberapa kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (K/L/pemda). Sebagai contoh, di sebuah kabupaten ada anggaran untuk penanganan anak kekurangan gizi sebesar Rp 500 juta. Ironisnya, anggaran untuk pemberian makanan tambahan anak hanya sebesar Rp 100 juta. Selebihnya Rp 400 juta untuk anggaran rapat dan perjalanan dinas.

Apa yang terjadi di atas adalah penyakit lama yang tidak kunjung sembuh. Walaupun reformasi birokrasi sudah berjalan lama, penyakit tersebut sama sekali belum terobati. Sebenarnya, semua birokrasi di berbagai tingkatan selalu sibuk untuk membenahi diri. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) sudah membuat peta jalan dan berbagai turunannya.

Namun, sayangnya, perbaikan yang sudah dijalankan belum menjawab persoalan mendasar seperti yang dikatakan Presiden.

Presiden Jokowi mencoba melakukan perubahan dengan cara sederhana dan konkret. Apa persoalan yang dihadapi, itulah yang langsung ”ditembak”. Alokasi anggaran yang selama ini tidak masuk akal harus dibongkar. Porsi penggunaan anggaran yang selama ini banyak untuk kepentingan birokrasi diubah untuk kepentingan publik. Dana untuk kegiatan inti yang terkait dengan pelayanan masyarakat harus lebih besar dibandingkan dengan dana untuk kegiatan pendukung yang digunakan oleh birokrasi.

Hal yang sama dilakukan Jokowi pada awal pemerintahan ketika ditemukan banyak peraturan daerah (perda) yang menghambat kegiatan investasi. Presiden langsung meminta agar perda di beberapa daerah dikaji ulang dan apabila terbukti menghambat, perda harus dihapus. Birokrasi pun langsung bergerak cepat.

Selama ini, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan lain-lain sudah cukup banyak. Hal yang sangat dibutuhkan adalah tindakan konkret yang benar-benar menjawab permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, kehadiran birokrasi pemerintah benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan bukan justru menjadi benalu pembangunan.

Reformasi 1998

Adakah yang harus diluruskan dengan reformasi birokrasi yang sudah kita jalankan? Jawabannya sederhana: kita kembalikan ke semangat reformasi tahun 1998. Salah satu yang mendorong perubahan saat itu adalah kegundahan masyarakat terhadap pemerintahan yang sudah sarat korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sejauh mana reformasi yang kita jalankan di tubuh birokrasi benar-benar mengurangi korupsi di dalam berbagai organ pemerintahan? Kementerian PAN-RB sudah mencanangkan delapan area perubahan: (1) manajemen perubahan; (2) penataan dan penguatan  organisasi; (3) penataan peraturan perundang-undangan; (4) penataan SDM; (5) penataan tata laksana; (6) penguatan pengawasan; (7) penguatan akuntabilitas kinerja; dan (8) peningkatan kualitas pelayanan publik.

Dalam pengamatan saya di banyak diskusi, saya melihat bahwa banyak yang tidak fokus. Mereka sibuk melakukan perubahan, tetapi sebenarnya perubahan untuk menjawab kebutuhan apa? Lebih-lebih lagi, banyak yang menginterpretasikan bahwa reformasi birokrasi sebagai peningkatan remunerasi.

Mereka menyusun dokumen dan berharap segera ada peningkatan pendapatan. Mereka berasumsi bahwa pendapatan tinggi akan mengurangi korupsi dan meniru cara Singapura. Padahal, Singapura menggunakan instrumen gaji tinggi untuk mencegah brain drain orang terbaiknya ke swasta. Sementara korupsi dicegah dengan membangun sistem birokrasinya.

Dalam pandangan penulis, reformasi bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, kita fokuskan seluruh perubahan agar menjawab persoalan korupsi dan inefisiensi anggaran. Selama ini, reformasi birokrasi kurang fokus dan terkesan menginginkan K/L/pemda melakukan semuanya dan seragam. Kedua, reformasi harus berangkat dari kebutuhan yang dirasakan oleh warga (demand side). Reformasi birokrasi tak cukup hanya dirumuskan atas dasar kebutuhan internal birokrasi (supply side).

Untuk cara pertama, Presiden bisa memerintahkan semua institusi pemerintahan agar dalam dua tahun ini fokus melakukan perubahan di dalam unit-unitnya yang bisa mencegah korupsi dan inefisiensi anggaran. Beberapa contoh, misalnya: untuk alokasi anggaran, pastikan reformasi yang dilakukan bisa mengurangi biaya rapat dan perjalanan dinas yang tidak terlalu penting; untuk reformasi di pengadaan barang dan jasa, pastikan menutup semua kemungkinan korupsi dan inefisiensi anggaran; untuk reformasi SDM, pastikan perekrutan dan promosi jabatan bisa lebih efisien dan tidak ada lagi praktik suap.

Kalau semua unit melakukan itu, akan terbangun sistem yang bisa mencegah korupsi dan mengurangi inefisiensi anggaran. Unit-unit pemerintahan tak perlu melakukan semua hal secara seragam, tetapi cukup hal-hal yang masih menimbulkan masalah korupsi dan inefisiensi. Langkah perbaikan sistem pencegahan korupsi ini tak perlu dikhawatirkan bertabrakan dengan KPK yang memang tugas utamanya penindakan.

Untuk yang kedua, Presiden bisa memberi instruksi kepada menteri agar semua unit melakukan evaluasi dengan mengundang pemangku kepentingan untuk mendengarkan keluhan mereka dan melakukan perbaikan dalam birokrasi. Semua perubahan itu akan bisa terwujud jika Presiden terus-menerus menyentil secara langsung pokok persoalan yang dihadapi. ●

Resolusi Tahun Depan

Resolusi Tahun Depan
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 28 Desember 2017



                                                           
Politik itu memang cair. Seperti air mancur yang menciprat ke mana-mana. Tidak seperti es batu yang kaku dan keras. Buktinya, ”Koalisi Zaman Now” di Jawa Barat bubar. Koalisi Zaman Now itu terdiri dari Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Mereka membangun koalisi untuk mengusung calon gubernur-wakil gubernur dalam Pilkada Jawa Barat. Koalisi itu diteken pada 23 November 2017. Koalisi Zaman Now mengusung pasangan Deddy Mizwar (Wakil Gubernur Jabar petahana) dan Ahmad Syaikhu (Wakil Wali Kota Bekasi).

Usia Koalisi Zaman Now cuma sebulan lewat. Rabu (27/12) kemarin, PKS dan PAN ganti haluan. Kedua partai bergabung dengan Partai Gerindra. Mereka mengusung pasangan Mayjen (Purn) Sudrajat dan Ahmad Syaikhu. Minggu (24/12) malam, petinggi ketiga partai bertemu dan sepakat untuk membentuk koalisi dalam Pilkada Jabar 2018. Mereka pun tetap bergandengan di lima daerah. Selain Jabar, para bakal calon lain adalah pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Sumatera Utara), Isran Noor-Hadi Mulyadi (Kalimantan Timur), Muhammad Kasuba-Madjid Husen (Maluku Utara), dan Sudirman Said yang belum dapat calon wakil gubernur (Jawa Tengah).

Posisi Gerindra rupanya begitu diperhitungkan. Daya magnet Partai Prabowo ini bahkan mampu membalikkan arah. Dulu, ketika terbentuknya Koalisi Zaman Now, Gerindra juga hadir. Namun, kehadiran Gerindra tak memengaruhi lagi karena dari syarat pencalonan, suara tiga partai (Demokrat, PKS, dan PAN) sudah cukup untuk mengusung calon. Kini justru sebaliknya, Gerindra tampaknya pegang kemudi yang mengendalikan koalisi baru tersebut.

Koalisi ini tampaknya lebih siap. Setidaknya telah mengambil ancang-ancang lebih awal. Koalisi ini sama dengan peta koalisi di tingkat nasional. Setidaknya mengingatkan awal-awal terbentuknya Koalisi Merah Putih yang bikin DPR heboh. Koalisi itulah yang menyingkirkan Koalisi Indonesia Hebat dari posisi-posisi kunci di DPR, bahkan sampai mengubah Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Kalau menilik gayanya, kemungkinan pertarungan di pilkada akan alot, terutama di Jawa.

Pemanasan sudah dilakukan. PDI-P bersama PKB sudah lebih dulu mendeklarasikan pasangan bakal calon Saifullah Yusuf-Abdullah Azwar Anas di Pilkada Jawa Timur. Golkar juga sudah mengusung pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak. Di Jawa Tengah, meski gubernur petahana Ganjar Pranowo, PDI-P belum membuat deklarasi. Di Jawa Barat, pengusungan Ridwan Kamil dicabut Golkar, seiring lengsernya Setya Novanto dari kursi ketua umum yang digantikan Airlangga Hartarto. Sejak awal, pengusungan bakal calon oleh Golkar di Jabar kisruh. Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi yang sempat tersingkir kini kembali naik.

Begitulah politik, selalu cair. Namun, dalam politik harus lincah dan jeli. Politikus boleh jadi akan licik jika tak mampu melakoni peran positif untuk mengabdi kepada rakyat. Hal itu terjadi jikalau politikus lebih banyak berpikir mengatur siasat untuk kemenangan dalam pilkada ketimbang memikirkan apa yang harus dilakukan setelah terpilih. Kemenangan sejati seorang politikus bukanlah ketika ia memenangi perolehan suara dalam pemilihan, melainkan memenangi hati rakyat dengan pengabdian dan kerja yang tanpa pamrih.

Kalau cuma target memenangi pemilihan, itu sih cerita usang. Tipikal politikus seperti itu sudah basi, tidak cocok lagi dengan era baru tahun 2018 nanti. Kalau seperti itu pas dengan guyonan komedian Amerika Serikat, Groucho Marx (1890-1977) bahwa ”Politik adalah seni mencari masalah, menemukannya di mana-mana, mendiagnosisnya secara tidak benar, dan menerapkan solusi keliru.”

Jadi, para politikus yang bakal bertarung di 171 pilkada nanti seharusnya membuat resolusi tahun 2018, yaitu janji (ini benar-benar janji, bukan janji kampanye) untuk membenahi panggung politik: membuang bedak palsu di wajah politikus, menyapu lantai panggung yang kotor, dan menolak lakon penuh kebohongan. Rakyat penonton itu butuh hiburan bermutu, bukan cuma sekadar sandiwara politik. ●

Pancasila di Era Milenial

Pancasila di Era Milenial
Farouk Muhammad ;  Senator DPD RI Provinsi NTB
                                                    KOMPAS, 28 Desember 2017



                                                           
Dunia berkembang begitu cepat. Sayang, kemampuan manusia untuk beradaptasi sering kali tidak secepat dengan perkembangan tersebut.

Hal ini di satu sisi menandakan kemajuan dunia, tetapi di sisi lain menimbulkan kerentanan bagi suatu bangsa. Kerentanan yang timbul antara lain karena ketakmampuan mengendalikan perubahan sehingga menggerus apa yang menjadi inti karakter dan identitas suatu bangsa.

Bung Karno pernah berucap, ”Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, punya karakteristik sendiri. Oleh karena itu, pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan sebagainya.”

Karakter dan identitas bangsa Indonesia itu bernama Pancasila. Perkembangan dunia yang begitu cepat (suka tidak suka) telah menggerus nilai-nilai Pancasila kita. Apatah nilai-nilai beragama (religiusitas) yang menekankan etika dan moral dalam kehidupan mendapatkan ancaman dari kebebasan (tanpa batas) yang makin dominan dan eksesif. Demikian halnya dengan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan kegotongroyongan menghadapi tantangan dari nilai-nilai baru, seperti individualis, konsumeris, asosial, apolitik, dan seterusnya.

Era milenial

Berkenaan ancaman dan tantangan di atas, saat ini kita mengalami fenomena surplus demografi yang berkelindan dengan kemajuan dalam dunia teknologi informasi (TI). Fenomena ini membentuk model anak-anak zaman dengan karakternya sendiri, yang kemudian kita kenal dengan ”generasi milenial” (generasi ”Z”). Generasi ini ditandai dengan kedekatan, bahkan keterikatannya dengan dunia maya yang jauh lebih intens daripada aktivitasnya di dunia nyata. Fenomena ini memang tidak bisa digeneralisasikan karena faktanya di perdesaan (terlebih lagi pedalaman) di mana infrastruktur dan akses internet buruk/sulit bisa jadi ”demam” ini tidak terjadi kepada mereka.

Fenomena milenial juga kemungkinan besar hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, terutama yang memiliki akses luas pada TI (internet). Generasi ini terlahir dalam kisaran 1982-2002 dan mengalami apa yang disebut google generation, net generation, generation Z, echo boomers, dan dumbest generation (Absher & Amidjaya, 2008). Ciri mereka, menurut Tapscott (2008), suka dengan kebebasan, senang melakukan personalisasi, mengandalkan kecepatan informasi
yang instan, suka belajar dan bekerja dengan lingkungan inovatif, aktif berkolaborasi dan hyper technology.

Alvara Research Center menyebut generasi milenial memiliki tiga macam karakter unggul, yaitu: (1) creative, mereka terbiasa berpikir out of the box, kaya ide dan gagasan; (2) confidence, mereka sangat percaya diri dan berani mengungkapkan pendapatnya tanpa ragu-ragu; dan (3) connected, mereka merupakan generasi yang pandai bersosialisasi, terutama dalam komunitas yang mereka ikuti. Selain itu, mereka juga berselancar di sosial media dan internet.

Karena aktivitasnya yang serba instan, praktis, dan mengandalkan kemudahan TI, generasi ini memiliki kelemahan, utamanya ketergantungan yang tinggi terhadap internet dan media sosial. Akibatnya, mereka menjadi pribadi yang cenderung malas, tidak mendalam, tidak membumi atau tidak bersosial. Selanjutnya, mereka cenderung lemah dalam nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, kehangatan lingkungan, dan kepedulian sosial. Sosial media juga memengaruhi watak dan kebiasaan mereka yang cenderung bebas, kebarat-baratan, tak memperhatikan etik dan aturan formal, adat istiadat, serta tata krama.

Kerentanan Pancasila

Generasi milenial secara tidak sadar—untuk sebagian besar— mengalami alienasi dari nilai-nilai Pancasila. Ini terjadi karena mereka tidak mengenal (atau tidak dikenalkan) nilai-nilai Pancasila secara baik. Negara tidak—atau setidak-tidaknya belum—memiliki instrumen sosialisasi dan internalisasi Pancasila yang baik kepada generasi ini. Sementara pada saat bersamaan, mereka terpapar nilai-nilai luar/asing melalui internet dan sosial media, yang notabene lebih menarik dan atraktif, betapa pun sebagiannya tidak sesuai atau bertentangan dengan Pancasila.

Di sana bergumul berbagai macam ideologi, mulai dari liberalisme, kapitalisme, sekularisme, sosialisme, komunisme, hingga radikalisme. Ideologi baru ini bisa jadi lebih menarik bagi generasi muda karena memenuhi harapan mereka atas pola-pola baru, cara berpikir, dan cara bertindak yang mereka minati. Sementara di sisi lain, ideologi Pancasila mereka anggap tidak menarik, kuno atau out of date. Akhirnya, yang terjadi: mereka lebih menggandrungi ideologi- ideologi baru dan bahkan menjadikannya sebagai gaya hidup.

Sebagian masyarakat lebih tertarik pada dan mempraktikkan ideologi liberal. Budaya kita semakin terbuka, bebas, bahkan kebablasan. Individualisme, materialisme, konsumerisme, dan isme-isme lainnya menjadi gaya hidup yang merebak di kalangan warga bangsa, terutama generasi muda. Ini juga yang mendasari isu bangkitnya paham komunisme atau berkembangnya radikalisme yang seolah menjanjikan penyelesaian masalah secara pintas (padahal fatalis).

Fenomena di atas tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan generasi muda (milenial) yang serba instan, jalan pintas, tidak mendalam, mencari kemudahan dan kesenangan sehingga dengan mudah terpikat dan terjerumus dalam isme-isme baru yang lebih seksi dan atraktif. Akhirnya, ideologi Pancasila lambat laun mulai kikis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan negara pun kehilangan rohnya.

Jika Pancasila sebagai karakter dan identitas bangsa mulai meluntur, ini pertanda bahaya, bisa mengindikasi bangsa yang sedang sakit. Kondisi ini bisa mengarah pada negara gagal. Negara gagal di sini tidak harus secara struktural negara itu bubar atau runtuh, tetapi negara gagal bisa dipandang dari segi kualitas, yakni sebagai negara yang tak punya ”roh” karena kepribadiannya pelan-pelan tergerogoti. Bangsa kita (bisa) kehilangan arah dan kendali, merebak penyakit sosial, dekadensi moral dan akhlak generasi muda, pengabaian etika dan hukum, disintegrasi, dan turbulensi sosial ekonomi. Itu semua ciri negara gagal, seperti diduga Noam Chomsky (2006).

Itulah setidaknya kekhawatiran yang pernah penulis sampaikan secara pribadi kepada Presiden dalam Forum Konsultasi Pimpinan Lembaga Negara setahun silam, menanggapi paparan kemajuan-kemajuan yang dicapai pemerintah. Tidak bisa dimungkiri bahwa efek dari pembangunan infrastruktur yang intens diprediksi dalam 5-10 tahun ke depan Indonesia akan jauh lebih maju. Tetapi, penulis khawatir Indonesia yang kita temukan bukan Indonesia seperti yang diharapkan para pendiri bangsa, melainkan Indonesia yang kehilangan roh. Indonesia maju, tetapi liberal; Indonesia maju, tetapi tak punya jati diri.

Ini semua terjadi karena kita abai pada inti karakter dan identitas kita sebagai bangsa. Inilah dampak dari reformasi yang kebablasan sehingga menghasilkan kebebasan tanpa batas.

Revitalisasi Pancasila

Pancasila tentu tidak dimaksudkan untuk steril dari pengaruh perkembangan zaman. Zaman boleh berubah, tetapi nilai-nilai Pancasila harus tetap relevan, tumbuh, dan berkembang sebagai karakter dan kepribadian bangsa. Upaya memasyarakatkan Pancasila harus dilakukan dengan kreatif-atraktif agar tertanam efektif pada semua lapisan masyarakat, termasuk kepada generasi milenial. Pancasila tidak harus selalu ditampilkan secara kaku, yang terpenting hakikatnya tetap terpelihara dan diamalkan.

Ambil contoh budaya orang Jepang yang menghormati senioritas masih tertanam kuat pada struktur perusahaan dan masyarakat Jepang hingga hari ini di tengah kemajuan yang mereka capai. Kita sejatinya juga punya nilai-nilai yang merupakan pengamalan Pancasila, yakni tradisi menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Di samping itu, ada tradisi gotong royong, semangat kekeluargaan, tepo seliro atau tenggang rasa, dan lain-lain. Nilai dan tradisi tersebut semestinya tetap tertanam kuat dalam kepribadian bangsa.

Generasi milenial punya keunggulan, yaitu pribadi yang kreatif, percaya diri, dan selalu terhubung atau membangun kolaborasi. Keunggulan ini harus bisa dimanfaatkan semua pihak untuk lebih menanamkan nilai- nilai Pancasila dengan cara-cara yang sesuai dengan karakter mereka.

Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk terus merevitalisasi Pancasila sebagai identitas dan karakter bangsa hingga Pancasila dapat seiring sejalan dengan kemajuan zaman. Meski demikian, ada saatnya negara tetap harus tegas mengatakan bahwa nilai-nilai tertentu tidak sesuai dan bertentangan dengan Pancasila. Di situlah martabat kita sebagai bangsa diuji. ●