Rabu, 11 Januari 2017

Konservatisme Politik Anti-Jokowi

Konservatisme Politik Anti-Jokowi
Eko Sulistyo ;  Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi
Kantor Staf Presiden
                                           MEDIA INDONESIA, 10 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

AKHIR-AKHIR ini, landscape dan dinamika politik di Tanah Air, terutama di jagat maya sangat diwarnai berbagai bentuk hujatan, ujaran kebencian, kabar bohong (hoax), dan fitnah kepada pemerintah. Dinamika ini makin kencang seiring dengan kontestasi pilkada DKI Jakarta yang diramaikan oleh tuduhan kasus penistaan agama atas calon petahana Basuki T Purnama (Ahok) yang me­ng­utip Surah Al-Maidah ayat 51.

Dalam perspektif politik, cara-cara seperti itu tidak memiliki substansi yang mencerdaskan, tapi lebih mengarah pada bentuk konservatisme politik yang cenderung menghambat kemajuan bangsa. Sikap politik demikian tidak akan mendewasakan kehidupan politik, tapi hanya akan melahirkan kemunduran dalam berdemokrasi.

Konservatisme menurut The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thoughts (2007) adalah pandangan sosial dan politik yang mewujudkan sebuah kehendak untuk mempertahankan hal-hal yang telah ada, baik dalam persoalan masyarakat, ide pemerintahan, maupun praktik politik. Dengan demikian, secara umum politik konservatif mendukung sesuatu dianggap telah mapan. Pendukung politik konservatif umumnya puas dengan status quo dalam pemerintahan dan menolak prinsip-prinsip liberalisme dan demokrasi serta ide-ide progresif tentang masyarakat yang selalu berubah.

Marcus Mietzner, pakar politik Indonesia dari Australia, dalam tulisannya Stagnasi Demokratik Indonesia: Elite Konservatif Vs Masyarakat Sipil (2014), melihat bahwa faksi konservatif di kalangan elite sedang berusaha keras untuk menghentikan proses reformasi demokrasi. Elemen konservatif berusaha mendapatkan kembali keistimewaan-keistimewaan yang pernah mereka miliki pada masa lalu ketimbang bergandengan tangan dengan masyarakat pendukung demokrasi.

Para elite ini tidak hanya muncul dalam sosok aparat negara, militer, pengusaha, operator politik, dan kekuatan yang pernah berjaya di zaman Orde Baru HM Soeharto, tapi juga pada sosok petinggi-petinggi parpol pascaruntuhnya pemerintahan otoritarian, birokrat di pemerintahan, dan para pemuka organisasi keagamaan arus utama, serta militan.

Bagian penting dari pendapat Marcus Mietzner ini ialah kaitan oligarki politik dengan para pemuka organisasi keagamaan arus utama dan militan. Kombinasi keduanya menjelaskan kemunculan gerakan Islam militan yang masif belakangan ini. Namun, relasi antara elite politik oligarki dan gerakan Islam militan yang bergerak di luar sistem politik formal, tidak lagi menjadi alat politik oligarki lama semata, tapi sudah memberikan kepemimpinan politik dalam wacana dan mobilisasi massa dalam parlemen jalanan.

Para oligarki lama yang dulu tampak sebagai ‘bos’ itu kini harus mempertimbangkan para pemimpin Islam politik yang bergerak di luar politik formal sebagai mitra politik strategis. Pada titik inilah kesimpulan Marcus menjadi penting, telah terjadi semacam simbiosis antara oligarki politik dan organisasi keagamaan arus utama dan militan.

Jejak konservatisme politik

Jejak konservatisme politik yang sistematis, terorganisasi, dan masif antara oligarki politik dan kelompok ormas keagamaan radikal dan politis mulai tampak bentuknya yang nyata selama pertarungan Pilpres Juli 2014. Namun, bentuk awal konservatifisme itu sudah mulai muncul dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2012, ketika pasangan Fauzi Bowo-Nara atau Foke-Nara melawan pasangan Jokowi-Ahok. Wacana SARA dimunculkan kepada Jokowi dan Ahok yang Tiongkok dan nonmuslim.

Pilkada DKI Jakarta 2012 menjadi penanda awal konservatifisme politik yang menyeret isu SARA telah menjadi wacana pertarungan politik di antara para elite di RI. Akselerasi isu SARA dan bahaya komunis/PKI menjadi semakin brutal dan terbuka dalam pertarungan Pilpres 2014. Menurut Politicawave, situs yang menjaring percakapan di media sosial, pasangan Jokowi-JK lebih banyak menjadi sasaran kampanye hitam dengan persentase 94,9% dan 5,1% kampanye negatif. Sementara kampanye hitam bagi pasangan Prabowo-Hatta lebih sedikit, yaitu 13,5%, sementara kampanye negatifnya mencapai 86,5% (http://www.bbc.co.uk/2014/07).

Serangan paling utama pada Jokowi bukanlah pada program-program selama menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta. Dalam ruang pertarungan program, Jokowi sulit dikalahkan karena hampir semua program yang ditawarkan sebagian besar pernah dipraktikkan dan mendapatkan respons positif dari publik. Dalam ruang ‘programatik’ Jokowi lebih unggul, serangan ke arah Jokowi diarahkan ke isu bahaya komunis dan PKI serta sentimen SARA.

Operator-operator politik cyber army di media sosial dan tabloid Obor Rakyat mulai memasuki arena paling brutal dan berbahaya, yaitu perang kotor dengan menyasar pada penghancuran sosok personal Jokowi dan rentan diprovokasi menjadi konflik horizontal. Fondasi wacana perang kotor ini dilakukan dengan memproduksi dan menyebarkan wacana utama meliputi: (1) histeria bahaya komunis atau PKI; (2) sentimen anti-Tiongkok ; dan (3) sentimen anti-Islam.

Propaganda hitam

Motor utama propaganda sistematis ini dilakukan di media sosial, situs-situs Islam radikal, dan paling utama ialah melalui tabloid Obor Rakyat yang di duga dicetak jutaan eksemplar. Obor Rakyat merupakan bentuk ‘propaganda hitam’ yang serius, terorganisasi, dan berbiaya besar dengan menggunakan format jurnalistik berupa tabloid 16 halaman yang distribusikan gratis ke masjid-masjid dan pesantren-pesantren mayoritas di Jawa.

Pada edisi pertama, 5-11 Mei 2014, termuat laporan utama berjudul Capres Boneka, dengan gambar Jokowi sedang mencium tangan Megawati di halaman muka. Pada edisi itu juga hadir beragam artikel dengan judul-judul yang provokatif dan mendorong kebencian terhadap umat Kristen. Sebut saja, judul 184 Caleg Nonmuslim PDIP untuk Kursi DPR dan Ibu-Ibu, belum Jadi Presiden Udah Bohongin Rakyat.

Selama pilpres, upaya adu domba dengan mengatasnamakan agama antara Jokowi dan umat Islam juga marak. Isu ini berawal dari fitnah bahwa Jokowi ialah orang Kristen dan didukung orang Kristen untuk melakukan kristenisasi. Fitnah ini beredar melalui media sosial dan media online kaum ‘kanan radikal’. Namun, isu kristenisasi ini gagal total memprovokasi konflik horizontal karena keterlibatan ormas Islam moderat yang mendukung Jokowi dan tokoh-tokoh Islam untuk menentang kampanye kotor tersebut.

Bahkan, perdebatan ide Revolusi Mental Jokowi yang bermula dari artikel Jokowi di sebuah koran nasional, tidak dilawan dengan konsep tandingan atau kritik yang konseptual, tetapi dimasukkan propaganda hitam ‘bahaya komunis’. Isu ini cepat digoreng di berbagai media sosial dan situs anti-Jokowi dengan mengatakan istilah Revolusi Mental yang pertama kali dipopulerkan Bapak Sosialis-Komunis Dunia, Karl Marx. Istilah Revolusi Mental juga dihubungkan dengan Partai Komunis Cina (PKC) dan pimpinan PKI, DN Aidit.

Kini, dengan makin kuatnya posisi politik Presiden Jokowi, baik di pemerintahan, parpol, maupun DPR, membuat oposisi menjadi tidak menggigit dan lemah. Karena itu, ‘memaksakan’ konsesi politik melalui ‘politik formal’ di parlemen dan pemerintahan yang makin kuat, sulit dilakukan. Soliditas pemerintahan Jokowi secara politik serta kepuasan publik yang makin meningkat, membuat lawan-lawan politik Jokowi kembali menciptakan amunisi serangan baru melalui isu tradisional dan kampanye hitam ala Obor Rakyat yang menemukan momentum ketika Ahok dijadikan tersangka dalam kasus penistaan agama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar