Selasa, 17 Januari 2017

Korupsi Dinasti Politik

Korupsi Dinasti Politik
Djayadi Hanan ;  Direktur Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
                                                      KOMPAS, 16 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setiap menjelang pemilihan kepala daerah, isu dinasti politik selalu muncul dan ramai dibincangkan. Dinasti politik dilarang oleh undang-undang. Namun, Mahkamah Konstitusi menganulirnya melalui proses uji materi (judicial review) yang diajukan salah satu calon peserta pilkada pada 2015.

Dinasti politik umumnya bermakna negatif karena biasanya terkait dengan korupsi. Korupsi yang dilakukan dinasti politik mengesankan korupsi yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Tingkat kerusakan dan bahaya yang ditimbulkannya menjadi berlipat dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan orang per orang.

Dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Klaten yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini dapat menjadi contoh gamblang. Salah satu kemungkinan yang muncul adalah korupsi lebih mudah dilakukan karena kepemimpinan politik di Klaten selama hampir dua dekade terakhir dikuasai dua keluarga. Suami istri bergantian menjadi bupati danwakil bupati. Apabila tidak melalui OTT, mungkin dugaan korupsi tersebut belum atau tidak akan terungkap.

Di sejumlah negara, dinasti politik tidak selalu berarti korupsi. Singapura adalah contohnya. Salah satu pemegang kekuasaan di negeri tersebut adalah dinasti politik. Lee Kuan Yew membangun Singapura, menjadi pemimpinnya untuk waktu yang cukup lama, lalu penguasa berikutnya adalah anggota keluarganya.

Namun, dinasti politik di Singapura tak dapat dikaitkan langsung dengan korupsi. Singapura dikenal sebagai negara yang penegakan hukumnya sangat baik, terutama dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Menurut Transparansi Internasional, Singapura memperoleh peringkat delapan terbaik dalam Indeks Persepsi Korupsi 2016.

Dinasti, demokrasi, dan korupsi

Dinasti politik tidak cocok dan cenderung bertentangan dengan demokrasi. Prinsip dinasti adalah pemusatan kekuasaan. Ini bertentangan diametral dengan demokrasi yang justru berpijak pada desentralisasi kekuasaan, baik secara vertikal maupun horizontal. Kekuasaan yang terpusat cenderung dekat dengan kekuasaan absolut. Kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut pula. Inilah alasan fundamental mengapa dinasti politik dicurigai berjalin berkelindan dengan korupsi.

Dinasti politik bukanlah fenomena unik Indonesia. Peneliti politik sudah lama akrab dengan isu ini. Rahman (2013) dalam disertasinya di London School of Economics and Political Science menemukan bahwa dari 100 negara yang ia teliti, 42 persen memiliki dinasti politik di tingkat nasional. Dalam politik lokal di Indonesia, sampai dengan 2012, ada sedikitnya 23 dinasti politik yang aktif (Kenawas, 2013). Kebanyakan dinasti politik ini masih aktif sampai sekarang dan jumlahnya cenderung makin bertambah.

Dinasti politik sering kali disamakan dengan keluarga politik (political family). Meskipun memiliki kaitan erat, keluarga politik dan dinasti politik bukanlah dua hal yang otomatis sama. Dinasti politik tidak harus berasal dari keluarga politik. Sebaliknya, keluarga politik tidak mesti membangun dinasti politik.

Secara umum, ada tiga mekanisme terbentuknya dinasti politik. Pertama, transmisi atau suksesi—baik langsung maupun tidak langsung—kekuasaan politik atas dasar hubungan keluarga (Thompson, 2012). Ini berbeda dengan keluarga politik yang bermakna adanya tradisi dalam sebuah keluarga untuk memegang jabatan-jabatan atau berkarier di bidang politik.

Kedua, dinasti politik terbentuk karena ada persistensi elite (Querubin, 2011). Satu atau sejumlah kecil keluarga mendominasi distribusi kekuasaan di suatu tempat/negara.

Ketiga, dinasti politik juga dapat terbentuk melalui suksesi langsung, misalnya jabatan politik beralih dari ayah kepada anak, atau dari suami kepada istri, dalam pergantian kepemimpinan di suatu tempat (Rahman, 2013). Dinasti politik terbentuk apabila ada minimal dua anggota keluarga yang memegang jabatan politik yang sama, di tingkat nasional ataupun daerah secara berturut-turut.

Dengan tiga mekanisme tersebut, dapat dipahami bahwa proses dan keputusan- keputusan politik di suatu daerah akan berputar-putar di kalangan sejumlah kecil orang. Lembaga-lembaga yang menopang kekuasaan politik, seperti birokrasi, pun akan lebih mudah dikuasai. Persekongkolan sukarela ataupun terpaksa akan lebih mudah dijalankan. Apabila ini dibarengi dengan kondisi masyarakat yang pragmatis dan permisif, maka akan lebih lengkaplah potensi korupsi yang berawal dari penyalahgunaan kekuasaan oleh dinasti politik.

Memang, secara normatif, dinasti politik belum tentu melakukan korupsi. Dengan kata lain, dinasti politik bisa berdampak negatif sekaligus positif.

Merebut dan mempertahankan kekuasaan, bagi dinasti politik, didasari pada dua motivasi utama. Pertama, membangun reputasi dan nama baik (reputation building). Anggota dinasti politik berkuasa dengan didorong keinginan untuk membangun dan mempertahankan reputasi keluarga. Tujuannya agar kekuasaan yang dipegang memperoleh legitimasi dan dukungan rakyat yang lebih besar.

Dampaknya, dinasti yang dimaksud akan terus dipilih kembali apabila dalam negara demokrasi. Atau, dalam negara non-demokrasi, kekuasaan dinasti dianggap memang diperlukan untuk kebaikan masyarakat sehingga kekuasaan dinasti itu langgeng dalam waktu yang lama.

Membangun reputasi dilakukan dinasti politik dengan cara menghindarkan diri mereka dari perilaku yang akan merusak nama baik. Korupsi dalam konteks ini dapat dianggap perilaku yang harus dihindari. Saat yang sama, reputasi dapat dibangun dengan tindakan-tindakan politik yang dianggap berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak (public interest). Dengan motivasi ini, maka dinasti politik malah dapat dianggap menguntungkan masyarakat.

Motivasi kedua dinasti politik adalah menumpuk kekayaan (stockpiling wealth). Kekuasaan adalah jalan cepat untuk menumpuk kekayaan. Ini hanya bisa ditempuh apabila kekuasaan mengontrol distribusi kekayaan melalui mekanisme keuangan publik dengan kritik dan oposisi seminimal mungkin. Ini dimungkinkan melalui dinasti politik karena sifat kekuasaannya yang terpusat.

Kekayaan yang diperoleh ini selanjutnya digunakan untuk membiayai proses dan mekanisme agar suksesi kekuasaan berada di lingkaran dinasti politik. Muncul semacam lingkaran setan korupsi (corruption vicious circle) di sini. Motivasi menumpuk kekayaan memunculkan dinasti politik, lalu dinasti politik makin dimungkinkan menumpuk kekayaan, selanjutnya kekayaan tersebut menjadi instrumen untuk melanggengkan dinasti, dan begitu seterusnya.

Memutus dinasti, mencegah korupsi

Meski secara normatif dan teoretis, terutama melalui mekanisme reputation- building, dinasti politik dapat saja berdampak positif bagi masyarakat, data empiris yang tersedia umumnya menunjukkan kaitan yang erat antara dinasti politik dan korupsi. Analisis Rahman (2013) terhadap data di 100 negara menyimpulkan, dinasti politik memiliki korelasi dengan tingkat korupsi lebih tinggi. Artinya, negara/daerah yang kekuasaannya dipegang dinasti politik cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih parah.

Politisi anggota dinasti politik juga memiliki kecenderungan mendukung dan menghabiskan anggaran untuk proyek- proyek infrastruktur kota, kesehatan, dan sanitasi (Braganca, dkk., 2015). Namun, proyek-proyek tersebut justru tidak membantu perbaikan pertumbuhan ekonomi dan layanan publik. Kemungkinan, ini terjadi karena proyek-proyek tersebutlah yang lebih mudah dikorupsi dan terkesan membantu kepentingan publik.

Karena dijalankan seadanya, maka tidak mampu memperbaiki ekonomi dan layanan publik. Dengan kata lain, dinasti politik juga memperparah pemerintahan yang buruk (bad governance).

Secara umum, korupsi juga dikaitkan dengan tiga keadaan yang mendukung. Pertama, tingkat dan kondisi pembangunan ekonomi yang belum tinggi, apalagi apabila disertai ketimpangan serius. Kedua, struktur budaya, terutama masyarakat yang permisif dan cenderung pragmatis terhadap korupsi. Ketiga, masih rendahnya kualitas demokrasi, terutama dari segi penegakan hukum, ketimpangan politik dan ekonomi, serta rendahnya kemampuan negara merespons aspirasi publik.

Apabila dinasti politik muncul dalam negara/daerah yang memiliki tiga kondisi tersebut, dapat diduga ia akan memperparah kondisi korupsi. Dalam suasana masyarakat yang permisif dan menghargai orang yang mau bagi-bagi uang, dinasti yang memiliki motivasi menumpuk kekayaan justru akan memperoleh reputasi baik. Apabila secara normatif motivasi reputation building bertentangan dengan motivasi menumpuk kekayaan, kenyataannya justru dua motivasi itu dapat saling mendukung. Makin sulitlah kita memberantas korupsi.

Pertanyaan menarik, Indonesia dan kebanyakan daerah di Indonesia berada di kondisi mana? Saya khawatir, Indonesia dan banyak daerah kita, berada dalam kondisi yang terakhir tersebut. Dinasti politik justru dianggap memilikireputasi baik sepanjang ia dapat membagi-bagi sedikit kekayaan kepada masyarakat, misalnya lewat pemilu, tanpa peduli, bagaimana buruknya mereka menumpuk kekayaan.

Sudah jelas kiranya, dinasti politik sebaiknya diputus. Ia akan membantu pencegahan korupsi. Nanti, kalau penegakan hukum kita sudah baik, bolehlah kita tidak terlalu mempermasalahkannya. Memutus dinasti melalui larangan undang-undang sudah tidak bisa. Tinggal masyarakat pemilih yang bisa melakukannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar