Jumat, 13 Januari 2017

Menulis Buku, Menulis Kebenaran

Menulis Buku, Menulis Kebenaran
Listoyono Santoso ;  Pendidik serta Pengajar mata kuliah Ilmu Filsafat dan Etika
di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya
                                                    JAWA POS, 12 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENULIS buku Jokowi Undercover Bambang Tri Mulyono ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Bambang Tri dianggap memberikan informasi palsu tentang sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam buku tersebut, Presiden Jokowi dianggap memalsukan riwayat hidup serta keberhasilannya menjadi presiden tidak lain buah pencitraan media massa. Pesan yang hendak disampaikan, semua “cerita” tentang Jokowi selama ini merupakan kebohongan publik.

Penetapan Bambang Tri sebagai tersangka tentu saja memantik banyak perdebatan. Kesan yang muncul, pemerintahan saat ini tidak ubahnya rezim Orde Baru yang selalu otoriter terhadap yang berseberangan. Setiap yang melakukan “kritik” selalu dianggap subversif dan makar. Negara dianggap memasung hak kebebasan berpendapat yang dilindungi konstitusi.

Di bagian lain, ada keinginan pemerintah agar ruang berdemokrasi kita tidak bergerak liar yang mengabaikan etika berkomunikasi. Realitas media sosial yang lebih banyak didominasi berita “sampah” daripada ruang komunikasi yang mencerdaskan merupakan cerminan dari keliaran berdemokrasi.

Banyak di antara masyarakat sebenarnya yang resah dan gerah terhadap keliaran ruang berkomunikasi. Selain ujaran kebencian, banyak informasi hoax dan yang menciptakan narasi-narasi penistaan. Bukan hanya masyarakat awam, kalangan terpelajar pun turut serta menyebarluaskan tanpa melakukan kroscek kebenarannya. Seolah ada kebahagiaan menyampaikan berita buruk orang atau kelompok yang tidak disukainya.

Setali tiga uang, terbitnya buku Jokowi Undercover dianggap sebagai bagian dari buku yang menyebarluaskan kebencian kepada seseorang, terutama kepada Presiden Jokowi. Berbagai informasi dalam buku itu tentu saja masih perlu ditelusuri kebenarannya. Bagaimanapun, menulis buku, apalagi buku tentang seorang tokoh atau sebuah peristiwa penting dalam sebuah sejarah, tidaklah sekadar mengumpulkan data dan membangun opini, kemudian menyusunnya menjadi sebuah informasi.
Selain kepakaran di bidangnya, diperlukan pula teknik pengumpulan data secara ilmiah agar kebenaran data yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya sumber referensi yang jelas, mengutip pun harus dilakukan dengan cara yang benar. Interpretasi terhadap data bisa berbeda bukanlah persoalan, sepanjang data yang digunakan merupakan kebenaran faktual.

Seorang penulis buku bukan sekadar juru ketik yang hanya merangkai kata demi kata. Menyusun kalimat demi kalimat. Ada tanggung jawab moral dan intelektual ketika sebuah buku diterbitkan. Baik fiksi maupun nonfiksi. Menulis buku merupakan kerja intelektual, bukan kerja sembarangan. Setiap orang boleh menulis buku merupakan keniscayaan. Tapi, tidak setiap orang boleh menulis buku secara sembarangan.
Tidak bisa dibayangkan apa dampaknya ketika sebuah buku ditulis secara serampangan. Data penuh dengan kepalsuan. Informasi yang disampaikan juga mengandung kesesatan. Di tengah masyarakat dengan budaya literasi yang masih rendah, buku yang sembarangan ditulis tentu saja membahayakan bagi opini publik.

Masyarakat mudah menyerap informasi tanpa sikap kritis. Tokoh yang dituliskan secara salah akan mengalami delegitimasi dan peristiwa yang dinarasikan secara manipulatif bakal menjadi jejak sejarah yang menyesatkan publik. Melalui informasi yang sesat dalam sebuah buku, seorang “pecundang” bisa menjadi pahlawan. Begitu juga seorang “pahlawan”, dapat dicitrakan sebagai pecundang di mata publik.

Menulis buku itu menulis kebenaran. Seorang penulis akan mendedikasikan integritas intelektualnya untuk mengabdi pada nilai kebenaran. Tidak sekadar mencari popularitas maupun memenuhi kepentingan materiil lainnya. Di dalam buku yang ditulis, ada nilai (value) yang hendak disebarluaskan kepada publik pembaca. Menulis buku adalah menulis dengan jiwa dan kedalaman batin. Dalam menulis sebuah buku, penulis tidak boleh terlibat kemarahan dan kebencian.

Setiap kemarahan dan kebencian hanya membuat tulisan tidak bersifat objektif dan tak menghadirkan kebenaran di dalamnya. Karena itu, jangan menulis ketika Anda sedang marah dan benci kepada seseorang.
Risikonya terlalu berat. Selain akan dianggap melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang paling serius adalah si penulis memberikan informasi yang sesat kepada masyarakat dan generasi selanjutnya. Membohongi publik jelas sebuah kejahatan, apalagi menyandera generasi dengan informasi yang menyesatkan. Saatnya publik diajak kritis dalam memilih dan membaca buku. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar