Selasa, 24 Januari 2017

Merawat Potensi Dalam Negeri

Merawat Potensi Dalam Negeri
Enny Sri Hartati  ;  Direktur Institute for Development of Economics and Finance
                                                      KOMPAS, 23 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sepanjang 2016, stabilitas politik Tanah Air kondusif. Hubungan eksekutif dan legislatif sudah mencair. Sebagian partai besar memberikan dukungan penuh kepada pemerintah, tak terkecuali Partai Golkar. Namun, menjelang berakhirnya 2016, kondisi tiba-tiba kembali menghangat.

Selain menyeruaknya isu suku, agama ras, dan antar-golongan (SARA), ada juga aspirasi dari sejumlah konfederasi buruh. Isu tenaga kerja ilegal dari Tiongkok tak ketinggalan menjadi bahan pemberitaan. Bahkan, memasuki 2017, beberapa elemen mahasiswa turun ke jalan, dipicu oleh kado tahun baru pemerintah, memprotes kebijakan kenaikan biaya perpanjangan pengurusan surat tanda nomor kendaraan (STNK) bermotor dan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) yang membebani masyarakat.

Situasi tersebut menjadi kekhawatiran para pelaku usaha dan pebisnis. Sampai akhir 2016, perkembangan bisnis masih lesu. Kinerja sektor riil dan pertumbuhan investasi masih terbatas. Pada triwulan III-2016, pertumbuhan investasi kembali menurun hanya di kisaran 5 persen. Demikian juga pertumbuhan penjualan ritel dan penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh di kisaran 6-7 persen. Inflasi rendah, yakni 3,02 persen, ternyata belum mampu mendongkrak daya beli masyarakat.

Kekhawatiran dunia usaha itu beralasan. Di tengah kondisi politik yang stabil sampai triwulan III-2016 saja perekonomian menghadapi tantangan berat. Sekalipun sudah selusin paket stimulus dikeluarkan, realisasi pertumbuhan investasi stagnan, terutama industri manufaktur hanya di kisaran 4,5 persen. Realisasinya tak sampai 40 persen dari persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Implementasi berbagai komitmen deregulasi dan debirokratisasi masih berbenturan dengan ego sektoral kementerian teknis dan kepentingan daerah.

Demikian juga dengan percepatan pembangunan infrastruktur yang masih terkendala ketersediaan anggaran. Beberapa proyek infrastruktur yang sudah mulai berjalan belum mampu meningkatkan keyakinan dunia usaha untuk berekspansi secara signifikan. Hal ini dapat dipahami karena pembangunan infrastruktur tidak bisa langsung berimplikasi dalam jangka pendek. Jadi, wajar jika para pelaku usaha tetap mengeluhkan tingginya biaya logistik dan belum menikmati peningkatan ketersediaan dan perbaikan kualitas infrastruktur dasar.

Artinya, tantangan ekonomi yang menghadang pada 2017 ini masih sangat besar. Jika diperberat lagi dengan konflik di dalam negeri, sektor riil akan makin sulit. Karena itu, harus segera ada solusi fundamental terhadap pemicu terjadinya konflik tersebut. Jika percikan-percikan kecil tersebut dibiarkan, dianggap remeh, dan tidak direspons secara proporsional, potensinya mudah meluas. Potensi konflik horizontal dapat terjadi dan tidak dapat dihindari. Padahal, prasyarat utama menarik minat investor adalah terjaganya iklim investasi. Investasi diperlukan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, dan kesenjangan. Bisa jadi, tiga masalah ini adalah sumber utama terjadinya potensi konflik di dalam negeri.

Merujuk kondisi AS

Pidato pertama presiden ke-45 Amerika Serikat, Donald Trump, bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia dalam menyelesaikan masalah tersebut. Trump berkomitmen menempatkan kepentingan dalam negeri AS sebagai yang pertama (America first). Tekadnya untuk membangun jembatan, terowongan, jalan, jembatan layang adalah untuk memperluas kesempatan kerja dan memperkuat daya beli masyarakat. Pemerintahnya berjanji akan membawa kesejahteraan dan mengembalikan kekuatan AS.

Trump akan menerapkan kebijakan ekonomi yang mendahulukan kepentingan nasional dan kepentingan warga negara AS, termasuk kebijakan yang bersifat protektif. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat memilih dan membeli produk AS (buy American) sehingga mampu mempekerjakan warga Amerika (hire American). Semangat patriotisme dengan slogan ”Make America Great Again” tersebut menyihir publik dan mengantarkan Trump mengungguli Hillary Clinton. Menjadikan ”Amerika Hebat Kembali” dapat dipahami bahwa pemerintah berusaha mendengar suara dan problem yang dihadapi masyarakat. Kebijakan ekonomi akan difokuskan untuk mendahulukan kepentingan nasional dan kepentingan warga negara AS.

Padahal, ekonomi AS memiliki derajat keterbukaan terhadap ekonomi global yang sangat besar, baik dari sisi investasi maupun perdagangan internasional. Sementara sumber pertumbuhan ekonomi terbesar Indonesia ada di dalam negeri, tecermin dari kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 54 persen terhadap produk domestik bruto. Belum lagi kekuatan investasi juga ada di dalam negeri karena 80 persen produksi masih berorientasi pasar dalam negeri.

Apalagi, struktur usaha yang 99 persen ditempati usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta koperasi. Jadi jelas, jika pemerintah mampu memfasilitasi potensi UMKM, produktivitas nasional bisa optimal. UMKM akan mampu menyuplai kebutuhan dalam negeri dan berperan sebagai substitusi impor. UMKM sudah pasti akan lebih banyak menyerap tenaga kerja lokal sehingga sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk lokal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar