Selasa, 10 Januari 2017

Rapuhnya Komunikasi Kebijakan

Rapuhnya Komunikasi Kebijakan
Gun Gun Heryanto  ;   Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;  
Presidium Asosiasi Ilmuan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI)
                                                KORAN SINDO, 09 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rapuhnya komunikasi publik terkait kebijakan pemerintah terasa lagi di awal 2017 ini. Pernyataan beragam elite pemerintah terkait dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 60/2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara RI menunjukkan ada masalah krusial dalam koordinasi komunikasi publik lintas sektoral di pemerintah saat ini.

Bukan hanya soal tarif STNK yang ramai jadi perbincangan warga, tetapi juga sejumlah isu kebijakan lainnya. Polemik terakhir yang juga menyita perhatian banyak kalangan adalah komunikasi publik berkenaan dengan pemutusan kerja sama militer antara TNI dan Angkatan Bersenjata Australia (Australian Defence Force).

Komunikasi Publik

Dalam kasus jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang diberlakukan Januari 2017, membuat banyak warga terkaget-kaget. Paradoks ini juga diperkuat oleh perbedaan pesan publik yang disampaikan elite yang menjadi representasi pemerintah. Misalnya saja pada 5 Januari 2017, Presiden Jokowi mempertanyakan tingginya kenaikan tarif STNK dan BPKB.

Sementara itu, kepolisian dan Kemenkeu juga penjelasannya mengambang, tidak kokoh dan kurang memberi argumentasi yang sifatnya menunjukkan pola dua arah dan berorientasi pada keuntungan dua pihak (mutual benefit) antara pemerintah dan rakyat yang terdampak oleh kebijakan. Mundur ke beberapa waktu lalu, bukan kali pertama saja persoalan komunikasi menjadi isu krusial yang harus diatasi secara serius pemerintah saat ini.

Polemik terbuka terjadi antara Rizal Ramli yang saat itu Menteri Kemaritiman dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral(ESDM) saat itu, Sudirman Said, perihal pembangunan listrik 35.000 megawatt. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sempat dikritik karena perbedaan pesan publiknya saat keluarnya Perpres Nomor 39/ 2015 tentang pemberian fasilitas kenaikan tunjangan uang muka kendaraan bagi pejabat.

Presiden Jokowi menyatakan hanya menandatangani dokumen yang sudah diparaf bawahannya. Presiden tidak tahu persis isinya. Sementara Wakil Presiden menyatakan tidak mengetahui ada kenaikan tunjangan tersebut. Pun demikian soal pemutusan kerja sama militer antara TNI dan ADF (Australian Defence Force).

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, pada 29 Desember 2016 memberi pesan publik tentang instruksi untuk menghentikan sementara segala kerja sama militer termasuk latihan dengan ADF; sementara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan hubungan Indonesia-Australia baik-baik saja. Dia menyarankan untuk tidak gegabah dan bersikap sepihak (4 Januari 2017).

Tentu, tak akan ada pemerintah yang bisa bekerja sempurna. Selalu ada kelemahan, namun demikian harus meminimalisasi kesalahan dari halhal yang sesungguhnya bisa diantisipasi sejak dini. Salah satu yang bisa diantisipasi adalah koordinasi komunikasi. Kebijakan publik tertentu boleh diambil pemerintah karena punya otoritas untuk itu. Clarke E Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebutkan kebijakan publik adalah hasil (outcome) dari pertarungan di dalam pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what). Lahirnya sebuah kebijakan tentu tidak di ruang hampa, ada pergulatan, ada dialektika bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan dan kepentingan.

Tetapi saat kebijakan diambil dan sudah menjadi “barang jadi” maka pemerintah harusnya memiliki pandangan dan sikap yang sama, tidak membingungkan rakyat yang terdampak kebijakan. Hal ini dikuatkan Thomas R Dye dalam bukunya Understanding Public Policy, (1992) bahwa kebijakan publik itu soal whatever governments choose to do or not to do! Di sinilah letak pilihan harus ajek.

Jangan plinplan dan jangan mengambang, saat kebijakan sudah diambil maka harus ada komunikasi strategis untuk menyosialisasikannya dan mengimplementasikannya dengan optimal. Setiap kebijakan mulai saat menjadi agenda, perumusan, penetapan, pelaksanaan, hingga evaluasi harus menjadikan komunikasi sebagai faktor penting dan berperan signifikan.

Informasi, koordinasi, sosialisasi, dan persuasi menjadi contoh bahwa komunikasi tidak boleh diabaikan dari rangkaian proses pengambilan dan implementasi kebijakan pemerintah. Kebijakan publik yang diambil pemerintah banyak yang berantakan dan tidak menimbulkan kepercayaan publik karena salah urus komunikasi.

Narasi Pemerintah

Dalam budaya organisasi termasuk mengelola birokrasi pemerintahan penting untuk menjaga performa komunikatif. Pacanowsky dan ODonnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982), performa menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi.

Ada lima indikator dalam mengevaluasi performa komunikatif, yakni performa ritual, hasrat, sosial, politis dan enkulturasi. Jika tidak mampu menyinergikan kelimanya maka performa komunikatifnya akan buruk. Saat ini penting bagi Jokowi untuk mengoptimalkan peran komunikasi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkannya.

Narasi pemerintah yang menjadi pesan untuk publik saat diimplementasikannya sebuah kebijakan harus jelas, argumentatif dan dirasakan niat baik dan niat politiknya untuk membangun pemahaman bersama (mutual understanding). Sesungguhnya, Presiden Jokowi sudah pernah mengeluarkan Inpres Nomor 9/2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik.

Salah satu yang menarik dari inpres tersebut adalah pentingnya narasi tunggal dan dalam konteks ini Kominfo diberi tugas sebagai penyusun narasi tunggal tersebut. Dalam skema pengelolaan komunikasi publik tersebut, kementrian, lembaga dan pemerintah daerah merujuk ke Inpres tersebut harus melakukan enam tindakan, yakni penyediaan data substantif program prioritas, monitoring media dan analisis data, koordinasi komunikasi publik, narasi tunggal, diseminasi informasi publik dan monitoring evaluasi pelaporan. Jadi, kesadaran berwacana untuk membuat tata kelola komunikasi publik sesungguhnya sudah ada di era Jokowi.

Masalahnya ada pada konsistensi dan kesiapan seluruh pihak di pemerintahan untuk menjadikan kerja komunikasi sebagai hal penting dan koordinasi menjadi keniscayaan. Tak akan ada kebijakan yang sukses tanpa pengelolaan komunikasi publik yang optimal! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar