Selasa, 10 Januari 2017

Tutup Mulut dan Jadilah Lucu

Tutup Mulut dan Jadilah Lucu
AS Laksana  ;   Sastrawan; Pengarang; Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional di Indonesia
                                                    JAWA POS, 09 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAYA selalu terlambat dalam berkejaran dengan orang-orang lain di wilayah pergaulan digital. Beberapa teman, dan juga istri saya, sudah beberapa kali berganti smartphone, sedangkan saya baru menggunakannya kurang lebih setengah tahun belakangan. Itu pun dibelikan kawan baik yang merasa terharu melihat ponsel kuno yang saya gunakan.

Selanjutnya, saya mulai membiasakan diri dengan gawai tersebut –masih agak kikuk sampai beberapa waktu, dan tetap kikuk menggunakannya di tempat-tempat umum hingga sekarang. Saya hampir tidak pernah membuka media sosial di tempat umum, apalagi ketika sedang bercakap-cakap dengan teman-teman.

Sekarang saya sudah lebih fasih menggunakannya. Kadang-kadang, begitu bangun tidur, hal pertama yang saya cari adalah smartphone: saya memeriksa Facebook, WhatsApp, Twitter. Itu sebabnya saya sekarang bertekad menjadikan buku sebagai benda pertama yang saya pegang begitu bangun tidur.

Pada suatu pagi pekan lalu, begitu saya bangun tidur, aplikasi WhatsApp memberi tahu ada 873 pesan. Beberapa tulisan di dinding Facebook membuat perasaan saya kalut dan marah. Dan, perasaan marah itu bertahan lama; seharian saya menjalani urusan dengan kemarahan yang muncul sejak pagi hari.

Anda mungkin memiliki pengalaman serupa dengan yang saya alami pagi itu, atau bahkan sudah menjadi terbiasa, langsung meraih smartphone setiap bangun tidur, dan membeku dengan gawai tersebut sampai beberapa waktu. Lalu, Anda buka semua media sosial, mendapati beberapa tulisan yang membangkitkan perasaan marah, dan sesaat berikutnya Anda ikut menceburkan diri ke jejaring sosial dan ikut-ikutan marah. Saya melihat banyak orang marah-marah di media sosial. Mereka marah hari ini, marah besok pagi, marah lagi lusa.

Saya pikir Anda perlu berhati-hati terhadap gejala semacam itu. Kemarahan adalah emosi sangat kuat, yang menjadi akar dari berbagai gangguan, baik fisik maupun emosional. Satu emosi lainnya adalah kecemasan. Itu hasil penelitian personal yang dilakukan John Sarno, Profesor ilmu kedokteran New York University dan orang pertama yang menyodorkan gagasan Mind-BodyConnection.

Kemarahan, sebagaimana emosi-emosi yang lain, adalah respons Anda terhadap situasi eksternal. Situasinya akan tetap seperti itu, hanya Anda yang akan menjadi gila sendiri, melampiaskan kemarahan setiap hari. Anda mengarang cerita sendiri di dalam benak Anda, cerita yang cocok dengan amarah yang berkobar di dalam diri Anda. Sebagian orang mendukung Anda, sebagian yang lain tidak melihat situasi seperti Anda melihatnya. Mereka baik-baik saja dan Anda marah kepada orang-orang yang merasa semuanya baik-baik saja.

Saya beruntung pernah mendengar cerita tentang bagaimana mengatasi kemarahan. Orang-orang dewasa yang menceritakan itu kepada saya bertahun-tahun lalu. Mereka bilang kemarahan adalah api, dan setan terbuat dari api. Karena itu, ketika kita marah, disarankan agar kita meminta perlindungan kepada Tuhan dari godaan setan yang terkutuk. Itu cara pertama mengatasi kemarahan menurut Islam, agama keluarga saya.

Agama-agama lain, atau tradisi-tradisi lain, saya yakin memiliki cara masing-masing tentang bagaimana mengatasi kemarahan.

Cara berikutnya, jika Anda masih tetap marah meskipun sudah minta perlindungan, adalah tutup mulut, berhenti bicara. Orang yang marah biasanya akan menyemburkan kemarahan jika ia berkata-kata. Ia sulit dihadapi dengan cara apa pun. Kita diam, ia makin marah. Kita menjawab, ia makin marah.

Selain itu, ucapan orang yang sedang marah sering melukai orang lain. Luka yang disebabkan oleh tamparan bisa sembuh dan hilang bekasnya dalam beberapa hari. Luka yang disebabkan oleh kata-kata akan bertahan selamanya.

Masih ada teknik lain untuk mengatasi kemarahan, jika diam saja masih tidak mempan. Jika Anda marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika duduk pun masih marah, berbaringlah. Jika berbaring masih marah, basuhlah diri dengan air wudu.

Prinsipnya, kemarahan adalah api dan api adalah setan. Ia akan padam oleh air.

Saya yakin membasuh diri dengan air wudu, bagi orang Islam, akan memadamkan kemarahan. Ia akan memadamkan kebencian dan menghalangi kita dari urusan-urusan yang menyakiti orang lain. Misalnya, ikut-ikutan menjadi penyalur hoax dan menyebarkan kebencian.

Bagaimanapun, situasi bisa sulit, bisa bagus, tetapi pikiran kita perlu selalu bahagia. Kita perlu merawat pikiran agar ia selalu bisa melihat cahaya, sekecil apa pun, dalam situasi yang paling gelap.

Dalam urusan ini, saya kagum kepada orang-orang yang memiliki selera humor yang baik. Mereka memiliki pandangan dunia yang berbeda dari kebanyakan orang. Mereka selalu mampu melihat sisi yang membuat mereka bisa tersenyum pada semua situasi, entah situasi gelap atau terang.

Maka, jadilah lucu dan tertawalah, konon tertawa itu sehat. Setidaknya tersenyumlah. Senyum adalah sesuatu yang merekatkan hubungan antarmanusia, sedangkan kemarahan menjauhkan. Dan, kemarahan selalu bersumber dari diri sendiri, dari pengalaman-pengalaman kita sendiri, dari cerita yang kita karang sendiri ketika merespons sebuah situasi. Itu sebabnya, teknik mengatasi kemarahan, yang diajarkan oleh agama, adalah mengelola diri sendiri. Ia tidak mengajarkan bagaimana cara mengubah situasi, tetapi bagaimana kita mengelola diri sendiri.

Perubahan situasi adalah risiko saja dari kecakapan kita mengelola diri sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar