Selasa, 21 Februari 2017

Buzzer

Buzzer
Putu Setia  ;   Pengarang;  Wartawan Senior Tempo
                                                   TEMPO.CO, 18 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Bisakah kita kembali bertegur sapa seperti yang kita lakukan sebelum pilkada?"

Kalimat itu saya baca di grup WhatsApp (WA) yang sudah lama tak saya buka. Posting-an itu dibuat setelah pencoblosan berakhir. Tentu saya kenal penulis kalimat itu, sahabat saya yang menjadi buzzer calon Gubernur DKI Jakarta. Kesehariannya tak banyak omong, bahkan cenderung berkata-kata seperlunya saja. Entah kenapa di grup WA, ia menulis kata-kata kasar untuk orang yang merendahkan calonnya. Kasar pula kalimatnya untuk memojokkan calon lawan. Ia juga mengaku punya akun Twitter dengan nama palsu dan setiap saat mem-posting pujian untuk calon dukungannya.

"Hahaha... sekarang ente menyerah. Bagi dong bayarannya sebelum kita damai."

Kalimat ini adalah jawabannya. Juga dari teman yang saya kenal, seorang buzzer pula, tentu dari calon yang lain. Dia seorang doktor lulusan luar negeri. Hidupnya pun sudah mapan. Sering saya terheran-heran kenapa di grup WA dia menulis sedemikian kasar jika ada komentar yang menjelekkan calon dukungannya.

Sebagaimana para buzzer yang kehilangan kontrol dalam pilkada DKI Jakarta ini, dia pun setiap menit memuji calon yang didukungnya. Bahkan rela tidak tidur semalaman. Apakah dia mendapat bayaran dan seberapa besar?

Kalau membaca komentarnya, yakni "bagi dong bayarannya", saya kira dia dibayar, juga "musuhnya" itu.

"Wah, gak ada bayarannya, Boss. Saya cuma incar jabatan di partai, siapa tahu diangkat jadi wasekjen."

Saya sungguh heran, sihir apa yang disebarkan pilkada Jakarta ini.

Teman itu tadinya aktivis yang mahir berbicara masalah pluralitas. Sebelum proses pilkada dimulai, dia sering menyebut "NKRI harga mati, kebinekaan harus dijaga".

Tapi dia memang kepincut menjadi politikus dan sudah bergabung ke partai politik. Cuma dia mengaku belum dijadikan pengurus. Dengan menjadi buzzer, dia berharap mendapat kedudukan di partai. Ia pun rela menulis hal-hal yang bagi saya aneh, membawa-bawa masalah agama dalam koridor yang sangat sempit untuk menyerang calon lawan. Pilkada Jakarta telah melacurkan banyak orang.

"Ente sudah sadar ditipu ya? Silakan tobat. Gue sih lanjut di putaran kedua. Lawan masih banyak."

Saya tak kaget membaca respons ini. Buzzer itu ibarat kecanduan narkoba, sukar untuk kembali ke jalan yang benar. Kalau satu jam saja tidak menulis makian atau tidak menulis pujian, dia seperti gelisah.

Sorang buzzer harus bisa melihat kesalahan calon lain untuk diumbar. Dan jika kesalahan yang sama atau agak mirip menimpa calonnya sendiri, harus dianggap kebenaran. Nalar sudah tidak jalan.

"Oke, Bos, selamat berjuang. Aku kayaknya tobat, deh. Kutunggu tobatmu."

Kalimat ini penutup dialog dari dua teman saya itu. Saya bersyukur kalau benar ada buzzer yang tobat, apa pun alasannya, entah calonnya sudah kalah atau nyaris kalah.

Grup WA ini harus dikembalikan ke awalnya, ajang silaturahmi lewat kata-kata, supaya anggota grup kembali bergairah, tidak ramai-ramai non-aktif. Begitu pula pertemanan di berbagai media sosial, harusnya dikembalikan sebagai dialog sehat di dunia maya. Lebih-lebih pemilik akun yang jelas keberadaan dan profesinya.

Sudah cukup lama para cerdik pandai, akademisi, ulama, habib, ustad terperangkap dalam aroma penuh benci hanya karena sebuah pilkada. Kok mau mengorbankan martabat untuk seorang calon gubernur yang haus jabatan. Kalau buzzer dengan akun anonim masih masuk akal berbuat sembrono dan kita yang waras tinggal cuek, jangan merespons.

Mari kita berinstrospeksi. Pertemanan kita tak sependek pilkada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar