Selasa, 28 Februari 2017

Kemiskinan dan Pendidikan

Kemiskinan dan Pendidikan
Ahmad Baedowi  ;    Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 27 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAAT ini secara global terlihat bahwa lebih dari 100 juta anak di seluruh dunia, terutama di negara-negara miskin, masih belum memiliki akses terhadap pendidikan (sekolah), dengan sekitar 60% dari jumlah tersebut ialah anak-anak perempuan. Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan bagi usaha pencapaian kualitas hidup masyarakat dunia karena dapat dipastikan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang sehingga menghilangkan juga kesempatan suatu negara untuk bangkit dari kemiskinan.

Jika 20 tahun lalu 8 dari setiap 10 anak dapat memenuhi pendidikan dasar mereka, saat ini hanya 9 dari 10 anak dapat mengakses pendidikan dasar. Karena itu, usaha semua masyarakat dunia agar 10 dari 10 anak dapat bersekolah merupakan tantangan terbesar yang dihadapi negara-negara berkembang dan miskin di dunia. Untuk Indonesia tantangannya juga sangat serius. Di tengah kurang efisien dan efektifnya birokrasi yang mengawal sistem pendidikan kita, komponen indeks pembangunan manusia (IPM) juga masih lemah jika dilihat dari indikator rata-rata lama pendidikan setiap anak di Indonesia.

Rata-rata lama pendidikan kita menunjukkan angka-angka yang kurang membanggakan, terutama setelah merdeka lebih dari setengah abad. Angka tertinggi dimiliki Jakarta (9,7 atau setara dengan lulus SLTP), terutama Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah Nusa Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau tidak sampai kelas III SD). Angka-angka tersebut juga ingin menunjukkan bahwa secara sistemis konsentrasi pembangunan pendidikan kita lebih terpusat pada kota-kota besar, dengan kemudahan sarana yang juga lebih baik.

Selain itu, kegagalan birokrasi dalam memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk menjadi mitra yang bertanggung jawab terhadap pendidikan justru dikebiri muatan-muatan politik yang tidak perlu. Program Wajib Belajar yang dicanangkan pemerintah juga tampak belum berhasil, terutama jika dilihat dari indikator angka putus sekolah (drop out) yang masih tinggi, yaitu 7,1 tahun untuk perempuan dan 7,9 untuk laki-laki.

Program nondiskriminatif

Jared Bernstein dalam All Together Now: Common Sense for a Fair Economy (2006) mengatakan menolong orang miskin untuk memperoleh pendidikan yang baik dan layak merupakan jawaban maksimal untuk menurunkan tingkat kemiskinan suatu negara. Apa pun bentuk pengetahuan dan keterampilan yang akan diperoleh seseorang melalui pendidikan, ketika mereka akan memasuki dunia kerja pasti akan berpenguruh pada pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa. Karena itu, lanjut Jared, memiliki program perlindungan terhadap masa depan masyarakat miskin melalui pendidikan yang didasarkan peraturan dan perundang-undangan dan norma sosial yang berlaku akan mempersempit ruang kaum borjuis yang serakah dan tamak untuk terus membiarkan kemiskinan menjadi penyakit sosial yang tak berkesudahan.

Dengan modal UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan kita sesungguhnya telah mampu menetakkan landasan operasional yang jelas bagi sebuah sistem pelayanan pendidikan yang terpadu dan komprehensif bagi semua kalangan masyarakat, termasuk masyarakat miskin. Jika mengikuti logika Stephen P Heynemen (2002), sistem pendidikan yang efektif dan terencana dengan baik paling tidak memiliki beberapa ciri yang berorientasi ke arah perbaikan.

Ciri ke arah perbaikan sistem pendidikan itu ialah adanya kesetaraan terhadap kesempatan pendidikan (equality of access to educational opportunity); tercapainya keadilan dalam hal distribusi sarana pembelajaran yang memadai terhadap seluruh sekolah (fairness in the distribution of educational curricula and materials); adanya keadilan dalam unsur pelayanan, termasuk ketiadaan proses diskriminasi dalam bentuk apa pun di sekolah; serta tersedianya teachers code of conduct yang mengikat etika dan moral keseluruhan penyelenggara pendidikan.

Ciri ini seperti hendak menyepakati bahwa di dalamnya tentu saja harus mampu mengakomodasi masyarakat miskin dan kurang beruntung, yang belum memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Kita bersyukur saat ini telah dirilis Peraturan Pemerintah Nomor 66 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peran mengurangi angka kemiskinan itu tertuang dalam Pasal 53A ayat satu yang menyatakan, 'Satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan pemerintah atau pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangan masing-masing wajib mengalokasikan tempat bagi calon peserta didik berkewarganegaraan Indonesia, yang memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara ekonomi, paling sedikit 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik baru'.

Penting digarisbawahi, kalimat 'memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara ekonomi' sebagai titik tolak kritik kita, akan seperti apa kira-kira pemaknaan dan implementasi dari kebijakan ini? Sudah saatnya sistem pendidikan kita menciptakan sekolah yang lebih terbuka dan nondiskriminatif. Kesetaraan pengakuan dan respek harus diciptakan bukan hanya dengan membangun budaya sekolah yang menghargai perbedaan, melainkan juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema pedagogis dan kurikulum yang memadai.

Sementara itu, kesetaraan kekuasaan harus dilihat dalam relasi guru-siswa yang semakin peduli dengan proses belajar-mengajar yang demokratis sehingga implikasi dari pandangan ini akan membawa keterbukaan pandangan untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing dalam proses belajar. Dalam konteks ini, sebelum kesetaraan kondisi-kondisi tersebut terwujud, penting bagi otoritas pendidikan kita untuk membuka ruang belajar yang berkualitas bagi si papa, di mana pun mereka berada.

Ada banyak anak kurang beruntung dalam hal pendidikan. Mereka gagal bukan hanya karena faktor sistem yang tidak menempatkan anak sebagai pusat perhatian, melainkan banyak juga kegagalan dibentuk kelemahan program yang tidak peduli terhadap kemiskinan. Karena itu, jelas sekali kita memerlukan lebih banyak lagi program pendidikan yang pro pada kemiskinan dan memegang teguh arti kesetaraan. Jika kesetaraan ialah fitrah yang secara normatif merupakan kebutuhan manusia secara keseluruhan, benar adanya jika UUD 1945 telah menyebutnya secara kasatmata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar