Senin, 27 Februari 2017

Komodifikasi Dunia Pendidikan

Komodifikasi Dunia Pendidikan
Ahmad Faizuddin  ;    Alumnus UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Ohio University (Athens, USA); Sekarang Menempuh Jenjang Doctoral Bidang Educational Management & Leadership di International Islamic University Malaysia
                                                     KOMPAS, 25 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Penyalahgunaan dana pendidikan di sejumlah wilayah Nusantara membenarkan argumen bahwa pendidikan sudah jadi komoditas basah dewasa ini. Peserta didik yang belajar sekadar untuk memperoleh ijazah dan guru yang sibuk dengan sertifikasi adalah warna-warni dunia pendidikan Indonesia. Pada hakikatnya, pendidikan sebuah bangsa mencerminkan sejauh mana proses transformasi sosial berjalan dan menunjukkan baik buruknya wajah penguasa bangsa. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah solusi konkret dan kerja sama yang baik dari semua pihak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Dunia pendidikan di era sekarang menghadapi tantangan besar dengan adanya liberalisasi dan perdagangan global sehingga berdampak terhadap komodifikasi pendidikan. Artinya, pendidikan tak lagi jadi alat transformasi sosial. Pendidikan telah menjadi komoditas yang menguntungkan demi kepentingan ideologi, penguasa dan pihak-pihak tertentu.

Dalam dunia pendidikan, komodifikasi adalah hal yang tidak dapat dielakkan sepenuhnya. Sekolah atau institusi pendidikan dianggap sebagai tempat menjual jasa dan murid sebagai konsumen utamanya. Maka, tak heran jika ada komersialisasi buku pelajaran dan proyek pengadaan sarana-prasarana yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh sebuah lembaga pendidikan.

Prospek bisnis pendidikan

Pendidikan di Indonesia sedang mengalami distorsi, baik dari segi proses, mutu, maupun pencapaian kualitas. Dari segi proses, pelaksanaan pendidikan tidak relevan dengan evaluasi kemajuan yang dicapai. Dari segi mutu, terjadi kelemahan perencanaan pendidikan dan kesenjangan lulusan dengan kebutuhan masyarakat. Sementara dari segi kualitas, terjadi distorsi karena kurangnya analisis menyeluruh dalam menerapkan sebuah kebijakan pendidikan.

Kasus proyek buku sekolah, misalnya, hanya bagian kecil dari potret buram wajah pendidikan kita. Jika kita perhatikan lebih mendalam, permasalahan pendidikan ternyata banyak dinodai kasus-kasus lain, seperti korupsi pengadaan barang, jual-beli ijazah, dan penyelewengan dana bantuan operasional sekolah.

Dari segi material, perubahan kurikulum yang sering terjadi juga melemahkan fondasi pendidikan. Banyak orang jadi bingung dengan kebijakan kurikulum Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, tercatat 11 kali perubahan kurikulum: Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran 1947); Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai 1952); Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964); Kurikulum 1968; Kurikulum 1975; Kurikulum 1984; Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999; Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi); 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan); dan yang terakhir Kurikulum 2013 (K-13).

Namun, ada kalanya dinas pendidikan di Indonesia hanya perpanjangan tangan pemerintah dalam menerapkan doktrin-doktrin tertentu untuk melanggengkan kepentingan beberapa pihak. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan politik petinggi negara. Pencampuradukan antara kepentingan dan kebijakan tarik-menarik sehingga mengakibatkan ketakjelasan arah, visi dan misi pendidikan.

Di era Orde Baru, misalnya, pendidikan didominasi oleh doktrin pengajaran Pancasila dan penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk membungkam publik terhadap kepentingan politik yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hasilnya, murid hanya menghafal pasal-pasal dan UU tanpa memahami substansinya.

Secara ekonomis, pendidikan jadi prospek bisnis basah banyak orang, mulai dari penyelenggara pendidikan di tingkat dinas sampai penerima proyek di ruang kelas. Di antara wujud nyata komodifikasi di dunia pendidikan saat ini adalah komersialisasi buku pelajaran, alat tulis, seragam sekolah, dan sebagainya. Dengan rata-rata 37 juta siswa setiap tahun yang masuk sekolah dari SD hingga SMA/SMK, ini adalah peluang pasar bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk memproduksi barang-barang yang dibutuhkan konsumennya.

Contoh lain adalah pembukaan program studi (prodi) baru di perguruan tinggi. Dengan adanya tuntutan pasar, institusi pendidikan berlomba-lomba membuka jurusan baru yang laku di pasaran. Akibatnya, sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) semakin tinggi karena dianggap program bergengsi dan favorit. Lulusan produk pendidikan seperti ini biasanya hanya berorientasi mendapatkan pekerjaan berpenghasilan tinggi dan punya kepekaan sosial yang rendah. Efek jangka panjangnya adalah pengembangan ilmu pengetahuan disesuaikan dengan kebutuhan pemilik modal (kapitalis) dan meninggalkan tradisi keilmuan yang sebenarnya, yaitu mencari kebenaran.

Internalisasi nilai-nilai

Secara garis besar, pendidikan adalah investasi sumber daya insani dan berada di garis paling depan dalam upaya memajukan sebuah bangsa. Proses pendidikan mencakup semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, dan sebagainya. Oleh karena itu, penanganannya harus mempertimbangkan seluruh aspek tersebut supaya tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang kreatif serta bertanggung jawab.”

Pendidikan seharusnya menempati posisi strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Soekarno (1963) dalam tulisannya ”Menjadi Guru di Kala Kebangunan” berkata, ”Sebuah bangsa hanya dapat mengajarkan apa yang terkandung di dalam jiwanya sendiri. Bangsa budak belian akan mendidik mental anaknya ke dalam roh penghambaan dan penjilatan. Bangsa orang merdeka akan mengajarkan anak- anaknya menjadi orang-orang merdeka.”

Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara juga menyebutkan pendidikan adalah upaya memajukan budi pekerti (karakter), pikiran (intelek), dan jasmani selaras dengan alam dan sekitarnya. Jadi, hasil akhir yang diharapkan dari pendidikan adalah menjadi manusia yang berkarakter dan berguna.

Oleh karena itu, aktor-aktor pendidikan harus menyadari peran dan identitas masing-masing. Pemerintah, misalnya, bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan yang hakiki sehingga bisa mengatasi krisis dan problematika bangsa. Caranya adalah dengan melepaskan intervensi kepentingan yang berbau ekonomis dan politis. Pemerintah bersama dengan masyarakat juga harus senantiasa mengawasi proses pendidikan supaya penyelewengan-penyelewengan dana tidak terjadi lagi.

Selanjutnya, seorang pendidik bertanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya dalam membimbing peserta didik dan mengubah pola pikir mereka ke arah yang lebih baik. Pendidikan karakter dan anti konsumerisme harus ditekankan sejak dini. Sementara murid bertanggung jawab melaksanakan tugasnya sebagai penerus estafet bangsa dengan belajar sungguh-sungguh. Belajar bukan sekadar untuk memperoleh nilai dan ijazah, melainkan untuk memperoleh kompetensi intelektual yang tinggi sehingga dapat melakukan pengabdian kepada masyarakat.

Apabila aktor-aktor pendidikan utama itu mau melaksanakan praktik-praktik sosial yang baru dengan mengesampingkan pendidikan sebagai komoditas yang menguntungkan, kebiasaan buruk yang telah lama kita praktikkan sedikit demi sedikit akan terkikis dan dapat melahirkan harapan baru dalam dunia pendidikan kita.

Akhirnya, pendidikan harus mencakup aspek-aspek akademis, jasmaniah, mental, dan moralitas. Ilmu pengetahuan akademis dan jasmaniah yang diajarkan tidak mencukupi tanpa adanya pembentukan sikap (mental), dan ketiganya tidak lengkap tanpa adanya nilai-nilai agama sehingga melahirkan manusia berakhlak mulia. Nilai-nilai positif inilah yang ada dalam masyarakat Indonesia dan dapat kita manfaatkan untuk kepentingan bersama. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar