Jumat, 10 Februari 2017

Lecutan untuk Profesor

Tanggapan atas Opini Bagong Suyanto soal Penghentian Tunjangan Guru Besar
Lecutan untuk Profesor
Budi Santosa ;  Guru Besar Teknik Industri dan Anggota Senat Akademik ITS
                                                   JAWA POS, 09 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rencana penghentian tunjangan bagi profesor maupun dosen dengan jabatan lektor kepala seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor telah mendatangkan diskusi yang ramai di kalangan akademisi. Di beberapa universitas bahkan para dosen sangat khawatir dengan permen itu.

”Ancaman” tersebut menurut pendapat saya wajar sekali. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah dana yang besar untuk tunjangan profesor dan dosen lektor kepala tanpa diimbangi output yang menggembirakan. Peringkat publikasi kita di level internasional juga masih jauh dari negara-negara tetangga. Dalam tulisan ini saya menyampaikan tanggapan yang berbeda dengan apa yang disampaikan Bagong Suyanto: Penghentian Tunjangan Guru Besar (Jawa Pos, 8/2).

Banyak dosen yang ingin menjadi profesor. Selain karena ingin mencapai puncak karir sebagai dosen dan beberapa ingin mendapatkan gelar sebagai pemegang otoritas keilmuan, faktor tunjangan menjadi pemicu yang tidak kalah penting. Tunjangan yang besar untuk para profesor bahkan telah membuat beberapa kasus pelanggaran etika akademis. Di Ditjen Dikti ditemukan kasus pemalsuan jurnal ilmiah dengan cara yang canggih oleh beberapa dosen pengusul jabatan profesor. Itu yang membuat Dikti semakin memperketat persyaratan menjadi profesor. Betapa menariknya menjadi profesor.

Sudah sewajarnya setiap reward dibarengi tanggung jawab. Selama ini profesor kita dan para dosen lektor kepala hampir tidak melakukan tanggung jawab akademis setelah menerima tunjangan yang cukup memadai. Bahkan, tidak ada perubahan kinerja setelah adanya tunjangan tersebut. Itu yang membuat pemerintah perlu mengambil tindakan. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri kecewa atas capaian publikasi kita yang jauh di bawah negara tetangga Malaysia, apalagi Singapura.

Situs yang mengolah data pemeringkatan publikasi ilmiah, SCImago Lab (www.scimagojr.com), melaporkan jumlah publikasi ilmiah dari 1996–2015 berdasar data dari pusat data Scopus. Situs tersebut memeringkat hasil publikasi 239 negara. Dari situs SCImago diketahui, Indonesia berada di urutan ke-57 dari sebelumnya 61 pada 2013. Sedangkan jumlah jumlah publikasi sebanyak 39.719 dari 25.481 pada 2013. Memang telah terjadi peningkatan. Namun, Indonesia masih kalah jauh dengan negara tetangga ASEAN. Singapura, Malaysia, dan Thailand berada di ranking ke-32, 35, dan 43 dengan masing-masing jumlah publikasi 215.553, 181.251, dan 123.410. Bisa dibayangkan jika angka tersebut dihitung per kapita dengan membaginya dengan jumlah penduduk, maka posisi kita akan makin terperosok.

Dari data di atas, sudah pantas jika pemerintah menerapkan aturan yang lebih bisa melecut para dosen untuk dapat berprestasi lebih baik dalam hal publikasi. Belum lagi jika kita membicarakan jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membayarnya. Pemerintah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 1,48 triliun untuk memberikan tunjangan kepada 5.097 profesor dan 31.010 lektor kepala (Bagong Suyanto, Jawa Pos, 8/2) selama satu tahun jika diasumsikan tunjangan profesor dan lektor kepala masing-masing Rp 6 juta dan Rp 3 juta. Angka yang cukup besar untuk menuntut tambahan capaian kinerja para dosen.

Selama ini pemerintah juga sudah menyediakan dana penelitian yang memadai. Untuk sebuah penelitian level profesor, bisa mulai Rp 100 juta hingga Rp 1 miliar. Skema penelitian lewat Dikti jika masuk kategori unggulan bisa didanai hingga Rp 1 miliar. Jika mau membuat karya penelitian yang lebih bagus, bisa mengajukan dana penelitian ke Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) hingga Rp 2 miliar. Jumlah yang sangat memadai untuk menghasilkan publikasi bermutu. Tidak ada alasan keterbatasan dana untuk melakukan publikasi yang baik. Untuk bidang-bidang ilmu soft yang tidak butuh eksperimen laboratorium atau studi lapangan, bermodal komputer dan software, dana Rp 100 juta sudah cukup untuk menghasilkan publikasi bermutu.

Bukan itu saja, universitas biasanya juga masih menyediakan dana insentif untuk setiap publikasi yang dihasilkan dosennya di luar dana penelitian. Jumlahnya cukup untuk mengganti biaya publikasi. Selain itu, Kemenristekdikti menyediakan dana insentif yang lebih besar untuk publikasi tersebut. Bahkan, LPDP menyediakan insentif hingga Rp 100 juta untuk paper yang diterbitkan di jurnal berkualitas bagus. Insentif yang luar biasa bagi para dosen. Tidak ada alasan untuk tidak melakukan publikasi.

Memang tidak mudah melakukan publikasi di jurnal internasional yang bagus. Dibutuhkan kemampuan menulis dalam bahasa Inggris yang bagus, ditambah kesabaran dan ketekunan serta kemauan untuk menerima masukan penelaah dari bidang ilmu yang relevan. Prosesnya bisa sampai sembilan kali literasi mulai pengiriman manuskrip kali pertama hingga diterbitkan. Dari sisi waktu, untuk jurnal yang bagus, bisa 6 hingga 24 bulan. Proses panjang yang melelahkan sekaligus menantang.

Namun, hal itu sudah dilatih ketika para dosen menempuh pendidikan doktor. Apalagi jika doktor lulusan luar negeri, pasti mengalami pahit getirnya bagaimana membuat publikasi bermutu. Bukan pekerjaan mudah, tapi juga bukan hal yang tidak mungkin. Mereka yang terbiasa bekerja secara instan memang harus belajar banyak dari pekerjaan penerbitan paper di jurnal internasional berkualitas. Tapi, kalaupun itu tidak tercapai, profesor atau dosen lektor kepala bisa melakukan penulisan karya ilmiah berbentuk buku atau menciptakan produk atau metode yang bisa dipatenkan.

Dengan aturan baru tersebut, diharapkan publikasi bisa meningkat. Tuntutan yang wajar kepada para dosen yang memang harus bekerja untuk tridarma perguruan tinggi: mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Khusus untuk profesor, tidak benar kalau tugasnya hanya mengajar, membimbing, dan menguji mahasiswa. Profesor bahkan harus menyebarkan ide-ide dan pemikiran untuk memajukan masyarakat.

Dengan kombinasi antara semangat bersaing di level internasional, kewajiban menyebarkan ide dan pemikiran, serta sudah memadainya tunjangan dan tersedianya insentif publikasi, sudah seharusnya kita sambut tuntutan pemerintah sebagai lecutan untuk lebih giat melakukan publikasi. Tidak seharusnya setiap kebijakan pemerintah, yang tujuannya bagus, kita sikapi dengan mencari pembenaran atas sikap kita selama ini.

Dosen di negara lain pun mengemban tugas dan tanggung jawab yang sama. Permenristekdikti itu memang masih akan dibawa ke presiden dan wakil presiden untuk mendapat persetujuan pelaksanaannya. Namun, karena idenya dulu memang berasal dari Presiden Jokowi, sangat mungkin permenristekdikti tersebut dilaksanakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar