Jumat, 10 Februari 2017

Menanti Kewarasan

Menanti Kewarasan
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 09 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Semula membayangkan kegaduhan politik akhir-akhir ini akan berakhir pada hari-H pilkada serentak di 101 daerah, 15 Februari 2017. Pertarungan politik amat sengit semestinya berhenti seiring masuknya minggu tenang, akhir pekan ini. Minggu tenang adalah ritual pemilu atau pilkada menjelang hari-H. Masa tenang sangat penting karena saatnya menenangkan riak-riak politik yang bergolak sepanjang sebelum pilkada. Masa tenang saatnya menjernihkan pikiran yang mendidih selama kampanye. Masa tenang waktunya melemaskan otot-otot yang beradu sekaligus menurunkan intonasi suara yang teriak-teriak selama kampanye.

Namun, ritual itu sepertinya belum tentu terjadi. Hingga sepekan menjelang hari-H, suasana, terutama di Pilkada DKI Jakarta, masih relatif panas. Bahkan, para politikus tua pun turun gunung jelang putaran terakhir pilkada. Prabowo Subianto menjadi juru kampanye pada kampanye pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pinang Ranti, Jakarta Timur, Selasa (31/1), dan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Minggu (5/2).

Megawati Soekarnoputri berkampanye di Konser Gue 2 pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat di Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (4/2). Hari itu, Susilo Bambang Yudhoyono juga ikut di kampanye pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni di Ciracas, Jakarta Timur.

Sewaktu tiga pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur DKI Jakarta muncul pada September 2016, saya menulis sesungguhnya adalah pertarungan politikus tua: Yudhoyono, Megawati, dan Prabowo (Kompas, 24/9/2016). Nah, jika para pendekar tua itu turun gunung, ada apa gerangan?

Ternyata, Pilkada DKI Jakarta adalah pertarungan sekaligus pertaruhan. Jakarta memang barometer, pusat kekuasaan sekaligus panggung nasional. Artinya, Jakarta memberi jalan untuk menggapai titik puncak politik nasional, seperti halnya langkah Joko Widodo. Tak heran, DKI Jakarta menjadi kunci. Maka, pertarungan di Pilkada DKI Jakarta begitu sengitnya. Akankah masa tenang benar-benar tenang?

Meskipun pilkada digelar serentak di 101 daerah, hanya di DKI Jakarta yang tensi politiknya sangat panas. Publik sangat paham kerasnya rivalitas di Pilkada DKI Jakarta. Terlebih ikut berkelindan dengan isu agama dan etnik. Kasus Basuki yang kini menjadi terdakwa penodaan agama pun sampai menimbulkan reaksi keras dan gerakan massa yang masif.

Namun, Indonesia bukanlah cuma Jakarta. Jakarta memang pusat kekuasaan, tetapi bagian kecil saja dari negara ini. Karena itu, kegaduhan di Jakarta jangan digeneralisasi sebagai representasi Indonesia, apalagi sampai memengaruhi kegaduhan di daerah lain. Di Sulawesi Barat, misalnya, salah satu provinsi yang pekan depan juga menggelar pilkada, rivalitas dan pertarungan ada, tetapi murni dalam koridor politik. Tak ada sentimen primordial, apalagi sampai memecah publik. Di Polewali, kota teramai di Sulbar, pertarungan tetap berada dalam ring politik. Sebaliknya, di Jakarta melebar ke mana-mana.

Inilah saatnya kewarasan berdemokrasi ditunggu kehadirannya. Apalagi, para politikus tua merupakan tokoh berpengalaman dan sekaliber tokoh bangsa, saatnya memberi contoh berdemokrasi yang sehat. Sebab, tujuan dasar demokrasi, seperti deklarasi antarparlemen di Kairo, 1997, adalah melestarikan hak-hak dan martabat manusia untuk mencapai keadilan sosial, mendorong perkembangan ekonomi dan sosial, serta memperkuat kohesi masyarakat dan meningkatkan ketenangan nasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar