Selasa, 28 Februari 2017

Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak

Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak
Saurip Kadi  ;    Mantan Aster KSAD
                                           MEDIA INDONESIA, 24 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KINI DPR sedang menggodok UU Penyelenggaraan Pemilu. Dari gelagatnya, ketentuan presidensial threshold akan dipaksakan dalam UU tersebut. Memang aneh dan lucu, bila hasil Pemilu periode 5 tahun sebelumnya, dijadikan dasar untuk menghitung ambang batas sebuah partai atau gabungan partai dalam mencalonkan pasangan capres/Wapres. Pasalnya, bukan hanya karena masa bakti keanggotan mereka di DPR telah selesai, tapi jangan-jangan para pembentuk UU itu sendiri tidak memahami apa itu threshold dalam pemilu?

Lalu, apabila tujuan menerapkan threshold itu untuk memfilter agar calon pasangan capres/wapres yang ikut pemilu bisa dibatasi jumlahnya, tentu cara yang digunakan tidak boleh keluar dari logika politik dan aliran hukum yang sudah diamanatkan dalam pasal-pasal UUD. Sebab, prinsip dasar dalam demokrasi hak primer warga negara yaitu hak yang langsung diatur dalam konstitusi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) tentang Kedaulatan di Tangan Rakyat, Pasal 6. A. ayat (1) tentang Pemilihan Presiden Secara Langsung oleh Rakyat, Pasal 27 ayat (1) tentang Kesamaan Hak di Depan Hukum dan Pemerintahan, dan Pasal 28C ayat (2) Tentang Hak Asasi untuk Memajukan Dirinya dalam Memperjuangkan haknya secara Kolektif, mutlak tidak boleh direduksi, dijegal, diganjal, dan apalagi dinihilkan atau dianulir UU pelaksananya.

Ambang batas dalam pemilu

Dari sejarahnya, ambang batas atau threshold awalnya hanya dikenal pada sistem parlementer, yaitu syarat minimal jumlah perolehan kursi bagi sebuah partai untuk bisa duduk di DPR. Dalam pemilu pada sistem parlementer, rakyat mencoblos tanda gambar partai. Artinya, yang dipercaya rakyat ialah partai. Sehingga anggota DPR adalah wakil partai. Karena kepentingan politik partai disalurkan melalui alat kelengkapan DPR seperti komisi, fraksi, anggaran, dan lain-lainnya, partai harus mempunyai wakil tetap pada setiap badan alat kelengkapan DPR yang dimaksud.

Dengan menghitung berapa jumlah minimal anggota DPR yang harus duduk mewakili partai pada semua alat kelengkapan DPR, akan ketemu norma ambang batas bagi sebuah partai untuk bisa duduk di DPR (parlementary threshold). Dalam sistem parlementer, kabinet dibentuk partai pemenang terbesar dalam pemilu. Bila jumlah perolehan kursi di DPR tidak mayoritas tunggal (50%+1), dalam membentuk kabinet, partai pemenang terbesar dalam pemilu berkoalisi dengan partai lain yang memiliki kesamaan ideologi.

Karena legitimasi pemerintahan datangnya dari DPR, setiap saat kabinet bisa jatuh yaitu ketika dukungan suara di DPR kurang dari 50%. Di sisi lain, karena anggota DPR adalah wakil partai, setiap saat pula anggota DPR bisa dicopot partai. Sebaliknya dalam sistem presidensial, dalam pemilu rakyat mencoblos tanda gambar orang (pasangan capres/caleg). Artinya, sumber legitimasi presiden dan anggota DPR datangnya sama-sama langsung dari rakyat.

Oleh karena itu, presiden dan juga anggota DPR sama-sama tidak bisa dijatuhkan/dicopot di tengah jalan, kecuali karena alasan pidana. Dengan logika politik yang demikian itu, baik dalam sistem parlementer maupun presidensial otomatis terbentuk kondisi check and balance dalam arti yang sesungguhnya. Di beberapa negara seperti Prancis dan Timor Leste, umpamanya, memang dikenal kedua norma threshold, baik parlementary threshold maupun presidensial threshold.

Hal ini terkait dengan pemisahan kedudukan kepala pemerintahan dan kepala negara. Yakni, kepala pemerintahan dipilih melalui pemilu model parlementer (rakyat coblos gambar partai), dan presiden dipilih melalui pemilu dengan model presidensial (rakyat coblos gambar capres).

Karena setiap saat kabinet bisa jatuh, kedudukan presiden perlu didukung kekuatan partai politik, sehingga saat terjadi krisis pemerintahan, presiden memiliki legitimasi yang cukup kuat di DPR. Di sanalah maka muncul konsep, presidensial threshold. Rakyat tidak boleh dijadikan kelinci percobaan. Kebiasaan buruk elite bangsa ini, ketika mencontek hanya sebagian, tanpa memahami filsafat dan kerangka kesisteman secara utuh, kemudian diberi cap ala Indonesia, dan ketika gagal yang disalahkan referensinya.

Hal itu haruslah segera disudahi. Sebab, risiko kegagalan sebuah konsep dalam tata kelola negara, berupa biaya politik yang terkadang disertai dengan jatuhnya korban, rakyat pula yang menanggungnya. Untuk itu, dalam membahas perundang-undangan, semestinya logika politik, kaidah, dan norma yang sudah berlaku secara universal tidak boleh dicampakkan begitu saja. Hasil akhir pembahasan RUU tersebut haruslah bisa diuji secara keilmuan yang kebenarannya telah terbukti dalam praktik di banyak negara. Begitu pula dari aliran hukum mendasarinya, mutlak tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan dengan amanat konstitusi.

Dengan demikian perundang-undangan yang dibuat tidak melahirkan kekacauan rule of the law dan juga rule of engagement seperti yang banyak terjadi dalam UU Kepartaian, Pemilu, dan MD-3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang ada saat ini. Sehingga timbul potensi saling menjegal, mengganjal, mengeliminasi, dan bahkan peran antarlembaga saling bertabrakan satu dengan lainnya, sebagaimana terjadi dalam beberapa contoh di bawah ini. Pertama, bagaimana mungkin akan terwujud check and balance, kalau dalam pemilu langsung tapi anggota DPR bisa dicopot parpol?

Kedua, bagaimana mungkin ada pembohongan publik, tapi sah karena UU seperti yang terjadi dalam 3 kali pileg yang lalu, yakni parpol dalam kampanye pemilu menjanjikan program, padahal program yang akan dilaksanakan pemerintahan merupakan program capres terpilih, sama sekali bukan program partai. Ketiga, rumus dari mana di negeri ini yang menyebut, stabilitas politik akan bisa tewujud kalau dalam pilpres langsung di DPR ada partai oposisi layaknya model perwakilan dalam sistem parlementer. Masih banyak lagi aturan main yang perlu disinkronisasikan antara UU yang satu dengan lainnya.

Filter jumlah kontestan dalam pilpres

Kewajiban bagi kita semua selaku stake holder atas Republik ini, untuk mengingatkan semua pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Agar, mengedepankan akal sehat dan hati nurani sebagai inti dasar ajaran pendiri Republik ini. Sebagaimana yang tercantum dalam sila keempat Pancasila, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Pemusyawaratan/Perwakilan".

Sepanjang para pembentuk UU mengedepankan akal sehat dan menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan partai dan golongan, niscaya tidak sulit untuk memahami bahwa norma presidensial threshold tidak patut untuk diterapkan dalam penyelenggaraan pemilu serentak. Adapun upaya untuk memfilter agar pasangan capres/wapres yang ikut pemilu tidak terlalu banyak, bisa ditempuh dengan cara memperketat persyaratan bagi parpol untuk bisa mengikuti pemilu.

Sedemikian rupa agar jumlah kontestan Pilpres 2 atau maksimal 3 pasang capres/cawapres saja. Pengetatan persyaratan yang dimaksud sama sekali tidak bertentangan dengan amanat yang tertuang dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mana pun. Sehingga, tidak ada kerawanan sedikit pun untuk bisa 'digugurkan' MK bila ada pihak yang mengajukan judicial review. Semoga Tuhan YME memberi 'pepadang' kepada semua pihak yang kini terlibat dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar