Minggu, 19 Februari 2017

Suap, Zone Base, dan Otoritas Veteriner

Suap, Zone Base, dan Otoritas Veteriner
Khudori  ;    Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-Sekarang); Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
                                               KORAN SINDO, 17 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pengaturan pemasukan impor ternak dan produk turunannya, terutama daging sapi, kembali memakan korban. Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar diduga menerima suap terkait salah satu perkara yang ditanganinya: uji materi UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis diduga menerima suap dari importir daging Basuki Hariman. Menjadi menarik mempertanyakan mengapa Basuki coba menyuap Patrialis? Bukankah Basuki bukan pihak yang terkait dengan uji materi? Uji materi diajukan komunitas peternakan (peternak, pedagang daging, dokter hewan, konsumen, dan akademisi), 16 Oktober 2015.

Objek gugatan adalah Pasal 36 C ayat 1 dan 3, Pasal 36 D ayat 1, dan Pasal 36 E ayat 1. Pokok gugatan terkait pemasukan ternak ruminansia indukan, ternak dan/produk ternak ke NKRI bisa dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. Sidang terakhir digelar 12 Mei 2016. Lebih delapan bulan ”mengendap”, uji materi ini membuat geger publik lantaran ditengarai ada jual-beli pasal di balik suap kepada Patrialis.

Patut diduga, Basuki Hariman hendak menyuap Patrialis Akbar agar uji materi yang diajukan komunitas peternakan ditolak. Mengapa? Dengan pendekatan zona base, importir bisa mendatangkan ternak dan produk turunannya dari banyak negara. Dalam kasus sapi dan daging serta produk turunannya, impor tidak hanya bisa didatangkan dari negara-negara yang bebas penyakit mulut dan kuku seperti Australia, Selandia Baru, dan Italia, tapi juga bisa dari negaranegara yang belum bebas PMK, tapi memiliki zona bebas PMK seperti India.

Logikanya, karena sumber pemasukan berasal dari banyak negara, harga akan kompetitif. Importir berpeluang mendapatkan harga relatif lebih murah. Harga daging dan sapi impor dari negara yang bebas PMK lebih mahal dari negara yang masih endemik PMK. AS misalnya mengimpor daging sapi dari Australia dengan harga premium 30% lebih tinggi daripada daging sapi asal negara tertular. Dengan harga impor dari zona yang bebas PMK yang lebih murah, peluang importir menangguk untung cukup terbuka.

Bukankah harga daging sapi domestik masih tinggi? Secara tidak langsung, pemerintah juga diuntungkan. Dengan harga daging dan sapi impor yang relatif murah, ada peluang harga daging sapi di pasar domestik tertekan turun. Selain itu, dengan pasokan yang ajek dan pasti, kelangkaan daging bisa dipastikan tidak akan terjadi. Ditambah distribusi yang baik, pasokan yang kontinu akan memitigasi instabilitas harga. Ujung-ujungnya, inflasi yang salah satunya disumbang dari instabilitas harga daging bisa diredam. Dalam beberapa tahun terakhir daging jadi kontributor inflasi.

Masalahnya, ”banjir” sapi dan daging impor itu jadi pertaruhan nasib peternak domestik. Jika harga daging anjlok, apalagi bila sampai menyentuh di bawah harga pokok produksi, peternak bakal merugi. Insentif ekonomi beternak bakal menurun. Menurut kajian Tawaf dkk (2011), harga ternak berpengaruh nyata (38%) terhadap pengembangan skala usaha ternak. Saat ini porsi impor daging sapi masih 30% dari kebutuhan domestik. Jika peternak tak lagi menekuni usaha ternak, ketergantungan impor daging makin tinggi.

Bukankah selama ini mereka jadi tulang punggung penyediaan daging dan protein domestik? Bukankah selama ini peternak kecil itu telah memikul tanggung jawab sebagai penyedia pembibitan sapi -yang menurut UU Nomor 41/2014 seharusnya jadi tugas pemerintah? Bagi usaha ternak besar atau korporasi, kebijakan ini juga bersifat disinsentif. Mereka bakal mengalihkan ke bisnis daging impor dan meninggalkan usaha peternakan. Bisnis yang semula mampu meningkatkan nilai tambah bagi negeri ini lambat laun akan berubah menjadi bisnis yang tidak lagi memberikan nilai tambah yang berarti bagi pendapatan nasional.

Kondisi itu akan turut memberikan pengaruh kuat terhadap 120 sektor ekonomi lain yang terkait dengan peternakan sapi potong di negeri ini (Tawaf, 2016). Dampak lain adalah berkurangnya peluang kesempatan/ lapangankerja. Ujung-ujungnya, negeri ini masuk dalam perangkap impor pangan (food trap), terutama daging. Patut disadari, sampai sekarang pemerintah belum bisa memastikan kesiapan Indonesia menghadapi kemungkinan berjangkitnya penyakit hewan menular utama, terutama PMK.

Pendekatan country base akan menjadi perisai ketidaksiapan itu. Salah satu yang krusial adalah belum ada peraturan pemerintah (PP) tentang kesehatan hewan nasional dan otoritas veteriner. PP ini jadi penangkal jika terjadi outbreak penyakit hewan menular utama. Dengan PP itu, negara akan punya dana tanggap darurat. Jika ada outbreak dan menjangkiti ribuan hewan ternak, kemudian ternak itu harus dimusnahkan, akan ada dana ganti rugi. Anggaran ganti rugi itu saat ini belum ada. Kasus PMK di Inggris pada 2001 penting jadi pelajaran.

Hanya dalam 14 hari, jumlah ternak yang dimusnahkan 4,22 juta ekor (meliputi domba, sapi, babi, kambing, rusa, dan ternak lainnya). Kasus ini menurunkan pendapatan usaha ternak hingga 71%, hotel dan restoran 52%, pertanian 58%, perdagangan (pedagang besar dan ritel) 47%, industri manufaktur 42%, transportasi 42%, jasa dan pelayanan 55%, bisnis finansial 23%, dan konstruksi 49% (Tawaf, 2016).

Outbreak di Inggris memangkas pendapatan peternak Rp1 triliun/bulan, ekspor produk peternakan menurun Rp9,45 triliun/tahun, dan menurunkan pendapatan sektor pariwisata Rp82,5 triliun/tahun (Hutabarat, 2002). Dengan PP kesehatan hewan dan otoritas veteriner nanti akan ada otoritas veteriner khusus yang mumpuni dalam menentukan laik-tidak hewan ternak atau produk turunannya yang akan masuk ke Indonesia. Mereka inilah yang memiliki otoritas dan menentukan pelbagai kebijakan terkait ternak dan kesehatan hewan.

Otoritas bukan di penguasa seperti saat ini. Otoritas veteriner yang powerfull akan memastikan negeri ini terbebas dari ancaman terjangkit aneka penyakit hewan menular utama, terutama PMK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar