Kamis, 16 Februari 2017

Yang Kearab-araban, Yang Keeropa-eropaan

Yang Kearab-araban, Yang Keeropa-eropaan
Iqbal Aji Daryono  ;   Praktisi Media Sosial; Penulis; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
                                                 DETIKNEWS, 14 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"Haji Iqbal, hurry up! Why are you late, my brother?"

Sambil menyetir forklift untuk mengangkati palet-palet berisi barang-barang kiriman, lelaki berkulit legam itu menyapa saya. Ia buruh di gudang perusahaan jasa pengiriman tempat kami bekerja.

Namanya Abdy, Abdurrahman Masoud lengkapnya, asalnya dari Jibouti, Afrika. Awalnya Abdy tak tahu saya muslim. Begitu tahu, dia langsung tampak lebih ramah, dan mengubah caranya memanggil saya. Soal "Haji Iqbal", tentu ia cuma bercanda. Tapi Abdy tak lagi memanggil saya dengan "mate" sebagaimana lazimnya cara Australia, bukan juga dengan "Iqy" sesuai panggilan buat saya dari teman-teman lain di gudang. Dia sekarang memanggil saya dengan "my brother".

Sebelum kenal Abdy, saya pernah berjumpa dengan banyak muslim dari berbagai negara. Saya ingat-ingat, ternyata kebanyakan mereka saling menyapa dengan panggilan "brother". Begitu pula para khatib di Universitas Western Australia tempat saya rutin jumatan sekarang, dalam khotbah mereka pun selalu muncul sebutan bagi jamaah: "Brother and sister in Islam..."

Pada waktu lain, dalam sebuah penerbangan, saya duduk bersebelahan dengan seorang lelaki Arab Saudi. Ketika kami bicara bahasa Inggris, dan dia tahu bahwa saya muslim, segera kalimat-kalimatnya berlimpah dengan ucapan "masya Allah". Anehnya, dia menyebut saya dengan "you" saja. Misalnya saat bertanya, "So which part of Indonesia do you live?"

Aneh, kan? Iya, lah. Ini memang aneh. Kenapa dia tidak memakai "antum" untuk kata ganti orang kedua? Kenapa cuma "you"? Bukannya kami sesama muslim? Juga Abdy dan teman-teman muslim yang lain, kenapa mereka memanggil saya dengan "brother" dan bukan "akhi"? Padahal di Indonesia, oleh sesama muslim Indonesia, berkali-kali saya malah dipanggil dengan antum dan akhi. "Antum sekarang tinggal di mana, Akh Iqbal? Keluarga sehat-sehat?"

Dari situ lantas muncul dua biji tanda tanya di kepala saya. Benarkah umat Islam Indonesia lebih Islam dibanding muslim di negara-negara lain? Atau... umat Islam Indonesia lebih Arab dibanding orang Arab sekalipun?

Debat kusir tentang kaitan Arab dan Islam ini masih sering muncul di mana-mana. Banyak muslim merasa lebih afdhol memakai apa-apa yang berbau Arab, mulai pakaian hingga ucapan, agar lebih kental keislamannya. Di sisi seberangnya, banyak orang tak sepakat jika Islam harus diartikan dengan apa-apa yang berbau Arab. Islam itu universal, universalitas Islam justru akan hilang jika di mana-mana muslim harus diarabkan, dan sebagai muslim Indonesia kita harus tampil dengan ciri budaya Indonesia. Begitu pendapat mereka.

Perdebatan semacam ini sering memanas, karena lantas lari ke mana-mana. Yang tidak suka dengan budaya Arab dibilang membenci kebiasaan Nabi Muhammad. Yang suka dengan yang Arab-Arab dibilang ingin mengarabkan Indonesia.

Problem identitas beginian semestinya disikapi dengan memahami dulu duduk perkaranya. Kalau kurang cermat, yang akan muncul adalah generalisasi, sikap gebyah uyah yang bikin segalanya kian rumit dan berakhir menjadi konflik.

Generalisasi tersebut banyak bentuknya. Yang cukup sering terjadi, ketika orang bicara tentang Arab, acapkali tak dibedakan dulu antara Arab sebagai entitas budaya, Arab sebagai entitas etnis, dan Arab sebagai entitas politik-administratif alias negara Arab Saudi.

Modus begini lazim terjadi, tak bedanya dengan sering cerobohnya kita dalam membedakan antara Yahudi sebagai etnis atau salah satu cabang dari kelompok ras Semit (Jews), Yahudi sebagai agama (Judaism), dan Yahudi sebagai orang yang memeluk agama Yahudi (Jewish). Atau yang belakangan lebih sering muncul di tengah kita adalah gagalnya orang membedakan antara China sebagai negara, dan China sebagai etnis. Akibatnya, sebagai contoh, perayaan Tahun Baru Imlek yang meriah oleh warga keturunan Tionghoa ikut tertuding sebagai tanda berkuasanya negara Tiongkok alias RRC atas Republik Indonesia hahaha.

Oke, kita kembali ke Arab. Kegagalan dalam membaca "Arab" dalam sebuah konteks wacana membuat sebagian orang tertentu meletakkan budaya Arab dan Kerajaan Arab Saudi dalam posisi yang sama dan saling menggantikan. Ini kacau. Mengecam Kerajaan Arab Saudi, misalnya, serta-merta dianggap sama dan sebangun dengan menghina budaya dan tradisi bangsa Arab. Lebih dahsyat lagi, kritik atas Kerajaan Saudi dicegat dengan slogan asal-asalan: "Hoi, kenapa membenci Arab?? Jangan lupa Nabi Muhammad adalah orang Arab!"

Padahal, kerajaan ya kerajaan, itu rezim politik. Kalau budaya ya budaya. Mau rezim politiknya runtuh, budayanya tak akan terpengaruh.

Harap diingat, Kerajaan Saudi baru berdiri pada tahun 1932. Itu satu milenium lebih tiga abad setelah wafatnya Nabi Muhammad. Lha trus apa urusannya Nabi dengan Dinasti Saud? Nabi memang lahir dan besar dalam tradisi Arab. Tapi jangan sampai kita menganggap bahwa Nabi Muhammad adalah warga negara pemegang paspor Arab Saudi hehehe.

Dengan pemahaman konteks semacam itu, semestinya Anda tak perlu sensi kalau saya mengatakan bahwa panggilan antum dan akhi, sebagaimana saya gambarkan pada pembuka tulisan ini, bukan merupakan cermin kuatnya ghiroh keislaman. Ia semata-mata ekspresi budaya yang kearab-araban.

Islam mengajarkan agar sesama muslim merasa bersaudara, dan memanggil dengan panggilan yang baik. Itulah nilai islami itu. Maka panggilan "brother" pun sangat islami, karena sesuai dengan spirit ajaran Nabi agar sesama muslim bersaudara. Adapun mengucap antum dan akhi saat bicara bahasa Indonesia, saya tak tahu itu islaminya di mana. Bahkan saya juga tak tahu itu budaya Arab atau bukan, lha wong orang Arab sendiri tidak melakukannya saat mereka bicara bahasa non-Arab.

Berangkat dari situ, muncul pertanyaan lanjutan: Apakah sebagai orang Indonesia artinya kita mesti bersikap menolak budaya Arab? Lalu menyebut mereka para pengucap antum dan akhi itu sebagai "laskar onta"? Eit, tunggu dulu dong. Jangan terburu bertepuk tangan dan mengambil kesimpulan.

Begini. Harus dipahami, Arab sebagai budaya tak lebih dari salah satu entitas kultural warga dunia. Jika kita mengejek dan merendahkan budaya Arab, maka kita sama saja dengan siapa pun yang menista budaya China, India, Sunda, Bali, Batak, atau budaya mana pun. Sementara, yang namanya budaya tuh bersifat dinamis, adaptif, lentur, bahkan cair. Ia bisa merembes ke mana-mana, tercampur dengan elemen lain, mengendap tanpa sadar, masuk menembus pori-pori sekat primordial. Maka, tidak ada di dunia ini budaya yang benar-benar murni.

Dilihat dari fakta sejarahnya, Nusantara pun dibentuk oleh ribuan entitas kultural, di mana budaya Arab merupakan salah satu kontributor pentingnya. Coba sekarang periksa saja, mulai kata pertama di tulisan ini, sampai di titik terakhir Anda membaca yaitu di... sini. Ada berapa kata bahasa Indonesia yang jelas merupakan serapan dari bahasa Arab? Ada banyak. (Coba diteliti sendiri, anggap saja itu PR dari saya.)

Lebih dari itu, ketika kita alergi kepada budaya Arab seolah kita ingin tampil murni berkarakter Nusantara, kita malah lupa bahwa diri kita sehari-hari sebenarnya adalah cerminan berkuasanya budaya Eropa. Kalau nggak percaya, cobalah berdiri di depan kaca, dan lihat baik-baik pakaian Anda semua. Anda pakai kemeja, kaos oblong, celana jins, atau setelan jas. Apa Anda yakin itu kostum asli Nusantara, yang dulu dipakai Hayam Wuruk Raja Majapahit dan Balaputradewa Raja Sriwijaya?

Memang, di zaman ini, memakai kostum "normal" semacam yang kita pakai sehari-hari seolah merupakan tuntutan zaman. Ia sekaligus menjadi syarat kemudahan dalam kehidupan sosial. Pada satu sisi memang benar bahwa itu normal, karena normal dan tak normal toh sebenarnya cuma perkara mayoritas dan minoritas. Ketika mayoritas orang di sekitar kita memakai pakaian demikian, maka kita jadi merasa normal saat mengikutinya.

Tapi begini. Kita kerap lupa menyadari, bahwa pakaian ala Eropa yang kita kenakan sekarang pun menjadi bagian dari normalitas sosial di Indonesia bukan tanpa sejarah panjang hegemoni budaya. Semua itu jadi lazim ya karena pembaratan alias westernisasi, sedangkan proses pembaratan berjalan karena kolonialisme.

Untuk memahami logika soal itu, paling enak jika kita pahami dulu produk budaya berupa bahasa. Sebuah bahasa menjadi bahasa dunia bukan karena bahasanya yang hebat, bukan pula karena populasi penuturnya yang banyak, melainkan karena bahasa tersebut digunakan oleh pemegang kuasa.

Bahasa Latin, contohnya, pada masanya pernah menjadi bahasa global. Padahal, penutur aslinya cuma sebagian kecil saja dari keseluruhan warga negara Kekaisaran Romawi, negara adikuasa pada zaman itu. Tapi bagaimana mau dilawan, wong administratur di Kekaisaran Romawi, tentara-tentaranya, dan belakangan juga Gereja Katolik Roma, semua memakai bahasa Latin, kok. Bahasa Latin pun berjaya. Karena apa? Karena penuturnya berkuasa.

Demikian pula bahasa Inggris. Jauhkan pikiran bahwa bahasa Inggris sudah dari sononya diturunkan Tuhan sebagai bahasa internasional. Enggak, lah. Bahasa Inggris menyebar dan mengglobal karena dibawa kolonial Inggris yang merajalela berkuasa di mana-mana, bersama kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi hasil Revolusi Industri. Usai berkuasa, mereka meninggalkan sistem pemerintahan, sistem peradilan, sistem pendidikan, yang kesemuanya dijalankan dengan bahasa Inggris.

Bahasa Inggris semakin jaya ketika Sekutu Inggris-Amerika keluar sebagai juara Perang Dunia II, dan lambat-laun disusul oleh keberhasilan supremasi ekonomi dan budaya Amerika Serikat. Walhasil, bahasa satu itu pun menguasai dunia lewat musik, film, buku-buku, media massa, dan sebagainya.

Seperti itulah. Jadi, ketika teman di sebelah Anda ngobrol sambil menyelipkan "which is" di sela-sela kalimatnya, atau ketika seorang politisi melumuri pidatonya dengan istilah-istilah bahasa Inggris sampai perut kita kekenyangan dibuatnya, atau ketika Anda merasa keren saat menulis status Facebook dengan bahasa Inggris alih-alih bahasa Indonesia, jangan dikira itu karena tujuan praktis semata. Itu adalah etalase paling luar dari kekalahan kita hahaha.

Apa yang terjadi dengan gaya berpakaian ala Eropa dan produk-produk budaya lainnya pun sebenarnya menjalani alur yang sama dengan proses mengglobalnya bahasa Inggris. Dalam konteks sejarah Indonesia, kita harus merunutnya terutama sejak Politik Etis diterapkan pemerintah Hindia-Belanda pada akhir abad ke-19. Berawal dari momentum itu, di belakang hari kita mewarisi sistem sekolah, lembaga peradilan, pencatatan sipil, administrasi negara, penanggalan, hingga kebiasaan sehari-hari seperti makan dengan alat-alat makan, termasuk kebiasaan dalam cara berpakaian. Semua itu adalah warisan kolonial Belanda, yang berjalan seiring dengan terus menguatnya kuasa Eropa di segala lini kehidupan kita.

Jadi, Anda masih berpikir untuk membentengi Indonesia dari budaya asing Arab dan menjadi penegak kemurnian Nusantara, sementara kita sendiri dengan bahagia merayakan warisan budaya Eropa? Aduh, tolong pikirkan sekali lagi.

"Lho, tapi orang-orang berjubah itu sukanya merasa paling suci, sukanya mengkafir-kafirkan orang!"

Sebentar, sebentar, tahan emosi dulu. Begini Mas, Mbak. Kalau memang ada orang menyakiti Anda dengan kata-kata mereka, itu yang salah mulutnya, apa bajunya?

Kita tidak suka jika manusia dinilai berdasarkan warna kulitnya. Kita tidak suka jika manusia dinilai berdasarkan etnisnya. Kita juga tidak suka jika manusia dinilai berdasarkan kain yang melekat di tubuhnya. Ketika kita memprotes ucapan orang yang menyatakan rok mini sebagai ciri amoral, semestinya kita juga tidak melihat jubah sebagai simbol arogansi, bukan?

Yang namanya arogansi bisa dilakukan siapa saja. Yang pakai jubah, yang pakai jas, yang pakai tank top, yang pakai bikini, bahkan yang nggak pakai baju sekalipun, semua bisa arogan. Dan arogansi manusia bukan cuma muncul dalam bentuk sikap sok paling suci, melainkan juga sok paling modern, sok paling pinter, sok paling rasional dan segala jenis sok sok yang lain.

Akhirulkalam, tidak perlu tegang-tegang memikirkan cara kita dan orang-orang di sekitar kita dalam berekspresi dengan produk-produk budaya. Pakai saja pakaian yang kita suka, yang pantas, yang keren, yang sesuai dengan selera atau keyakinan kita. Pakai juga kata-kata asing yang kita suka, sepanjang itu tidak membuat kita jadi alien karena gagal menjalankan komunikasi efektif yang semestinya.

Sembari itu, ingat selalu pesan para MC panggung dangdut dan campursari: "Sing penting ojo jotos-jotosaaan!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar