Rabu, 15 Maret 2017

Merekam Jejak Empati Siswa

Merekam Jejak Empati Siswa
Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                             MEDIA INDONESIA, 13 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TANTANGAN kehidupan sosial saat ini meningkat dengan kompleksitas yang tak terbayangkan sebelumnya. Tatanan masyarakat yang dulu guyub dan terjaga keramahannya kini berubah menjadi mudahnya orang terseret kemarahan karena perkara sepele.

Kebencian merajalela hingga ke batas akhir kehidupan seseorang, kematian. Bahkan kematian sekarang ini seakan tak bernilai karena setelah seseorang mati pun, tetap dibawa dan terbawa oleh kemarahan karena faktor kebencian dan kebodohan. Seakan tak ada lagi empati di hati masyarakat karena mereka melihat kehidupan ini dengan hitam putih tanpa pengetahuan yang memadai.

Mengapa kebencian merajai kehidupan kita saat ini?

Mengapa hanya karena pilkada seseorang bisa dinisbatkan sebagai kafir oleh tetangga sebelah rumahnya, bahkan oleh anaknya sendiri? Bagaimana dengan masa depan anak-anak kita jika mereka dibesarkan kebencian? Apa yang bisa kita persiapkan menghadapi pergeseran nilai-nilai sosial saat ini terhadap pertumbuhan rasa anak-anak kita?

Sederet pertanyaan itu bisa ditambah ratusan bahkan ribuan pertanyaan tentang hilangnya rasa kasih sayang sesama manusia di belahan bumi bernama Indonesia.

Empati dan kebaikan

Dalam lingkungan sosial yang sedang berubah seperti sekarang ini, keterampilan tentang empati dan kebaikan perlu segera diajarkan terus-menerus di lingkungan pendidikan kita karena empati dan kebaikan akan membantu kita membangun hubungan yang rasional dan autentik. Terutama dalam memahami setiap masalah yang muncul dari perspektif orang lain serta menciptakan solusi yang berarti.

Semakin cepat kita mengajarkan empati dan kebaikan kepada anak-anak kita, akan semakin cepat mengubah kesuraman masa depan dunia.
Sekolah harus menjadi titik tumpu permulaan dalam melatihkan empati dan kebaikan kepada anak-anak kita.

Sebagai sebuah keterampilan, empati dan kebaikan ialah perkara besar dan mendasar yang harus menjadi acuan proses belajar-mengajar di ruang-ruang kelas. Dengan menanamkan empati dan kebaikan ke dalam otak anak-anak kita, ketika dimanfaatkan, empati akan memainkan peran penting dalam inovasi, perubahan keputusan, dan memecahkan masalah secara sistemis.

Meskipun dalam teks-teks yang ada empati diartikan sebagai 'kemampuan untuk memahami apa yang orang lain rasakan', tapi ketika dimasukkan ke dalam praktik, empati memiliki arti jauh lebih banyak.
Empati dan kebaikan mampu memahami banyak sisi dari sebuah masalah yang kompleks saat ini dan kemampuan untuk berkolaborasi dengan orang lain dalam menyelesaikan sebuah masalah. Empati juga bisa berarti sebagai proses mendengarkan gagasan orang lain dan mengartikulasikan posisi diri sendiri. Serta empati juga dapat berarti kemampuan seseorang untuk memimpin sebuah tim pada satu hari, dan berpartisipasi sebagai anggota tim di hari berikutnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, empati dan kebaikan akan membawa kita pada kesadaran untuk berkontribusi menyelesaikan setiap masalah yang muncul tinimbang membiarkan masalah menjadi liar dan tanpa solusi.

Mengapa penting?

Pentingnya menumbuhkan kepekaan sosial siswa saat ini melalui empati dan kebaikan ialah imperatif. Kita banyak sekali melihat sebuah keberhasilan secara individual karena tekad dan ketekunan. Namun, jarang kita melihat ada keberanian dan kemauan seseorang untuk terus berbagi tentang pentingnya menjaga kohesi sosial. Anak-anak perlu dilatih dengan cara kerja yang lebih mengedepankan perasaan orang lain secara kolektif, serta melihat persoalan diri sendiri dari kacamata orang lain.

Dalam dunia yang sepenuhnya dikuasai persaingan global antarindividu dan golongan, empati dan kebaikan akan menjadi mata uang yang sangat berharga dalam dunia yang penuh dengan konektivitas dan perubahan.
Fenomena maraknya perilaku sosial menyimpang yang diikuti rendahnya kualitas moral individu sangat terlihat jelas akhir-akhir ini. Munculnya isu rasialisme, sektarianisme, dan diskriminasi yang mengelompok serta tak habis-hentinya budaya koruptif penyelenggara negara ialah pertanda rendahnya moralitas bangsa ini. Meskipun kita melihat ada begitu banyak peribadatan yang dilakukan kaum beragama, simpul-simpul kemunafikan jelas tak bisa dibohongi dengan banyaknya pemberitaan yang menunjukkan rusaknya moral masyarakat kita.

Sebagai pendidik, sering kali para mahasiswa dan orangtua bertanya kepada saya, mengapa bangsa ini sulit sekali untuk berubah kepada kemajuan secara ekonomi serta memiliki keadaban perilaku yang baik dan konsisten.

Jawaban saya selalu bermula dari analisis terhadap kondisi pendidikan di Tanah Air, dengan Indonesia hari ini ialah cerminan dari produk pendidikan 40 tahun terakhir. Sebagaimana diketahui, dalam 40 tahun terakhir pemerintah kita tak meyakini secara tulus bahwa pendidikan merupakan aspek paling penting yang harus dilakukan terlebih dahulu tinimbang pertumbuhan ekonomi.

Namun, karena persoalan ekonomi juga tak kalah penting, bahkan perkembangannya jauh lebih pesat dari sektor mana pun, akhirnya persoalan pendidikan tidak menjadi prioritas utama yang diperhatikan pertumbuhannya. Akibatnya ialah benar masyarakat tetap bisa makan dan tidak kelaparan, tetapi relung jiwa mereka kosong karena tak diisi proses pertumbuhan sistem pendidikan yang berorientasi pada moralitas. Bahkan sering kali pendidikan dijadikan komoditas politik dan ditarik-tarik ke ranah hukum, padahal sejatinya pendidikan ialah urusan moral semata. Pada titik ini, persoalan pentingnya menanamkan empati dan kebaikan dalam proses belajar-mengajar menjadi seperti sedikit terabaikan.

Di sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak berorientasi pada aspek daya saing, sebuah budaya untuk mengalahkan dan menyisihkan orang lain, sehingga menimbulkan banyak sekali labeling seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional. Serta atribut lain yang sungguh menyiksa perasaan siswa dan orangtua karena tingginya diskriminasi.

Karena itu, wajar jika orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire menganggap bahwa proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti ladang tempat para guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan siswa-siswi mereka dan meniadakan empati dan kebaikan pada diri siswa.
Padahal, menciptakan jejaring dan kolaborasi antarsekolah sangat dibutuhkan dalam rangka menciptakan partnership antara satu sekolah dan yang lainnya.

Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber belajar bersama (common learning resources center), misalnya, sebuah sekolah harus menawarkan diri kepada sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja sama dalam melakukan proses belajar-mengajar. Tujuan strategi itu memberikan ruang yang luas kepada sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari lingkungan sekitar, yang akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan.

Mari kita bersama-sama mengubah haluan, dari halusinasi pendidikan yang selalu mengejar keberhasilan dengan cara kompetisi menjadi kesadaran yang menghargai kolaborasi. Pendidikan kita membutuhkan kesadaran sekaligus kesediaan para guru dan orangtua untuk terlibat secara aktif dan bertanggung jawab terhadap masa depan pendidikan anak-anak kita secara benar dan bertanggung jawab.

Kesadaran dan kesediaan untuk bertahan dan percaya bahwa pendidikan ialah proses investasi berjangka panjang yang membutuhkan kerja sama, kesabaran, keuletan, dan kerja keras. Kata kunci dari semua itu ialah empati dan kebaikan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar