Rabu, 22 Maret 2017

Perang Melawan Pedofilia

Perang Melawan Pedofilia
Bagong Suyanto  ;   Dosen Masalah Sosial Anak di FISIP Universitas Airlangga
                                             MEDIA INDONESIA, 21 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ULAH para pedofil yang tega memangsa anak-anak belia untuk dijadikan objek nafsu bejat mereka sesungguhnya termasuk tindak kejahatan luar biasa yang harus dilawan siapa pun.

Perang total melawan pedofilia tidak hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, baik itu orangtua, sekolah, maupun organisasi kemasyarakatan.

Berbeda dengan pemerkosa yang biasanya tidak memilih usia korban, para pedofil secara khusus hanya mencari korban anak-anak bau kencur sebagai korban yang dapat memuaskan libido menyimpang mereka.

Pedofilia ialah suatu bentuk gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai beranjak dewasa--yang biasanya ditandai adanya kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber.

Anak-anak yang yang belum genap berusia 10 tahun justru merupakan sasaran empuk yang banyak diburu dan menjadi korban para pedofil.

Ancaman pedofilia

Di Indonesia, pedofilia ialah salah satu jenis tindak kejahatan seksual yang sangat mencemaskan.

Meskipun ancaman hukuman telah diperberat dan bahkan si pelaku diancam akan dikebiri, kita bisa melihat kasus-kasus pedofilia yang terjadi di masyarakat tidak juga surut.

Belum lama ini, aparat kepolisian bahkan berhasil membongkar komunitas para pedofil di Tanah Air yang telah berkembang memintal jaringan hingga mancanegara.

Bisa dibayangkan, jika dalam satu komunitas pedofil yang tergabung dalam satu grup Facebook bernama Official Loli Candy's Group saja anggotanya dilaporkan sudah mencapai 7.000 lebih, sangat mungkin jumlah pedofil yang gentayangan dan mengancam keselamatan anak-anak di sekitar kita jauh lebih besar daripada itu.

Para pedofil ini biasanya leluasa mencari dan menjalankan aksi bukan sekadar karena masyarakat, keluarga, dan orangtua kurang peka mengantisipasi ulah jahat para predator seksual itu, melainkan juga karena cara pandang masyarakat yang keliru dalam menyikapi perkembangan gaya hidup dan sensualitas anak-anak di era postmodern.

Banyak orangtua menganggap salah satu pemicu terjadinya kejahatan seksual terhadap anak-anak adalah karena penampilan seronok anak-anak.

Padahal, bagi para pedofil yang mengincar korban anak-anak di bawah umur, justru daya tarik paling kuat yang menyebabkan atau pemicu mereka melakukan tindak kejahatan seksual adalah keluguan (innocent) sosok korban.

Jadi berbeda dengan kehawatiran sebagian masyarakat yang menyatakan sensualitas anak dapat mengundang terjadinya tindak kejahatan seksual, bagi para pedofi, pola yang berlaku justru sebaliknya.

Makin lugu penampilan anak, makin menggebu hasrat mereka untuk memperdaya korban dan melakukan aksi kejahatan seksualnya.

Perkembangan industri pornografi

Dari segi medis, seseorang yang tumbuh menjadi pedofil yang memiliki kelainan orientasi seks dan lebih suka memerkosa anak-anak di bawah umur, dalam banyak kasus, merupakan efek dari kelainan kejiwaan dan juga karena sosialisasi lingkungan sosial yang keliru. Meski demikian, di luar faktor genetik dan sosialisasi lingkungan yang salah, era perkembangan masyarakat postmodern kita tidak bisa mengabaikan perkembangan industri pornografi yang belakangan ini makin masif.

Ketika seksualitas mengalami degradasi dan bahkan menjadi komoditas yang diperjualbelikan layaknya barang dagangan lain, kita tahu yang terjadi kemudian ialah munculnya pornografi dan industri pornografi.

Saat ini, boleh dikata tidak ada warga masyarakat yang tidak terkontaminasi oleh pornografi karena dalam kehidupan sehari-hari apa yang ditonton dan dikonsumsi masyarakat sepertinya tidak pernah steril dari pornografi.

Di masyarakat mana pun, produk-produk pornografi bisa ditemui dalam berbagai bentuk, gradasi skala, dan melayani konsumen yang berbeda-beda.

Pornografi sebagian dikemas dalam bentuk buku porno, gambar porno, film porno, sex toys, layanan seksual komersial atau prostitusi, dan berbagai produk industri pornografi yang bermacam-macam.

Skala dari berbagai produk pornografi yang ditawarkan ke masyarakat bermacam-macam dan melayani konsumen yang beragam pula.

Ada film porno yang dikemas dengan cerita drama yang menarik, tetapi ada pula film porno XXX yang vulgar, dan bahkan ada film porno yang khusus ditujukan untuk kelompok homo, lesbian, atau untuk kelompok masyarakat yang memiliki hasrat seksual yang aneh, semisal film porno sadomasokis atau video porno untuk para pedofil sendiri.

Dewasa ini industri pornografi berkembang luar biasa pesat karena strategi yang dikembangkan dalam memasarkan produk-produk pornografi tak ubahnya seperti produk komersial lain.

Pornografi makin meluas di masyarakat dan produk-produk industri pornografi makin laku di pasaran karena sering kali pornografi dikemas dan menjadi bagian dari budaya populer.

Produk-produk industri pornografi yang beredar di masyarakat tidak saja menawarkan unsur-unsur yang menghibur, menyenangkan, dan memenuhi fantasi konsumen, tetapi juga melahirkan kecanduan (adiktif) dan pemujaan.

Sama seperti film-film Hollywood, dalam industri pornografi di sana juga ada bintang pujaan atau ikon budaya yang populer, yang memiliki penggemar tersendiri, yang sering kali menjadi ilham bagi para pedofil untuk mengembangkan terus orientasi seksual mereka yang menyimpang.

Empati

Sebagai bentuk tindak kejahatan yang dipicu karena kelainan kejiwaan, dan pengaruh perkembangan industri pornografi, pedofilia merupakan ancaman yang berbahaya bagi keselamatan anak-anak karena akar masalah yang mesti diurai sangat kompleks.

Seperti ancaman narkotika, untuk menghadapi ancaman para pedofil, yang dibutuhkan ialah kerja sama dan dukungan seluruh elemen masyarakat agar siap bahu-membahu menabuh genderang perang melawan pedofilia.

UU Perlindungan Anak dan berbagai peraturan yang membatasi konten-konten pornografi yang diberlakukan di Tanah Air adalah payung hukum yang menjadi acuan bagi kita untuk bertindak.

Akan tetapi, lebih dari sekadar ancaman sanksi, yang dibutuhkan ialah bagaimana membangun konstruksi sosial bersama yang kuat untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kasus pedofilia di sekitar kita.

Membayangkan bahwa setiap anak yang ada di sekitar kita adalah anak-anak kita sendiri, niscaya akan menumbuhkan rasa empati dan kepedulian yang mendalam untuk selalu menjaga keselamatan anak-anak kita dari para predator seksual. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar