Rabu, 01 Maret 2017

Salah Kaprah Soal CSR

Salah Kaprah Soal CSR
Hasanudin Abdurakhman  ;    Cendekiawan;  Penulis; 
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                 DETIKNEWS, 27 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Penduduk kampung di dekat sebuah perusahaan atau kawasan industri kerap mendatangi perusahaan, untuk minta uang. Dana CSR, kata mereka. Perusahaan sebenarnya tak ingin memberi. Tapi kalau tak diberi, mereka akan melakukan kegiatan yang menghambat aktivitas perusahaan, misalnya menutup jalan. Atau, bahkan mereka bisa merusak aset perusahaan.

Tak hanya warga. Pemerintah desa dan kecamatan juga melakukan hal yang sama. Mereka minta uang kepada perusahaan, dengan dalih CSR. Uang itu kemudian dipakai untuk keperluan pribadi. Sederhananya, ini sebenarnya pungutan liar, sebuah bentuk korupsi.

CSR adalah kependekan dari corporate social responsibility, dalam bahasa Indonesia kita sebut tanggung jawab sosial perusahaan. Apa tanggung jawabnya? Secara ringkas, perusahaan punya tanggung jawab untuk membangun masyarakat, wilayah, dan negara, secara berkesinambungan melalui aktivitas bisnisnya. Pada saat yang sama, perusahaan juga punya tanggung jawab untuk mencegah dan menanggulangi dampak negatif dari berbagai aktivitas bisnisnya.

Tapi, apa hubungannya dengan sejumlah warga atau aparat yang minta uang tadi? Tidak ada. Pada kasus itu CSR telah diperkosa maknanya untuk membungkus perilaku bejat, yaitu pemerasan dan korupsi. Alih-alih menunaikan tanggung jawab sosial, ini adalah perilaku sosial yang sangat tidak bertanggung jawab.

Dalam kasus di atas, perusahaan adalah korban penyelewengan makna CSR. Tapi tidak jarang pula perusahaan menyelewengkan makna CSR itu. Perusahaan membuang limbah sembarangan, mengotori lingkungan. Untuk menutupinya, perusahaan menyumbang ke desa-desa yang mereka kotori. Warga desa tidak peduli lingkungan mereka rusak. Aparat pemerintah setempat juga tutup mata. Yang penting semua senang. Perusahaan menyebut kegiatan itu sebagai tanggung jawab sosial korporasi. Yang terjadi sebenarnya adalah kerusakan sosial oleh korporasi.

Mana yang lebih banyak dilakukan di Indonesia? Saya khawatir lebih banyak kerusakan sosial ketimbang tanggung jawab sosial.

Berdasarkan Piramida Caroll, ada 4 unsur dalam CSR, yaitu tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab hukum, tanggung jawab etis, dan tanggung jawab filantropis. Tanggung jawab ekonomi artinya perusahaan bertanggungjawab untuk menghasilkan barang dan atau jasa yang dibutuhkan masyarakat.

Perusahaan juga bertanggung jawab untuk memberikan kesempatan kerja yang adil, menyediakan penghasilan yang layak, memberi kesempatan untuk mengembangkan kualitas diri, serta menyediakan tempat dan sarana kerja yang aman. Kepada para investor perusahaan bertanggung jawab untuk menghasilkan laba. Ini adalah fondasi paling dasar pada piramida tadi. Tanpa hal ini perusahaan tidak wujud sebagai entitas ekonomi.

Di tingkat yang lebih tinggi, ada tanggung jawab hukum. Perusahaan wajib menyelenggarakan bisnis dengan mematuhi segenap hukum yang berlaku. Mulai dari perizinan, sah atau tidaknya lembaga perusahaan, proses pengadaan bahan baku melalui pembelian lokal dan impor, proses produksi, pengelolaan tenaga kerja, lingkungan, perpajakan, dan lain-lain. Lebih penting lagi, perusahaan tidak boleh melakukan tindak pidana korupsi, seperti penyuapan, uang pelicin (facilitation payment), dan gratifikasi.

Perusahaan juga tidak diperkenankan melakukan monopoli, melakukan persaingan tidak sehat, membunuh pesaing, atau bersekongkol dengan pebisnis sejenis untuk mengendalikan harga. Dalam hal perusahaan mutlinasional, ia terikat pada hukum di negara asal, negara tempat ia mempunyai cabang, juga hukum internasional.

Tanggung jawab etik adalah tanggung jawab perusahaan untuk menjaga etika dalam berbisnis. Hal-hal yang bersifat etis, tidak selalu dirumuskan dalam bentuk produk hukum. Jadi, bila sesuatu melanggar etika, meski tidak melanggar hukum, perusahaan bertanggung jawab untuk menghindarinya. Misalnya, sebuah perusahaan memakai suatu jenis bahan kima, yang berdasarkan hukum diizinkan untuk digunakan. Tapi perusahaan sebenarnya tahu bahwa bahan itu tidak baik untuk kesehatan penggunanya. Maka, meskipun sah secara hukum, secara etika perusahaan mesti menghindari penggunaan bahan tersebut.

Tanggung jawab tertinggi pada piramida tadi adalah tanggung jawab filantropis. Tanggung jawab ini menyangkut soal-soal 'mewah' seperti bagaimana menjaga kualitas hidup karyawan serta konsumen. Donasi untuk berbagai kegiatan sosial adalah bagian dari tanggung jawab ini.

Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa yang sering kita saksikan, atau yang dipahami orang sebagai aktivitas CSR kebanyakan adalah penyelewengan. Kita sering meloncat ke pucuk piramida CSR, dengan mengabaikan fondasi di bawahnya. Warga masyarakat, aparat pemerintah, dan perusahaan, bersekongkol melakukan penyelewengan terhadap makna CSR. Pemahaman kita harus dikoreksi. Ketiganya harus bersama menjaga, memastikan tanggung jawab sosial perusahaan terlaksana dengan benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar