Jumat, 17 Maret 2017

Supremasi Agama dan Produksi Ketakutan Politik

Supremasi Agama dan Produksi Ketakutan Politik
Silvian M Mongko  ;   Pengamat Politik
                                             MEDIA INDONESIA, 16 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

CARA beragama kita belakangan ini telah mengobrak-abrik rasa kebangsaan dan harmoni sosial sebagai bangsa. Itu terjadi karena tidak ada batas demarkasi yang jelas antara agama dan negara. Dua tendensi spekulasi berkembang di ranah publik. Agama secara berlebihan sedang mencampuri urusan politik, atau agama sedang dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan. Keduanya sama berbahaya untuk kedaulatan negara dan masa depan demokrasi kita. Alat kekuasaan

Pada titik yang amat memperihatinkan, perilaku keberagamaan telah mengacak-acak logika dan rasionalitas politik yang sudah diterima dan dihayati tanpa prasangka. Bahwasanya Indonesia itu merupakan kohesi sosial, politik, dan kultural yang dibangun atas pilar-pilar kemajemukan suku, agama, ras, antargolongan (SARA), bukan lagi fakta yang diperdebatkan, apalagi dinistakan atau disangkal begitu saja demi hasrat kekuasaan. Pada hemat saya, institusi agama berperan penting untuk menopang kesatuan politis, menanamkan kesadaran nation-state, dan membangun keadaban publik.

Tantangan bagi agama-agama, apalagi agama mayoritas, selalu terkait erat dengan peran agama untuk meletakkan dasar yang kukuh bagi kesadaran warga akan pentingnya komunitas politik, demi mengatur kehidupan bersama. Maka agama yang menciptakan ketakutan dan keresahan sosial tentu saja kontraproduktif dengan cita-cita kolektif negara kita yang berbasis filosofi Pancasila dan konstitusi yang berlaku.
Panorama politik nasional, terutama menyambut Pilkada DKI 2017, sedang mempertontonkan sebuah intervensi patologis agama yang meresahkan. Agama mengobok-obok tatanan politik.

Agama yang sedang menunjukkan identitasnya menuju puncak piramida kekuasaan justru menciptakan kekacauan politik dan mengancam kedaulatan. Dari sudut tafsir lain, perilaku agama demikian juga terjadi karena agama mayoritas sedang dimanfaatkan sebagai alat politik. Sebab, mayoritas selalu memendam potensi diktator. Jika dipakai untuk kepentingan kekuasaan, frame mayoritas dapat menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan. Jika mayoritas dipakai sebagai alat untuk melakukan pressure politik, akan memproduksi kecemasan yang pada gilirannya membatasi hak memilih warga. Patut disayangkan, sebab perilaku semacam itu entah itu supremasi agama mayoritas maupun agama yang diperalat sama-sama mengancam kohesi sosial dan menyulut api kebencian politik.

Parade gejolak ormas keagamaan sejak deretan demonstrasi hingga iklan-iklan kebencian politik beraroma agama belakangan ini, membuktikan bahwa agama mayoritas masih ditunggangi kepentingan politik jangka pendek. Agama dimanfaatkan untuk melayani hasrat kekuasaan kelompok yang ingin mendasarkan politik atas isu-isu sektarian-primordial. Pada titik lain, kondisi patologis keberagamaan ini sekaligus menegaskan suasana kritis perihal ketokohan atau figur-figur agama yang bisa memberikan sumbangan konstruktif bagi bangunan politik bangsa.

Patut disayangkan, ulah para kuli kekuasaan yang memakai pendekatan agama dalam berpolitik justru membusukkan citra agama tertentu. Tebaran spanduk provokatif bermuatan SARA hingga pelarangan menyolatkan orang meninggal lantaran mendukung pasangan calon nonmuslim di Pilkada DKI, tentu saja sebuah panorama politik yang menggambarkan tensi kebencian politik, serentak pula melemahnya kontrol politik di berbagai level kekuasaan.

Perilaku beragama semacam ini, selain menebarkan ketakutan juga mempertajam sentimen politik terbelah. Tak salah jika Editorial Media Indonesia (14/3) menyebut aktor-aktornya sebagai 'teroris politik' justru karena agama memecah belah persatuan dan memicu sentimen politik berbasis SARA. Ada semacam 'politisasi ketakutan' yang diproduksi agama demi melayani nafsu kekuasaan kelompok tertentu. Pada inti terdalam, tebaran kebencian yang marak terjadi merupakan penistaan sesungguhnya, karena merusak sekaligus citra agama dan mencoreng realitas kemajemukan berbangsa dan bernegara. Menyangkal pluralisme berarti pula menolak inti berdemokrasi.

Demokrasi tak bisa tidak berdiri di atas fondasi pluralisme. Pluralisme menunjukkan perbedaan alam pikiran keindonesiaan, cara pandang, pendekatan, dan aneka realitas politik bernegara. Hal-hal semacam itu memperkaya isi dan kualitas berdemokrasi. Hadiah multikulturalisme bangsa kita menjadi basis yang kuat untuk bangunan politik demokrasi yang mesti dijaga dan dirawat semua elemen bangsa. Realitas kemajemukan menjadi pintu masuk bagi demokrasi yang tumbuh dan berkembang di republik ini. Maka, celakalah mereka yang berusaha dengan segala cara menolaknya hanya demi pertimbangan pragmatisme politik kelompok.

Peran tokoh agama

Sebetulnya, kondisi semacam itu dapat diantisipasi jika kontrol sosial dan politik berjalan secara optimal, dan figur-figur agama juga tak mau dimanfaatkan dengan begitu gampang oleh mereka yang memelihara hasrat untuk berkuasa.

Kita mengharapkan suara tokoh-tokoh agama yang diperalat agar warga tidak terprovokasi dan penyebaran kebencian dapat diantisipasi. Bukan sebaliknya, kaum elite agama terlibat 'tenang-tenang mendayung' mengecap kekuasaan di tengah gemuruh ke-chaos-an. Agama yang sesungguhnya berperan penting menyiapkan kader-kader politik yang menghargai perbedaan sosial-kultural.

Pola asuh agama berperan dalam menanamkan nilai-nilai yang menunjang perwujudan politik beradab. Agama membentuk tatanan sosial-politik di dalamnya warga dan elite politik sanggup menghargai kemajemukan sosial, politik, dan kultural bangsa. Agama demikian turut menciptakan keadaban publik karena warganya menghargai prinsip-prinsip dan filosofi politik demokrasi. Masa depan keindonesiaan sangat ditentukan juga oleh kemampuan agama-agama untuk mendorong pemeluk masing-masing memiliki paham dan pandangan yang jernih tentang realitas multikulturalitas bangsa kita.

Agama-agama yang ada dan berkembang di Indonesia mesti mampu membangkitkan kesadaran pemeluk akan kekayaan budaya, suku, dan agama. Indonesia tidak dibangun atas suatu imajinasi yang sempit, tetapi suatu imajinasi yang melampaui setiap identitas primordial. Jelaslah, agama mempunyai peran politis sejauh elite agama mampu memengaruhi pemeluk masing-masing agar memiliki wawasan kebangsaan dan menghargai proses demokrasi sebagai sebuah mekanisme politik demi perwujudan kemanusiaan yang adil dan bermartabat. Agama mengajak pemeluk untuk memakai kesempatan memilih pemimpin secara rasional, yakni pemimpin yang menghagai pluralisme dan bisa diandalkan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir-batin.

Ajaran agama mesti mampu menjernihkan pandangan pemeluknya agar mempunyai visi emansipasi dalam perwujudan hak-hak politik warga. Agama sejati tidak bisa didefinisikan dengan menebarkan ketakutan publik, mengancam, dan menolak realitas perbedaan sosial-politik. Agama semacam itu hanya akan menjadi 'pembunuh berdarah dingin' paling sukses bagi demokrasi. Di pihak lain, jadilah warga negara yang tidak sekadar beragama, tapi memiliki kepekaan religius, yakni warga negara yang menghargai kekayaan ciptaan termasuk dalam hal perbedaan pilihan politik.

Perbedaan pilihan politik merupakan keniscayaan dalam demokrasi yang tak pernah dikutuki oleh agama 'rekayasa' manusia, apalagi oleh Tuhan, asal dan tujuan segala keadilan dan kebaikan. Di tengah tebaran ancaman politik berbau agama, marilah kita menjaga kemurnian rasionalitas politik. Rasionalitas publik dapat menjadi filter yang menentukan kualitas politik elektoral babak kedua Pilkada DKI 2017. Ia dapat menjadi kekuatan yang bisa diandalkan di tengah ancaman supremasi dan instrumentalisasi agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar