Selasa, 21 Maret 2017

Untuk Siapa Revisi UU KPK?

Untuk Siapa Revisi UU KPK?
Herie Purwanto  ;   Perwira Menengah Bareskrim Polri; Penyidik KPK
                                               SUARA MERDEKA, 18 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RENCANA revisi UU KPK kembali menjadi polemik. Berbagai wacana perubahan terhadap KPK dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah itu. Seperti soal penyadapan yang diperketat, dibentuknya dewan pengawas untuk KPK, dan soal SP3 (penghentian kasus). Sejak Februari lalu, DPR melalui Badan Keahlian DPR (BKD) mulai aktif ke kampus- kampus dengan ”misi” menyosialisasikan revisi tersebut dengan bahasa yang lebih halus, yaitu revisi UU KPK untuk memperkuat KPK.

Kembali mencuatnya wacana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap berkaitan dengan penanganan kasus korupsi dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (EKTP). Kasus itu kini telah masuk tahap persidangan.

Upaya revisi undang-undang dinilai cara legal untuk balik menyerang KPK. ”Dakwaan EKTP memang menyebutkan nama-nama pejabat publik yang diduga menerima aliran dana. Artinya, revisi UU KPK diduga keras merupakan upaya melemahkan KPK dalam penanganan perkara tersebut,” ujar Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Ester.

Febri Diansyah mengatakan, ada empat poin penting revisi UU KPK yang dapat berimplikasi langsung terhadap kewenangan KPK dalam melaksanakan tugasnya. Satu di antaranya yakni terkait penyadapan yang harus dilakukan berdasarkan persetujuan dari Dewan Pengawas. Terlebih Dewan Pengawas itu dibentuk oleh DPR. Lalu, penetapan tersangka harus diajukan di tingkat penyidikan. Hal ini dinilai dapat mengurangi jumlah operasi tangkap tangan (OTT). Pasalnya, OTT biasa dilakukan saat penyelidikan dan KPK harus mengambil sikap 1×24 jam atas OTTtersebut. ”Kami berharap tidak ada pihak yang berniat melemahkan KPK,” jelasnya, Senin (13/3) di Gedung KPK.

Menurut Febri, KPK tidak memerlukan adanya revisi tersebut. Dalam artian, UU No 30/2002 itu telah mencukupi. ”Revisi ini berpotensi melemahkan karena ada risiko yang besar. Substansinya dapat membahayakan kerja KPK ke depan,” tutupnya. Dalam paradigma tersebut, pertanyaan yang muncul adalah, untuk siapa revisi UU KPK? Tulisan ini lebih pada pendapat pribadi penulis yang saat ini ditugaskan oleh Bareskrim Mabes Polri sebagai penyidik KPK.

Akomodatif

Dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi, kewenangan yang diberikan negara kepada KPK sudah lebih dari cukup. Pada kondisi seperti sekarang, penulis sangat merasakan betapa bedanya kewenangan tersebut. Bahkan bila dianalogkan, kewenangan penyidikan korupsi oleh KPK ibarat mobil yang sudah dilengkapi dengan kapasitas silinder 2500 CC. Di bandingkan kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan maupun Kepolisian yang masih di bawah 2500 CC. Artinya, proses pemberantasan korupsi oleh KPK (tanpa mengabaikan peran dan fungsi pencegahan di dalamnya) yang menjadi core bisnis lembaga antirasuah tersebut, berada pada sistem yang untuk saat ini, belum membutuhkan perubahan regulasi. Kewenangan yang sekarang dimiliki KPK dan dipersepsikan sebagai superbody, menjadi ciri khas dan peneguhan amanat negara, bahwa memang sejatinya pembentukan KPK harus seperti itu. Konsep pembentuk undang-undang, sudah mengakomodasi dinamika yang akan dihadapi KPK.

Kewenangan seperti penyadapan, tata cara pemanggilan sebagai saksi atau tersangka para pejabat negara, ataupun penggunaan anggaran, menjadikan penyidikan korupsi oleh penyidik KPK seperti berjalan di ruas jalur tol. Bebas hambatan. Proses penyidikan yang independen, meskipun di bawah pengendalian kelima pimpinan KPK, dijamin bebas intervensi. Pimpinan yang bersifat kolektif kolegial, menutup peluang intervensi.

Setiap ekspose

perkara, baik level pimpinan maupun penyidik bisa langsung berinteraksi, berargumentasi dan saling menguatkan pendapat hukum satu dengan lainnya. Sehingga output dari ekspose atau gelar perkara adalah keputusan yang memenuhi unsur dan fakta yuridis. Proses ini, bisa meletakkan KPK pada level kepercayaan yang tinggi dari masyarakat dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Bahkan, beberapa negara seperti Malaysia dan Hongkong mengakui sepak terjang KPK yang kian menunjukkan integritasnya dalam pemberantasan korupsi.

Hambatan dalam proses penyidikan korupsi yang penulis alami saat sebelum bergabung di KPK, hampir tidak ditemui. Semua proses, dari awal adanya laporan adanya dugaan tindak pidana korupsi, proses penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan sudah berjalan on the track. Menumpuknya perkara di KPK, bukan karena adanya hambatan pada sisi teknis penyidikannya, namun lebih pada kuantitas penyidiknya yang memang terbatas, dibanding dengan kuantitas perkara yang harus ditangani. Jadi, apabila apa yang sudah ”pas” sekarang dirasakan oleh jajaran KPK untuk menjalankan kewenangan sebagai trigger mecanishm (menjadi stimulus) dalam pemberantasan korupsi, untuk apa harus membahas revisi UU KPK? Justru yang ada dan sangat memungkinkan terjadi adalah hasil yang kontraproduktif dari keadaan yang sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar