Minggu, 30 April 2017

PISA dan Daya Baca Bangsa

PISA dan Daya Baca Bangsa
Gufran A Ibrahim  ;  Ketua Pokja Literasi Membaca Menulis,
Gerakan Literasi Nasional, Kemdikbud
                                                        KOMPAS, 29 April 2017



                                                           
Akhir 2016, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)— yang melaksanakan penilaian tiga tahunan atas budaya literasi 72 negara melalui Program for International Students Assessment—melansir indeks budaya literasi siswa antarbangsa.  Indeks literasi sains dan matematika siswa Indonesia naik cukup bermakna masing-masing 21 dan 11 poin: 382 poin pada 2012 menjadi 403 tahun 2015, serta 375 tahun 2012 dan 386 pada 2015. Indeks literasi membaca hanya naik satu poin: 396 pada 2012 dan 397 pada 2015.

Bukan teks tunggal

Apa sebab penaikan indeks literasi membaca lamban ketimbang sains dan matematika; juga ketimbang kemajuan membaca siswa bangsa lain peserta uji Program for International Students Assessment (PISA)?

Pertama, teks bacaan dalam uji PISA adalah multiteks dan berbasis komputer. Sajiannya begitu canggih. Isi dan struktur teksnya dalam tampilan beragam genre wacana dengan memadukan kata, kalimat, grafik, peta, dan ragaan yang dibentuk dalam tautan lintas-teks dengan siasat rujuk silang (cross-reference).

Untuk menukik ke kedalaman makna multiteks seperti ini, sedikitnya dibutuhkan dua kecakapan penting: (1) terampil menangkap makna yang tersaji dalam paragraf; dan (2) kecepatan mengemas tautan makna antarteks, antarteks dengan grafik, antarteks dan simbol, serta relasi makna antargrafik. Yang pertama berkaitan keluasan dan kedalaman penguasaan kosa kata, yang kedua berkelindan dengan keterampilan menggerakkan pandangan dan kecekatan jari.

Dengan tetap menjaga ingatan tentang temuan makna anaforik dalam ke-”sedang”-an jelajah teks, siswa harus mempersiapkan prediksi atas kemungkinan makna kataforik yang akan dijumpai pada informasi dan teks tertaut. Artinya, pergerakan mata bukan pergerakan fisik semata, melainkan juga kekuatan ingatan pada bagian teks yang dilewati. Tentu saja, di atas dua kecakapan kinestetik ini, dipersyaratkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Kedua, jika hanya terbiasa berhadapan dengan teks tunggal di sekolah, yaitu teks hanya rangkaian paragraf, siswa kita akan kesulitan luar biasa menghadapi teks ragam genre dalam kemasan multimedia. Siswa yang hanya terbiasa membaca sebagai ”cara menyandikan kembali lambanglambang ortografi secara diam atau nyaring” akan ”kewalahan” menghadapi teks kompleks yang disodorkan uji PISA.

Apabila siswa kita tak menjadikan membaca sebagai aktivitas harian, di sekolah ataupun di rumah, kepayahan akan menghadang saat menghadapi rumitnya struktur fisik dan kedalaman makna multiteks dalam kemasan multimedia. Apalagi jika siswa membaca hanya kalau ada tugas sekolah. Belum lagi pembelajaran di kelas yang tidak mendorong strategi membaca yang variatif dan eksploratif serta inovasi model membaca yang mengenalkan keragaman genre teks.

Kalau benar siswa yang jadi sasaran uji PISA tak terbiasa mengenali dan membaca teks kompleks, maka gagal paham atas ”rimba” semantik multiteks sebenarnya bersumber dari persoalan yang sederhana tapi mendasar dalam belajar, yaitu ihwal ”kebiasaan” dan ”kebisaan”.

Kalau saja belajar didefinsikan secara sederhana sebagai aktivitas psikokognitif siswa ”membiasakan” tindakan pemerolehan pengetahuan-kecakapan-keterampilan, maka kepandaian dan kesuksesan menukik ke kedalaman teks-teks multigenre-multimedia dan menangkap spektrum maknanya hanya akan bisa dibentuk melalui ”pembiasaan” mengenali dan membaca teks-teks tersebut. Jika kelas di sekolah hanya bisa dan biasa membelajarkan membaca teks-teks tunggal dan sederhana yang nir-inovasi, siswa hanya akan bisa mencapai kepandaian setingkat itu: kemampuan baca paling dasar.

Ada tiga hal penting terkait daya baca, yaitu kemampuan menukik ke kedalaman teks, ketahanan menjaga fokus, dan pemeliharaan nalar untuk terus mengikuti bangun-struktur teks, terus mengenali keragaman tipologi dan kompleksitas teks. Tiga-tiganya memberi kontribusi pada efisiensi pemanfaatan waktu uji dan keberhasilan menukik ke kedalaman teks kemudian menangkap makna bacaan.

Kalau saja benar bahwa gagal paham atas multiteks karena soal ketaksabaran, ketidakcermatan, dan dangkalnya pengalaman membaca siswa, maka upaya pengecekan terhadap sebab-sebab ketumpulan (bu-)daya literasi membaca itu harus dikembalikan ke sekolah. Terkait ini, pertanyaan penting perlu diajukan. Seberapa sering siswa menyelesaikan tugas sekolah dengan membiasakan diri membaca? Seberapa luas pengalaman mereka mengenali ragam teks, teks sederhana hingga yang kompleks? Seberapa sering guru mendorong pembiasaan membaca. Lalu, bagaimana guru memberi model membaca, mengenalkan genre dan ”rimba” teks?

Ada dua cara penting untuk meningkatkan budaya literasi membaca. Tentu tak sekadar untuk kepentingan penilaian PISA, tetapi yang paling penting adalah memastikan pelaksanaan pelajaran membaca benar-benar dibangun untuk membentuk daya baca. Pertama, menemu-kenali sebab-sebab terdalam mengapa siswa kurang sabar dan kurang cermat saat berhadapan dengan teks yang panjang dan dalam uji PISA. Kedua, kita merumus- ulang paradigma pembelajaran membaca, tidak banyak melalui mata pelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris), tetapi menyusun model pembelajaran membaca bagi seluruh mata pelajaran.

Semua guru mata pelajaran di sekolah dilatih model dan strategi membaca melalui model pembelajaran andragogi, dengan tiga siasat penting: (1) pencanggihan cara membaca; (2) peragaman jenis-jenis teks, dari teks tertulis—berbasis kertas (paper base)—yang sederhana hingga teks kompleks; dan (3) pengenalan teks-teks multimedia berbasis komputer—nirkertas (paperless).

Bukan sekadar PISA

Dua langkah penting untuk memastikan daya baca siswa jadi lebih baik. Pertama, merancang gerakan satu semester satu novel sebagai langkah awal pentradisian membaca. Langkah membaca teks-teks naratif adalah tahap mula dari pembiasaan membaca. Kedua, penciptaan model membaca produktif melalui peragaman teks bacaan untuk beragam jenis teks dan pengenalan teks-teks bacaan yang multimedia, buku-buku elektronik, serta pembiasaan mengenali tipologi dan kompleksitas teks-teks di media daring.

Di atas segalanya, pembiasaan menjadi bangsa pembaca bukan hanya perkara menghitung nilai pencapaian setiap akhir belajar. Pembiasaan untuk keluar dari ketidaksabaran dan ketidakcermatan dalam membaca adalah proyek kebudayaan membaca; dan proyek kebudayaan membaca tidak bisa dikerjakan secara instan, kecuali kalau kita hanya ingin meningkatkan indeks dan peringkat literasi membaca kita.

Memang, PISA adalah salah satu alat ukur seberapa jauh hasil belajar telah dicapai. Akan tetapi, jika cara-cara menumbuhkan budaya literasi membaca yang hanya untuk menaikkan peringkat, sesungguhnya kita sedang mendorong belajar bukan untuk mencapai kepandaian, melainkan belajar sekadar mendapatkan nilai rapor dan peringkat.

BUMDes dan Ekonomi Kreatif

BUMDes dan Ekonomi Kreatif
Trisno Yulianto  ;  Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran (Forkata)
                                                        KOMPAS, 29 April 2017



                                                           
Harapan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi agar semua desa di Indonesia memiliki badan usaha milik desa belum terealisasi.

Dari 74.250 desa di Indonesia, sampai akhir 2016 hanya sekitar 29 persen yang telah merintis berdirinya badan usaha milik desa (BUMDes). Dan, dari 29 persen desa yang telah merintis pembentukan BUMDes, hanya 39 persen yang BUMDes-nya aktif dalam kegiatan ekonomi produktif. Mayoritas masih BUMDes normatif, sekadar memiliki legalitas AD/ART dan baru terbatas ditopang alokasi penyertaan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang jumlahnya pun tidak signifikan.

Lambatnya progres pembentukan BUMDes disebabkan berbagai faktor, di antaranya kepala desa—representasi pemerintah desa—enggan mendirikan BUMDes karena dianggap jadi beban anggaran dan tidak memberikan keuntungan cepat dan praktis bagi pendapatan asli desa. Kepala desa yang pragmatis bahkan menolak merintis pendirian BUMDes karena dianggap belum cukup landasan yuridis. Mereka beralasan Permendesa tentang BUMDes kontradiksi dengan Permendagri. Sementara jajaran pemerintah desa yang konservatif juga tak serius membentuk BUMDes karena tidak dianggapsebagai bagian dari tugas pokok dan fungsi pelayanan publik. Banyak pula desa yang gagal merintis pembentukan BUMDes karena keterbatasan SDM yang cakap dan paham hakikat fungsi ekonomi dan bisnis pedesaan.

Pembentukan BUMDes mengacu pada Permendesa No 4/2015. BUMDes didirikan dengan tujuan meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan ekonomi desa, dan meningkatkan pendapatan asli desa. Pertimbangan pembentukan BUMDes didasari oleh kemampuan potensi ekonomi desa, kapasitas sumber daya alam dan SDM di desa, dan inisiatif kreatif pemerintah desa. Sumber anggaran pembentukan BUMDes berasal dari penyertaan modal dari pemerintah desa dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan desa yang diserahkan untuk dikelola dan dikembangkan.

Sementara jenis usaha yang diberi hak dan peluang untuk dikembangkan meliputi (1) bisnis sosial sederhana yang memberikan pelayanan umum kepada masyarakat; (2) penyewaan barang; (3) usaha perantara yang memberikan jasa pelayanan kepada warga; (4) bisnis yang berproduksi dan/atau berdagang barang-barang tertentu; (5) bisnis keuangan yang memenuhi kebutuhan usaha-usaha skala mikro; dan (6) usaha bersama sebagai induk dari unit-unit usaha yang dikembangkan masyarakat desa.

Perlu strategi jitu

Beberapa desa yang kini berhasil mengembangkan BUMDessecara profesional memiliki strategi yang tepat dan dapat dukungan para pemangku kepentingan yang bergiat di ekonomi pedesaan. BUMDes Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Klaten, misalnya, berhasil memajukan sektor pariwisata desa dengan mengelola sumber daya air dan juga aktivitas produktif di sektor pertanian dan perikanan. Pengelolaan sumber daya air, yakni Umbul Ponggok, setiap tahun menyumbang pendapatan asli desa hingga Rp 5 miliar.

Strategi pengembangan BUMDes yang berhasil adalah, pertama, ketepatan dalam memilih unit usaha ekonomi kreatif. Unit usaha ekonomi kreatif yang dikembangkan BUMDes harus berdasarkan indikator ketersediaan sumber daya alam, embrio kegiatan ekonomi berbasis komunitas, dan juga program visioner dari pengelola. Banyak desa yang memiliki basis industri/ekonomi kreatif tak berkembang karena ketidakmampuan BUMDes melakukan perubahan manajemen usaha dan penguatan dari sisi aspek promotif.

Kedua, kemampuan menginvestasikan penyertaan modalyang bersumber dari APBDes. Investasi yang sesuai program ekonomi pedesaan menghasilkan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa. Desa yang kreatif mengembangkan BUMDes juga mampu merintis jejaring kemitraan dengan dunia usaha dan kantong ekonomi kreatif pedesaan.

Ketiga, penyelarasan program-program BUMDes dengan program pemberdayaan masyarakat desa. Program BUMDes seharusnya mendukung platform program pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat desa. Logikanya, jika pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat desa berhasil, maka akan menopang kemajuan unit usaha BUMDes.

Reputasi Gerakan Buruh

Reputasi Gerakan Buruh
Rekson Silaban  ;  Analis Indonesia Labor Institute
                                                        KOMPAS, 29 April 2017



                                                           
Dalam empat dekade terakhir terjadi penurunan anggota serikat buruh di seluruh dunia. Pengecualian hanya terjadi di beberapa negara; Spanyol, Irlandia, Luksemburg, Cile, Meksiko, dan China. Di negara ini jumlah anggota serikat buruh meningkat dibandingkan dengan dekade sebelumnya.

Penurunan anggota serikat buruh (SB) otomatis menurunkan kekuatan gerakan buruh itu sendiri, dan bagi negara-negara industri, berujung pada melebarnya ketimpangan ekonomi. Fenomena penurunan anggota SB (de-unionization) secara umum memiliki penyebab yang sama walaupun berbeda dalam hal urutan penyebabnya. Penurunan anggota SB Indonesia menjadi unik karena menurun sebelum memasuki puncaknya. Penurunan juga bukan akibat relokasi industri atau akibat lahirnya UU yang membatasi SB, tetapi ditengarai akibat menurunnya citra SB di mata buruh dan publik.

Di AS, penyebab utama kemunduran SB adalah relokasi besar-besaran industri sektor manufaktur ke negara-negara Selatan untuk alasan biaya produksi yang lebih murah dan peralihan fokus bisnis ke sektor jasa. Penyebab lain, komputerisasi dan robotisasi yang menggantikan tenaga kerja manusia. Selain itu, lahirnya UU yang mempersulit SB merekrut anggota baru. Terakhir, menurunnya reputasi SB di mata publik karena dianggap tidak efisien, terkuaknya skandal pemimpin buruh, kedekatan politik ke ”Partai Demokrat”.

Sementara itu, di Eropa Barat, gerakan buruh juga menurun secara bervariasi, tetapi tak seburuk seperti di AS. Apabila di AS jumlah pekerja yang berserikat hanya 13 persen, di Eropa Barat masih berkisar 20-35 persen. Bahkan, di wilayah negara Skandinavia masih di atas 65 persen. Di kawasan ini penurunan anggota SB terutama disebabkan oleh faktor relokasi industri dan komputerisasi.

Di Indonesia penurunan keanggotaan SB terjadi sebelum memasuki masa puncak kejayaannya. Pada awal reformasi tingkat partisipasi buruh bergabung ke SB sempat mencapai delapan juta orang. Sesuai data Kemenaker tahun 2010, keanggotaan SB menurun menjadi 3,5 juta, dan pada verifikasi keanggotaan SB tahun 2015 menjadi 2,7 juta orang. Sekalipun ada beberapa gugatan SB atas metodologi verifikasi yang dilakukan Kemenaker, fakta atas menurunnya keanggotaan SB telah mencengangkan banyak pengamat gerakan buruh. Mengapa di tengah atmosfer demokrasi dan keterbukaan yang meningkat, anggota SB justru menurun?

Perlunya menjaga reputasi

Apakah gerakan buruh Indonesia bagian dari masalah atau bagian dari solusi? Inilah pertanyaan yang perlu direnungkan gerakan buruh Indonesia dalam perayaan Hari Buruh 1 Mei tahun ini. Sebelum semuanya menjadi terlambat, gerakan buruh perlu melakukan reposisi. Sebab, sehebat apa pun demo buruh yang pernah digelar, dan seberapa banyak pejuang buruh martir yang siap berkorban, pada akhirnya parameter utama mengukur kehebatan sebuah SB adalah berapa banyak buruh yang bergabung dalam anggota SB.

Penulis tidak memungkiri dampak UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 terhadap penurunan keanggotaan SB Indonesia, tetapi saya berkesimpulan, faktor UU itu tak terlalu kuat. Sebab, pada verifikasi keanggotaan SB tahun 2010, dengan UU yang sama, jumlah anggota SB jauh lebih besar. Banyaknya penolakan SB atas rencana revisi UU No 13/2003 juga menandakan bahwa UU tersebut tak menjadi masalah bagi SB. Mungkin ada yang menjadikan tindakan pemberangusan SB (union busting) sebagai faktor penghambat gerakan buruh, tapi alasan ini kurang kuat karena kebebasan berserikat di Indonesia jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kekerasan dan pembunuhan yang dialami pemimpin buruh di Filipina, Kamboja, Kolombia, Belarus, dan negara lainnya.

Jadi, kalau bukan karena masalah UU atau karena faktor relokasi industri, apakah faktor utama yang menurunkan keanggotaan SB Indonesia? Premis awal penulis adalah gerakan buruh Indonesia sedang mengalami penurunan reputasi di mata buruh dan masyarakat secara umum. Muncul persepsi negatif publik atas arah gerakan dan motif aksi gerakan buruh.

Ada sejumlah alasan atas munculnya persepsi negatif ini. Pertama, SB banyak menghabiskan energi untuk menyuarakan keberpihakan politik yang tak selalu sinkron dengan aspirasi buruh. Ditambah lagi adanya perbedaan haluan politik masing-masing SB, akibat fragmentasi gerakan buruh, membuat buruh dan publik bingung memahami motif sebenarnya di balik aksi itu. Kedua, banyak pihak menganggap SB menjadi kurang relevan karena tak efisien. Misalnya, lebih sering menuntut ketimbang mencari opsi dan solusi untuk kemenangan bersama. Pekerja kelas menengah umumnya tak nyaman menjadi anggota SB yang sering menggelar demo.

Dulu, taktik konvensional gerakan buruh di negara maju memang harus kelihatan garang dan militan. Itu sebabnya SB selalu ditempatkan dalam kelompok ”kiri”. Pola itu juga sekaligus strategi untuk menarik simpati buruh untuk mendapat anggota baru. Namun, seiring dengan perkembangan kapitalisme dan menguatnya peran perusahaan multinasional, strategi perjuangan berubah serius, dengan diperkenalkannya konsep social-dialogue. Berunding mencari solusi bersama, meminimalisasi korban, menurunkan biaya demo, mencegah relokasi. Demo tetap terjadi secara periodik, tetapi umumnya untuk isu nasional, manifestasi publik. Pelanggaran atas hukum ketenagakerjaan menurun dengan terus membaiknya dialog sosial di tingkat pabrik.

Beradaptasi secara baru

Gerakan buruh harus beradaptasi terhadap tempat kerja abad ke-21. Artinya, harus mengganti taktik perjuangan lama dengan model umum (one-size-fits-all). Perundingan bersama dengan fokus pada penciptaan nilai tambah bagi pekerja dan pengusaha. Apabila buruh kehilangan kerja akibat perjuangan militan, kesenjangan pendapatan memburuk, pengangguran tinggi, pekerjaan langka, serikat buruh menjadi tidak relevan. Karena seperti apa kata ekonom Joseph Stiglitz: ”SB yang kuat akan menolong penurunan ketimpangan. SB lemah akan memudahkan pengusaha membuat aturan yang merugikan buruh.” Jangan pernah berpikir bahwa korporasi akan tiba-tiba menjadi simpatik ke buruh dan rela mengurangi keuntungannya kecuali ada tekanan SB.

Selanjutnya, Stiglitz mengatakan, masalah melemahnya SB sesungguhnya akan menjadi masalah semuanya. Ketiadaan SB yang kuat akan meningkatkan pemusatan kekayaan ke beberapa orang, meningkatkan dominasi korporasi terhadap buruh dan pemerintah. Jadi, SB yang kuat dengan kombinasi dialog sosial bukan hanya baik untuk kepentingan buruh, melainkan juga ekonomi secara umum. Upah layak menaikkan daya beli, mendorong konsumsi, menghidupkan bisnis, dan mengurangi ketimpangan.

Perjuangan SB tak hanya menaikkan upah dan menaikkan perlindungan sosial, tetapi juga menjaga anggotanya tetap bekerja. Strategi SB Inggris, Unison, salah satu contoh bagaimana beroperasi pasar kerja abad ke-21. Unison mengizinkan buruh mendaftar via online, menciptakan aplikasi internet yang menarik untuk pekerja muda. Mereka juga memberikan konsultasi hukum gratis ke calon anggota potensial ketimbang menarik simpati lewat demo. Merekrut anggota menggunakan tenaga khusus perekrutan, menggunakan iklan media cetak, televisi.

Dengan menurunnya keanggotaan SB, menurun pula kemampuan finansial SB. Strategi penting yang harus dimulai perlu beradaptasi dengan pasar kerja modern saat ini. Apalagi dengan cepatnya pergeseran industri Indonesia ke sektor jasa (deindustrialisasi), di mana keberadaan SB secara tradisional sangat lemah di sektor jasa ini. Masa depan keanggotaan SB nantinya akan didominasi pekerja kontrak, perempuan, pekerja muda, pekerja paruh waktu, pekerja mandiri, yang kesemuanya memiliki minat lemah bergabung ke SB.

Perlu memulai cara perekrutan anggota baru, misalnya dengan menawarkan pelatihan kerja dengan bekerja sama dengan pemerintah lokal atau pengusaha; menyediakan sarana konsultasi untuk korban pemutusan hubungan kerja (PHK); jejaring info kerja; dan sebagainya. Jadi, penting segera memperbaiki reputasi karena tidak ada institusi yang bisa bertumbuh tanpa dukungan lingkungan eksternalnya. Menuju ke arah sana, SB seharusnya fokus dulu ke buruh. Meminjam istilah Antonio Gramsci, membangun relasi erat dengan ”historic bloc”. Itulah kunci untuk tetap relevan di mata buruh dan publik. Selamat Hari Buruh!

Pekan Imunisasi 2017

Pekan Imunisasi 2017
FX Wikan Indrarto  ;  Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta; Dokter Spesialis Anak di RS Panti Rapih Yogyakarta; Alumnus S-3 Universitas Gadjah Mada
                                                        KOMPAS, 29 April 2017



                                                           
Minggu terakhir bulan April setiap tahun, tahun ini pada 24-30 April 2017, didedikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadi Pekan Imunisasi Sedunia.

Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan permintaan imunisasi, juga memperbaiki layanan vaksinasi sehingga setiap orang di mana pun, dapat dilindungi dari penyakit yang mematikan. Apa yang perlu kita lakukan?

Pada tahun 2016, tema global adalah "Tutup Kesenjangan Imunisasi" dengan berfokus pada imunisasi untuk semua orang dalam sepanjang kehidupannya. Tema tahun 2017 adalah "Manfaat Vaksin (#Vaccines Work)". Hal ini untuk mengingatkan tentang kekuatan kerja vaksin yang masih belum dimanfaatkan sepenuhnya (the power of vaccines still not fully utilized), padahal vaksin terbukti mampu mencegah banyak kematian.

Jangkau semua orang

Rencana global atau The Global Vaccine Action Plan yang ambisius adalah menjangkau semua orang dengan vaksin pada tahun 2020. Semua pemimpin dalam bidang kesehatan ditantang untuk mewujudkan imunisasi sebagai salah satu kisah sukses terbesar dalam bidang kedokteran modern.

Tidak ada intervensi dalam bidang kesehatan preventif tunggal yang lebih hemat biaya dibandingkan imunisasi. Setiap tahun, imunisasi mampu mencegah 2-3 juta kematian anak akibat difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), dan campak. Meski demikian, saat ini masih ada 19,4 juta anak di seluruh dunia yang tidak divaksinasi atau divaksinasi tetapi kurang lengkap.

Setidaknya 10 juta kematian telah dapat dicegah sepanjang tahun 2010-2015 berkat vaksinasi di seluruh dunia. Jutaan nyawa terlindungi dari penderitaan dan kecacatan karena penyakit infeksi seperti pneumonia, diare, batuk rejan, campak, dan polio.

Program imunisasi yang berhasil memungkinkan program prioritas nasional, seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi, terus bertahan. Kesuksesan tersebut dibangun berdasarkan sejarah panjang penelitian dan inovasi yang menghasilkan terobosan produk baru dan cara untuk mencapai cakupan vaksin universal.

Program imunisasi yang diperluas atau The Expanded Programme on Immunization dibentuk saat terjadinya optimisme yang luar biasa tentang potensi kerja vaksin. Program ini dibentuk tahun 1974 saat dunia bergerak hampir mendekati pemberantasan penyakit cacar.

Eradikasi

Saat itu terjadi rasa percaya diri yang tinggi bahwa, dengan komitmen dan kerja sama internasional, penyakit lainnya yang juga dapat dicegah dengan vaksin, pasti dapat dikalahkan. Sertifikasi pemberantasan penyakit cacar yang diperoleh 1979 merupakan bukti kekuatan vaksin dalam memberantas penyakit infeksi secara permanen.

Dalam beberapa dekade sejak itu, program imunisasi tetap berjalan dan termasuk program kesehatan masyarakat yang paling berhasil. Sejak awal, program imunisasi telah dirancang untuk mencapai cakupan universal.

Pada tahun 1974, hanya 5 persen anak di dunia dilindungi dari enam penyakit penyebab kematian yang ditargetkan oleh program imunisasi tersebut. Saat ini angka cakupan imunisasi tersebut mencapai 86 persen dengan beberapa negara berkembang mencapai lebih dari 95 persen.

Di Indonesia, menurut Profil Kesehatan Indonesia 2015, cakupan imunisasi campak telah mencapai 92,3 persen. Sebaliknya capaian indikator imunisasi dasar lengkap baru 86,54 persen pada tahun 2015. Padahal, target rencana strategis adalah 91 persen pada tahun yang sama. Capaian rendah ini karena berbagai faktor: geografi, pandangan keagamaan, ketidakpercayaan kepada pihak pelaksana imunisasi, dan adanya metode tradisional yang diyakini lebih menyehatkan.

Akibatnya, masih banyak bayi di Indonesia yang belum memiliki kekebalan atau imunitas karena adanya "missing out", tinggi "drop out", dan penggunaan vaksin palsu yang sudah beroperasi 13 tahun dan baru terbongkar pada 2016.

Meski demikian, jika dilihat secara global, ada 116 juta bayi di seluruh dunia telah menerima 3 dosis vaksin DPT (Difteri-Tetanus-Pertusis) tahun 2015. Vaksinasi ini yang mampu melindungi mereka dari penyakit menular yang dapat menyebabkan penyakit berat, kecacatan, dan kematian.

Selain itu, 85 persen anak di seluruh dunia telah menerima satu dosis vaksin campak sebelum hari ulang tahun pertama melalui layanan kesehatan rutin, yang meningkat dari 73 persen di tahun 2000. Kasus polio menurun lebih dari 99 persen sejak 1988. Saat ini tinggal tiga negara yaitu Afganistan, Nigeria dan Pakistan, yang masih menjadi daerah endemik polio, turun dari lebih dari 125 negara pada 1988.

Imunisasi atau vaksinasi mampu mencegah penyakit, kecacatan, dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, termasuk kanker serviks, difteri, hepatitis B, campak, gondok, pertusis (batuk rejan), pneumonia, polio, diare rotavirus, rubella, dan tetanus.

Cakupan bertahan

Cakupan vaksinasi global umumnya bertahan stabil dan tidak menunjukkan peningkatan lagi. Selain itu, penggunaan vaksin baru dan vaksin yang kurang dimanfaatkan justru meningkat. Padahal, imunisasi saat ini terbukti mampu mencegah 2-3 juta kematian setiap tahun.

Tambahan 1,5 juta kematian dapat dihindari jika cakupan vaksinasi global terus meningkat karena diperkirakan 19,4 juta bayi di seluruh dunia masih belum mendapatkan vaksinasi dasar (missing out on basic vaccines). Memperluas akses terhadap imunisasi sangat penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Mengingat efisien dan efektifnya vaksinasi terhadap kesehatan, momentum Pekan Imunisasi Sedunia kali itu juga harus dimanfaatkan untuk menyadarkan tentang potensi kerja vaksin yang luar biasa. Dalam hal ini, kerja keras sungguh diperlukan, Dalam hal ini pelibatan para tokoh agama dan pakar budaya kesehatan masyarakat menjadi kuncinya.

Sabtu, 29 April 2017

Jebakan Konsensus Demokrasi

Jebakan Konsensus Demokrasi
Galih Prasetyo  ;  Alumnus Ilmu Politik, Universitas Nasional
                                              MEDIA INDONESIA, 28 April 2017



                                                           
PILKADA DKI telah usai. Setelah pencoblosan tahap kedua pada 19 April lalu, Anies Baswedan-Sandiaga Uno unggul di sebagian besar quick count lembaga survei. Keputusan resmi KPUD belum dirilis, meskipun biasanya hasilnya tidak akan jauh berbeda. Dinamika politik dalam kontestasi pilkada menyita perhatian luas publik. Setiap pihak mengerahkan strategi guna memenangi pertarungan. Isu SARA muncul, berita hoax pun bertebaran bahkan tak jarang terjadi saling caci maki antartimses di dunia nyata maupun dunia maya. Inilah wajah politik keseharian kita. Politik yang dimengerti sebagai politik. Politik sebagai wahana saling rebut kekuasaan. Sudah saatnya kita melampaui petuah lawas Harold Lasswell's tentang politik yang mengajarkan 'Who gets what, when, and how'.

Politik berlangsung di dalam demokrasi yang serbamenguras ongkos. Siapa pun pemimpin terpilih rentan tersangkut korupsi sebab mungkin saja mereka terikat konsensi dengan pelbagai donatur. Apa boleh buat. Kita telah memilih demokrasi, karena sejauh ini paling mungkin diterapkan. Setidaknya diskursus publik terawat, rakyat punya kesempatan berpartisipasi, bisa ikut mengawal kebijakan pemerintah. Meskipun sering kali kritik tak didengar. Di sini kesetaraan, kebebasan, dan hak asasi manusia menemui tempatnya.

Kurva lonceng

Dalam proses kampanye, semua kandidat calon gubernur dan wakil gubernur DKI seolah menunjukkan pertentangan sengit. Namun, boleh jadi begitu konsensus bekerja antagonisme redup. Sebagai sistem resmi yang disepakati, kita memang mesti maklum bahwa demokrasi tak sanggup memfasilitasi perubahan signifikan. Goenawan Mohamad (GM) dalam Demokrasi dan Kekecewaan (2009) mencatat gejala itu dengan istilah 'kurva lonceng'.

Upaya perubahan tak semudah membalikkan telapak tangan. Pada dasarnya, status quo bertahan melalui pemungutan suara. Dalam demokrasi yang mengandaikan suara terbanyak mudah ditemukan kompromi di sana-sini. Selalu terbuka celah beragam kepentingan bertemu saling bernegosiasi, maka perubahan mungkin saja terwujud, tetapi tampak sangat lambat. Selain itu, ternyata memang banyak orang kurang siap mengalami perubahan drastis. Kampanye Anies-Sandi yang antireklamasi berpotensi terperangkap pada kurva lonceng itu. Sehingga perubahan yang ia lakukan tidak lebih keras ketimbang suara teriakan protes penolakannya.

Sebagaimana Jokowi, yang pernah berjanji pada kampanye pilpres 2014 silam, bahwa akan membentuk kabinet ramping, membatasi menteri dari unsur parpol. Kini setelah jadi presiden, komposisi profesional dan politisi di kursi kabinet bersaing ketat secara jumlah. Tidak mengherankan bila kita menyaksikan pemimpin inkar janji, lain ucapan lain perbuatan, kemudian gagal menunaikan amanah dan melukai hati rakyat. Janji kampanye hanya diproduksi sekadar untuk menggalang suara pemilih. Lebih parah lagi, realitas kemiskinan dijadikan alat mendulang dukungan. Sudah lumrah tiap pascamusim pencoblosan hampir pasti akan selalu melahirkan kekecewaan. Itu bukan ajakan untuk mengakhiri demokrasi.

Minimal sistem ini membuat koreksi kapan pun bisa dilakukan. Ia menghadang absolutisme yang alergi terhadap kemajemukan. Sistem ini ibarat kereta commuter line, siapa pun pemenangnya tidak bisa begitu saja menyisihkan yang kalah. Lawan berada di gerbong ikut menumpang perjalanan. Kritik ataupun pemberontakan berpotensi datang bukan hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam. Demokrasi membuat kita tidak sanggup mencintai dan membenci apa pun secara ekstrem.

Menanti sang antah

Begitulah yang kita hadapi tentang demokrasi. Sebuah sistem yang kerap dihantui jebakan konsensus. Dengan begitu, perubahan sulit terjadi lantaran demokrasi melemahkan politik perjuangan. GM melihatnya dalam tubuh politik semacam itu akibat The Real (GM menamainya 'Sang Antah') istilah yang dipinjam dari Jacques Lacan, tak pernah lengkap alias ada bagian yang absen tak terekam bahasa. Ada yang turah. Peristiwa reformasi 98 atas kejatuhan rezim Orde Baru salah satu bentuk contoh untuk menggambarkan 'Sang Antah' itu. Reformasi muncul sebagai tawaran perubahan. 'Sang Antah' sebagai politik harapan tak diketahui kapan kehadirannya.

Sangat mungkin kembali memperlihatkan diri, saat agenda reformasi meleset menunaikan janji. Tetapi, tidak harus disusul kerusuhan sosial. Boleh jadi ia datang seiring tuntutan sosial yang menagih untuk dibereskan seperti kemiskinan. 'Sang Antah' adalah politik yang tidak bisa dinamai, muncul bagai pahlawan zaman dan membawa perubahan. Persis konsep Alain Badiou tentang 'Yang Politis' (The Political) yang menjadi ruang kemungkinan bagi peristiwa, basis bagi kemungkinan emansipasi terluas. Demokrasi dengan penuh kesabaran menanti datangnya 'Yang Politis' sebab demokrasi merupakan prosedur segala kemungkinan (Robertus Robet, Kembalinya Politik, 2008, dan 2009). Apa yang turah dari 'Sang Antah' menbidani kelahiran atas tuntutan keadilan. Ia jeritan yang luput di luar kesadaran. Inilah politik yang selalu ditunggu.

Butuh kesetiaan politik dalam membebaskan apa yang kerap terabaikan itu. Politik sebagai perjuangan harus dihidupkan agar terhindar dari rayuan pragmatisme yang melemahkan daya dobrak perubahan. Untuk mengembangkan potensi yang tersedia, kita berkewajiban memelihara segenap kekuatan demokrasi (parlementer) dan memosisikan politik sebagai jalan menuju kesetaraan, lebih jauh lagi keadilan. Parlemen atau institusi legal formal berpeluang mencarikan solusi terkait isu kepentingan rakyat lewat pembentukan undang-undang dan rumusan kebijakan.

Unsur gerakan ekstra parlementer berupa demonstrasi jalanan juga berfungsi menyampaikan tuntutan. Kedua kanal itu memiliki potensi mengubah keadaan. Dengan catatan, butuh subjek politik yang memiliki militansi untuk setia kepada 'peristiwa'. Pucuk pimpinan tertinggi DKI diharapkan nantinya menjadi subjek politik yang ikhtiarnya mampu memanggil 'Yang Politis' itu. Melayani atas dasar panggilan nilai kemanusiaan demi kebaikan bersama, menjadikan rakyat sejahtera. Sambil terus menjaga ritme politik perjuangan yang dipastikan akan menghadapi pelbagai tantangan.

Momentum Penguatan Keulamaan Perempuan

Momentum Penguatan Keulamaan Perempuan
Fathorrahman Ghufron  ;  Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
                                                       JAWA POS, 27 April 2017



                                                           
Penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 25–27 April 2017 di Cirebon merupakan momen bersejarah untuk mendiskusikan dan menyoal berbagai masalah domestik dan publik yang menimpa perempuan.

Keberadaan perempuan yang selama beratus tahun dikonstruksi sebagai konco wingking alias second creation dalam kehidupan masyarakat sehingga perannya terbatas pada bagaimana memenuhi kebutuhan laki-laki mengakibatkan perempuan selalu berada pada titik nadir ketidakberdayaan.

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan para pemerhati kajian gender maupun aktivis sosial keagamaan, sesungguhnya masalah ketidakberdayaan yang dialami perempuan banyak bermula dari pandangan keagamaan yang dikontribusikan oleh para ulama yang didominasi kaum laki-laki. Dengan cara pandang keagamaan bercorak patriarkat, ulama laki-laki merumuskan beragam tafsir dan cara berpikir terhadap ajaran agama yang tidak lepas dengan kepentingan dirinya.

Implikasinya, produk hukum yang dihasilkan dari cara pandang keagamaan yang bercorak patriarkat menimbulkan relasi sosial tidak berimbang, baik di ruang domestik maupun publik. Bahkan, dalam relasi tersebut, kaum laki-laki yang menggunakan produk hukum yang ada memosisikan perempuan sebagai pihak minoritas yang harus diam dengan segala titah dan perintah laki-laki.

Menyoal Keulamaan Patrialkat

Identitas keulamaan yang selama ini dikonstruksi sebagai arus utama peran laki-laki dalam banyak konstelasi, terutama perihal habitus keberagamaan, sesungguhnya menyimpan ’’kecelakaan sejarah’’ yang banyak meminggirkan dan menegasikan keberadaan perempuan.

Muhammad Al-Habasy dalam buku Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah memberikan gambaran miris bagaimana perempuan ditempatkan di ruang terbatas yang tidak bebas dengan akses sosial. Melalui prinsip sadd al-dzari’ah (upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang negatif) yang disampaikan banyak ulama laki-laki dalam serial fatwa dan alasan keagamaannya, perempuan dipandang semata-mata sebagai aurat yang harus dipelihara dan fitnah yang dihindari.

Dampaknya, fatwa yang bias gender tersebut berlangsung berabad-abad dan diamini berbagai budaya masyarakat yang berciri feodalistis. Setidaknya, sejarah RA Kartini menjadi saksi bagaimana keberadaan perempuan menjadi korban feodalisme masyarakat saat itu sehingga keberadaannya hanya dijadikan sosok pingitan.

Padahal, dalam dunia fikih, ada beragam corak pemikiran yang mencerahkan (tsarwatul fiqhiyah) sebagai metode istinbath hukum yang memungkinkan perempuan bisa memainkan perannya sebagai makhluk sosial. Setidaknya, konsep fath al-dzari’ah (membuka pintu alternatif untuk memperbolehkan sesuatu) merupakan konsep lanjutan dari sadd al-dzari’ah yang bisa memosisikan perempuan sebagai makhluk sosial yang bisa setara dengan laki-laki. Tetapi, mengapa sadd al-dzari’ah selalu dijadikan alasan untuk membatasi ruang gerak perempuan dan mengapa fath al-dzari’ah tidak dijadikan panduan pula dalam fatwa serta pandangan keagamaannya.

Dalam kaitan ini, fath al-dzari’ah merupakan salah satu prinsip kemaslahatan yang dijadikan sebagai kerangka maqashid untuk memberikan berbagai jalan alternatif terhadap berbagai ketidakmungkinan bagi seseorang untuk melakukannya. Misalnya, bagi kaum perempuan yang ingin mengekspresikan potensinya di ruang publik yang selama ini tidak diperbolehkan lantaran berbagai aturan lokal yang disepakati oleh pemilik kuasa pengetahuan, terutama kaum laki-laki, atas dasar pertimbangan hukum agama yang diyakini, sesungguhnya melalui prinsip fath al- dzari’ah” dapat diberikan jalan keluar lain yang bisa memfasilitasi peran perempuan dan tidak mengorbankan potensi perempuan hanya karena tubuh perempuan dipersepsikan sebagai aurat yang harus dijaga.

Identitas Ulama Perempuan

Dalam kaitan ini, KUPI yang menghadirkan ratusan pemikir dan pemerhati perempuan dari dalam dan luar negeri harus dimanfaatkan sebagai penguatan identitas keulamaan bagi kaum perempuan. Hal ini penting dilakukan agar, keberadaan perempuan bisa menjadi sebuah rezim gender –meminjam istilah Ruhaini Dzuhayatin– dalam konstruksi keulamaan yang bisa mengimbangi dominasi kaum laki-laki dalam menetapkan berbagai pandangan keagamaannya.

Dengan kata lain, melalui kesadaran rezim gender yang dikonstruksi kaum perempuan dalam konstelasi penetapan hukum yang bersumber pada pembacaan dan kajian sumber naqliyah, berbagai ketetapan hukum yang selama ini dihasilkan ulama laki-laki yang cenderung memperbesar wilayah domain keulamaannya dan membesar-besarkan pikirannya adalah yang paling benar dengan berlindung di bawah dalil naqli, bisa difilter dan bahkan di-counter oleh pandangan keagamaan yang dirumuskan oleh kaum perempuan.

Pada titik ini, konstruksi hukum agama yang selama ini cenderung menihilkan dan mendiskreditkan kaum perempuan, sebagai akibat dari adanya dominasi gagasan yang dirumuskan oleh ulama laki-laki, bisa dinasakhkan oleh ketetapan hukum baru yang dilakukan oleh perempuan. Sebab, bila mengkaji Alquran secara utuh dan jernih, tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit menyerukan penihilan perempuan, baik di sektor domestik maupun publik. Justru yang diserukan oleh Alquran adalah nalar dan sikap ’’komplementarisasi’’ yang meniscayakan adanya persambungan dan kesinambungan ide dan laku antara laki-laki dan perempuan.

Semoga, KUPI menjadi semacam maghza (pergulatan pemikiran) –meminjam istilah Nasr Abu Zayd– yang bisa menghasilkan berbagai pandangan keagamaan baru yang bisa memberdayakan perempuan. Dan juga menjadi perhelatan metodologis dalam mengkritisi berbagai fatwa dan pandangan keagamaan yang merugikan kaum perempuan. Dengan cara ini, identitas keulamaan perempuan akan memperoleh tempat setara dengan ulama laki-laki yang selama ini terlalu mendominasi panggung istinbath hukum agama.

50 Tahun Independensi ASEAN

50 Tahun Independensi ASEAN
Ismatillah A Nu’ad  ;  Peneliti Indonesian Institute for Social Research and Development, Jakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 28 April 2017



                                                           
PERTEMUAN puncak para pemimpin ASEAN yang akan dilaksanakan di Manila, Filipina, pada 29 April 2017 sekaligus akan menjadi perayaan emas 50 tahun organisasi kawasan itu eksis dalam peta politik regional dan di tingkat internasional. Kesepuluh anggota ASEAN sangat berbeda satu sama lain, mulai perbedaan dari segi kemajuan ekonomi, sosial-budaya, hingga perbedaan sistem politik. Persatuan dan netralitas ASEAN harus terus dipertahankan. Negara anggota harus berkomitmen tinggi untuk menjaga kesatuan dan netralitas. Tanpa adanya kedua prinsip itu, tidak akan terjadi ASEAN yang tetap eksis hingga detik ini. Dominasi global yang datang dari arah Barat seperti Amerika Serikat (AS) dan sekutu mereka, serta dari kekuatan ekonomi baru seperti Tiongkok, Jepang, dan kekuatan ekonomi dari Timur, bisa saja membuat ASEAN goyah.

Mencermati konteks independensi organisasi di kancah persaingan serta dinamika global menjadi penting, baik dalam iklim yang keruh karena konflik atau ketegangan global maupun dalam iklim yang damai. Kata independensi tentu adalah kuncinya, sebab dalam teori diplomasi (Alatas, 2009) dikenal dengan strategi tidak boleh mengumbar atau terlalu eklektik dengan kepentingan-kepentingan asing. Asas saling memanfaatkan serta saling menguntungkan (mutualism) merupakan hal signifikan ketika sebuah organisasi kawasan atau sebuah negara membuka diri dalam kaitan pergaulan internasional. Terlebih gagasan ASEAN muncul justru untuk memperkuat integritas kedaulatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya di kawasan Asia Tenggara.

Pada masa Bung Karno, Harold Crouch (1985) menyebutnya sebagai tokoh yang dengan lantang menyerukan perlunya independensi sebuah bangsa, yang tidak terjajah oleh kepentingan-kepentingan negara-negara adidaya. Dalam karya Ideology in Indonesian, Soekarno's Indonesian Revolution, Donald Weatherbee (1980) mengutip cita-cita Bung Karno yang menyerukan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara terbebas dari segala cengkeraman dominasi asing dan penindasan kultural yang menjadi penghambat tujuan keadilan ekonomi, sosial, dan politik. Organisasi ASEAN yang didirikan sejak 1967, saat itu Indonesia telah di bawah kekuasaan Soeharto, mestinya harus kembali pada sejarah dan cita-citanya. Sekilas dipandang dari sisi pertahanan kawasan Asia Tenggara akan tiba masanya yang negara-negara ASEAN akan bisa memosisikan diri terhadap masa depan sendiri tanpa campur tangan asing yang sering datang dan memengaruhi perkembangan kawasan.

Di sisi lain, selama ini ASEAN mampu untuk meredam berbagai gejolak yang akan timbul pada setiap negara yang memiliki potensi konflik. Ini setidaknya membuktikan bahwa anggota ASEAN boleh dikatakan berhasil memelihara perdamaian dan keamanan regional. Namun, negara-negara anggotanya kini ditantang dengan gejolak kontekstual dalam era negara-bangsa. Jika pada dekade 60-an tipologi masyarakat di negara-negara berkembang sangat ideologis, kini stigma itu tentunya sudah mengalami transformasi yang cukup signifikan. Sebagaimana diketahui, sejak Perang Dingin berakhir, peta politik internasional telah mengalami perubahan yang cukup fundamental, yaitu berubahnya sistem internasional yang semula bipolar menjadi multipolar di bawah kendali Pax-Americana.

Bipolaritas dalam kerangka politik internasional ketika itu diwakili dua negara adidaya, AS dan Uni Soviet, yang bertentangan. (Fortuna, 33: 1997). Dengan runtuhnya Uni Soviet beserta ideologi politik mereka pasca-Perang Dingin, AS secara otomatis menjadi satu-satunya negara adidaya. Namun, munculnya kekuatan ekonomi dari Timur di kawasan Asia seperti Tiongkok dan Jepang juga patut menjadi perhatian serius. Belum lagi gelombang kebudayaan yang secara semilir telah direduksi sebagian besar masyarakat dunia lewat patron media. Semua arus itu telah melunturkan 'zaman ideologi' atau alih-alih segala ideologi yang berkembang dalam pasar negara-bangsa, kini harus mulai bersiap-siap gulung tikar.

Azyumardi Azra (2004) bahkan pernah menggagas supaya negara-bangsa seperti Indonesia untuk merejuvenasi ideologi Pancasila sebagai identitas bangsa karena keberadaannya patut dipertanyakan. Tantangan negara-negara ASEAN secara keseluruhan dihadapkan dengan persoalan yang sama dalam menghadapi dominasi global. ASEAN semestinya mencari strategi untuk keluar dari segala dominasi. Ketika negara-negara ASEAN kini tengah dihadapkan dengan segala persoalan dominasi global, pertanyaannya ialah arah kebijakan seperti apa yang seharusnya diregulasikan? Apakah pola kooperatif atau nonkooperatif? Dalam sejarahnya, atau seperti idealisme para pendirinya, negara-negara ASEAN sesungguhnya punya pantangan tersendiri jika harus berkooperasi dengan dominasi global.

Sedari awal organisasi ASEAN bersifat independen atau politik bebas aktif. Karena memang tujuan semula ingin membuat blok yang moderat, tanpa harus terlibat dengan blok-blok raksasa yang bisa menghegemoni eksistensi mereka. Setidaknya, negara-negara ASEAN hendaknya menggawangi cita-cita, idealisme para founding fathers supaya tidak kebobolan terjebak dengan dominasi kekuatan global. Jika idealisme para founding fathers dilanggar, jelas berakhir harapan untuk menciptakan ekuilibritas tatanan negara-bangsa di kawasan Asia Tenggara.