Selasa, 18 April 2017

Anak-Anak dalam Bayang-Bayang Kekerasan

Anak-Anak dalam Bayang-Bayang Kekerasan
Junaidi Abdul Munif  ;   Direktur el-Wahid Center Semarang
                                              MEDIA INDONESIA, 17 April 2017


                                                                                                                                                           

BEBERAPA bulan terakhir muncul kasus yang meresahkan para orangtua yang memiliki anak usia di bawah 10 dan belasan tahun. Pertama, pedofilia yang menjadi istilah populer ketika ditemukan akun grup media sosial yang beranggotakan para pedofil, tempat mereka membagikan foto dan video tindakan asusila untuk dilihat anggota grup (Kompas, 18/3/17). Kedua, isu penculikan anak-anak yang diambil organ tubuhnya turut meresahkan orangtua. Kendati belum ada data yang pasti apakah berita tersebut hoax atau bukan, kabar itu telanjur membuat masyarakat semakin panik. Ketiga, tewasnya Kresna Wahyu Nurhidayat, siswa SMA Taruna Nusantara, yang dibunuh temannya sendiri. Pada Januari, tiga mahasiswa UII Yogyakarta meninggal setelah mengikuti kegiatan diksar mapala. Tragedi itu menggambarkan kekerasan terhadap anak terjadi di semua level pendidikan.

Kejadian itu belum termasuk pelecehan seksual pada pelajar putri yang bersifat verbal, sampai gerakan fisik yang menjurus pada pelecehan seksual. Anak-anak menjadi rentan terhadap kekerasan seksual karena anak sering diposisikan sebagai sosok yang lemah. Mereka tidak berdaya ketika diancam pelaku yang merupakan orang yang lebih tua (Noviana, 2015). Kekerasan terhadap anak dapat dilakukan teman sendiri ataupun orang dewasa. Untuk kekerasan yang sampai menimbulkan korban jiwa, regulasi hukum dapat menjerat pelaku untuk dihukum. Persoalan muncul ketika kekerasan terhadap anak tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Apalagi jika kekerasan yang masuk kategori pelecehan seksual. Masyarakat sering kali menganggap kekerasan anak terhadap anak dianggap sebagai kenakalan anak-anak. Permisivitas ini turut memelihara kekerasan itu. Dalam penelitiannya di 21 negara, PBB (2006) menemukan anak perempuan mengalami kekerasan 1,5-3 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak laki-laki.

Di tengah masyarakat patriarkat, relasi sosial antara laki-laki dan perempuan berjalan tidak seimbang, termasuk pada aspek seksualitas. Masyarakat kita yang tumbuh dalam kultur guyonan sering kali menjadikan seksualitas sebagai materi untuk bercanda. Di media sosial banyak beredar meme foto perempuan yang diberi narasi berbau seksualitas. Richard J (1982) menyebutkan ada empat faktor penyebab kekerasan terhadap anak, yaitu pewarisan kekerasan antargenerasi, stres sosial, isolasi sosial, dan struktur keluarga (seperti orangtua tunggal). Faktor-faktor itu menunjukkan hubungan korban-pelaku. Orang yang menjadi pelaku sebelumnya pernah menjadi korban. Faktor inilah yang ditemukan dalam kekerasan fisik di organisasi mahasiswa atau pendidikan militer.

Berawal dari sekolah

Anak sekarang berkembang sedemikian cepat, baik dari aspek fisik maupun psikologis. Pengaruh asupan gizi membuat fisik anak berkembang seperti remaja, termasuk perkembangan organ seksual. Kita akan sangat kesulitan menebak usia anak saat mereka memakai pakaian sehari-hari. Hanya dengan seragam sekolah dapat diidentifikasi anak itu usia SD, SMP, atau SMA. Secara psikologis, anak mudah terpengaruh oleh tontonan di televisi atau pergaulan sehari-hari yang berinteraksi dengan orang dewasa. Tidak jarang terlontar bahasa orang dewasa dalam percakapan anak-anak. Anak dalam usia sekolah menghabiskan hampir separuh waktunya dalam sehari untuk belajar. Di sekolah anak-anak menjalani kehidupan dengan teman sebaya, berinteraksi dengan segala dinamikanya. Fokus sekolah sebagai ruang pembelajaran tidak lantas membuat sekolah bersih dari perilaku negatif siswa. Alih-alih menjadi tempat positif untuk tumbuh kembang anak, sekolah justru menjadi tempat berseminya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak, persentasenya mencapai 62% (Tirto.id, 24/2/17).

Angka itu menunjukkan fakta yang bertolak belakang, di saat masyarakat berharap sekolah menjadi tempat yang aman bagi anak, tetapi fakta justru memperlihatkan sebaliknya. Guru juga tidak bisa diharapkan mengawasi anak didik dengan maksimal karena interaksi mereka lebih banyak di kelas saat proses belajar mengajar. Kekerasan seksual terhadap anak berjalan seiring dengan berkembangnya konten pornografi di internet. Dengan privatisasi digital, di saat anak-anak kini sudah memegang ponsel pintar, aksesibilitas internet semakin terbuka lebar. Sekolah bisa menjadi tempat bertukar konten digital. Kurangnya pendidikan seks yang sehat sekolah rentan membuat anak 'belajar seks' dari internet. Kejahatan seksual 60% dilakukan orang dekat (teman, anggota keluarga, pengasuh), 30% keluarga korban (kakak laki-laki, ayah, paman, dan sepupu), sedangkan 10% dilakukan orang asing (Tirto.id, 24/2/17). Kedekatan antara pelaku dan korban ini berpotensi membuat pelaporan kekerasan seksual rendah karena dianggap akan membuka aib keluarga.

Pendidikan seks yang holistis

Untuk mencegah pelecehan dan kekerasan seksual, perlu dilakukan dua tahapan, yaitu pencegahan dan tindakan pascakejadian. Untuk pencegahan, pertama, formulasi pendidikan seksual yang tepat untuk anak-anak terus diperbarui guna mencegah maraknya pelecehan dan kekerasan seksual. Pendidikan seks yang dibangun bukan semata persoalan reproduksi, melainkan juga agama, budaya, dan etika masyarakat terhadap perilaku yang mengarah ke pelecehan seksual, baik verbal maupun nonverbal. Peran guru BK sebagai konselor dituntut lebih besar untuk menindaklanjuti persoalan pelecehan seksual. Kedua, informasi bahwa perilaku tertentu dapat dianggap sebagai pelecehan seksual disosialisasikan secara masif pada siswa. Ketiga, edukasi pada masyarakat perlu diupayakan sangat maksimal untuk turut memberi andil pencegahan kekerasan itu. Informasi bahwa ada lembaga yang membantu masyarakat dalam advokasi korban perlu diketahui masyarakat luas sebagai pendamping pelaporan pada pihak kepolisian.

Untuk tindakan pascakejadian, pertama, siswa perempuan diajarkan berani melaporkan pada guru jika diganggu teman laki-lakinya. Siswa laki-laki dituntut partisipasinya untuk juga berani melaporkan jika menemukan peristiwa pelecehan seksual. Kedua, sekolah perlu membuat peraturan yang tegas bagi siswa yang melakukan pelecehan seksual.
Ketiga, regulasi dari pemerintah dari sisi hukum harus ditegakkan dengan upaya konseling karena terkait dengan masa depan siswa, baik korban ataupun pelaku. Kita sangat berharap sekolah dan lembaga pendidikan menjadi tempat yang aman bagi anak-anak dan tidak muncul sebagai tempat paling banyak terjadinya pelecehan seksual. Diharapkan, ketika kejahatan seksual di sekolah dapat dicegah, itu dapat berimbas pada pencegahan kejahatan seksual di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar