Rabu, 12 April 2017

Madu dan Racun Tekfin

Madu dan Racun Tekfin
Paul Sutaryono  ;   Pengamat Perbankan;  Mantan Assistant Vice President BNI
                                                        KOMPAS, 11 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kini muncul aneka pembiayaan keuangan berbasis teknologi (financial technology) atau teknologi finansial (tekfin) sebagai buah disrupsi inovasi (disruptive innovation). Disrupsi inovasi merupakan inovasi yang bisa mengganggu industri konvensional seperti industri perbankan selama ini. Bagaimana madu (manfaat) dan racun (potensi risiko) tekfin? Sudah siapkah industri tekfin untuk menepis racun ke depan?

Dalam waktu dua tahun, tekfin sudah berhasil mengelola dana dari 12,05 miliar dollar AS (setara Rp 161 triliun dengan kurs Rp 13.375 per 1 dollar AS) pada 2015 menjadi 18,64 miliar dollar AS (Rp 249 triliun) tahun ini dengan berbagai layanan seperti pembayaran, pendanaan, dan pinjaman antarwarga. Menurut proyeksi, tekfin di Indonesia akan mencapai 22,70 miliar dollar AS (Rp 303 triliun) pada 2018, 27,24 miliar dollar AS (Rp 364 triliun) pada 2019, 31,98 miliar dollar AS (Rp 427 triliun) pada 2020, dan 36,61 miliar dollar AS (Rp 489 triliun) pada 2021 (Kompas, 20/2/2017).

Sungguh, hal itu merupakan potensi pembiayaan yang cukup besar untuk bisnis rintisan (start up business). Coba bandingkan dengan kredit perbankan yang mencapai Rp 2.904 triliun pada 2015 per Desember 2015, naik 7,58 persen menjadi Rp 4.200 triliun per Desember 2016.

Bisnis tekfin menawarkan model pinjaman, antara lain, peer to peer lending dan crowdfunding. Peer to peer lending adalah layanan keuangan digital untuk mempertemukan pihak yang membutuhkan pinjaman dan pihak yang memberikan pinjaman. Adapun crowdfunding adalah pembiayaan melalui mekanisme gotong royong atau patungan modal dana untuk investasi.

Model pinjaman yang tanpa memerlukan jaminan (agunan) itu sungguh merupakan potensi tinggi bagi profil (calon) debitor katakanlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sebagian besar belum dapat mengakses industri perbankan (unbankable). Inilah madu utama tekfin.

Padahal, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) menunjukkan bahwa terdapat 57,89 juta unit UMKM pada 2013 yang terdiri dari 57,19 juta unit usaha mikro, 654,22 ribu unit usaha kecil, dan 52,11 juta unit usaha menengah. Usaha mikro merajai dalam memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 60,34 persen yang disusul usaha kecil 36,90 persen dan usaha menengah 13,72 persen.

Bukan hanya itu. UMKM mampu menyerap 100 juta tenaga kerja, tepatnya 114,14 juta orang, yang meliputi usaha mikro 104,62 juta orang, usaha kecil 5,57 juta orang, dan usaha menengah 3,95 juta orang. Selama ini, segmen UMKM telah membuktikan tahan banting terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997/1998. Salah satu faktor utamanya adalah lantaran segmen itu tidak memiliki keterpaparan dalam valuta asing (valas).

Aneka racun dan penawarnya

Untuk menepis potensi risiko, Bank Indonesia (BI) sudah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/BI/2016 tanggal 8 November 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Untuk itu, BI sudah membentuk BI Fintech Office dan Regulatory Sandbox. BI Fintech Office merupakan wadah untuk proses mendapatkan data, mitigasi risiko, dan evaluasi terhadap model bisnis serta layanan keuangan berbasis teknologi. Regulatory Sandbox adalah laboratorium atau lingkungan terbatas yang digunakan pelaku bisnis untuk menguji produk dan model bisnis inovatif.

Demikian pula Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meluncurkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 28 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Meskipun BI dan OJK sudah mengatur bisnis tekfin dengan saksama, masih terdapat potensi risiko yang bisa mencuat di permukaan kapan saja.

Pertama, formula lima C (characters). Bisnis tekfin sangat mengandalkan teknologi informasi sehingga tak memerlukan tatap muka dengan calon debitor. Hal itu amat berbeda dari bisnis perbankan yang mengutamakan formula lima C yang terdiri dari C pertama adalah character untuk mengukur seberapa jauh calon debitor (peminjam) memiliki niat baik untuk mengembalikan kredit (pinjaman) dan C kedua adalah capacity untuk mengukur kemampuan mengembalikan kredit atas dasar kemampuan menjalankan bisnisnya.

Kemudian menyusul C ketiga adalah capital untuk mengetahui sejauh mana debitor mampu menggunakan modal secara efektif dan C keempat adalah collateral untuk melihat sejauh mana jaminan yang diberikan dapat menutup risiko yang mungkin timbul. Formula C terakhir adalah condition untuk meneliti prospek bisnis dikaitkan dengan kondisi saat ini dan mendatang. Untuk mendalami formula itu, kreditor wajib melakukan wawancara tatap muka langsung dengan calon debitor.

Nah, apakah formula itu cukup dilakukan melalui formulir yang sudah diisi debitor sebagai informasi elektronik? Kalau hanya untuk mengetahui data pribadi calon debitor, langkah itu sudah memadai tetapi tak cukup untuk memahami karakter calon debitor. Barangkali saat ini belum menjadi masalah karena kredit belum jatuh tempo pelunasan untuk tenor jangka menengah.

Tegasnya, wawancara langsung merupakan salah satu cara manjur dalam mengetahui dan mendalami karakter calon debitor. Artinya, model bisnis (business model) tekfin sudah sepatutnya tetap mengikuti asas kepatuhan (compliance) dalam bisnis perbankan yang sudah berjalan lama.

Kedua, OJK mengizinkan bisnis tekfin menggunakan tanda tangan elektronik, yakni tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi sebagaimana dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Selama ini, bisnis perbankan konvensional dan syariah tidak menggunakan tanda tangan elektronik, tetapi tanda tangan basah atau asli. Ketika membuka rekening tabungan bank, Anda pasti akan diminta tanda tangan pada buku tabungan. Hal itu sebagai alat atau instrumen bagi bank untuk melakukan verifikasi transaksi perbankan.

Untuk itu, penyelenggara bisnis tekfin wajib memiliki sertifikat elektronik yang aman dan andal. Sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subyek hukum para pihak dalam transaksi elektronik.

Ketiga, jangan lupa bahwa teknologi informasi juga mengandung potensi risiko teknologi sebagai salah satu wujud dari risiko operasional. Risiko operasional meliputi risiko yang berasal dari sumber daya manusia (SDM), proses dan teknologi (Michel Crouhy, Dan Galai, & Robert Mark, 2000).

Teknologi informasi bisa menimbulkan risiko tinggi ketika terjadi kegagalan sistem. Hal itu bisa menyebabkan kesalahan dalam mencatat keuangan, mengirim dan menerima pembayaran yang tidak semestinya. Bayangkan kesalahan sistem yang mengakibatkan setiap pembayaran yang seharusnya Rp 1.000.000 otomatis tertambah bilangan satu nol sehingga menjadi Rp 10.000.000 dan Rp 10.000.000 menjadi Rp 100.000.000. Ringkas tutur, kesalahan apalagi kegagalan sistem akan mengakibatkan kerugian finansial.

Dengan bahasa lebih bening, penyelenggara bisnis tekfin wajib memiliki sistem yang sanggup operasional dengan tingkat standar keamanan dan keandalan tinggi yang berlaku umum dan sesuai dengan PBI, POJK, dan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk mampu mengatasi kegagalan sistem, penyelenggara bisnis tekfin wajib memiliki rencana siaga (contingency plan) dan menerapkan manajemen risiko yang meliputi risiko kredit, operasional, pasar, dan likuiditas.

Perlindungan konsumen

Keempat, selain itu, penyelenggara bisnis tekfin harus memprioritaskan perlindungan konsumen. Pada hakikatnya, hubungan antara konsumen dan investor harus setara dan adil. Bukan hubungan atas bawah sehingga konsumen memiliki hak untuk dilindungi kerahasiaan (data pribadi, keuangan, dan atau transaksi) dan menyampaikan pengaduan masalah jika ada.Adalah rahasia umum yang sering terjadi bahwa data debitor bisa diketahui pihak lain tanpa sepengetahuannya. Inilah yang wajib dijunjung tinggi penyelenggara bisnis tekfin.

Kelima, sungguh, penyelenggara bisnis tekfin pun wajib menerapkan program anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini terkait dengan tingginya dana kelolaan bisnis tekfin yang mencapai 18,64 miliar dollar AS (Rp 249 triliun) pada 2017. Satu jumlah yang cukup besar dalam skala bisnis tekfin yang masih terbatas.

Ingat bahwa hal itu terkait dengan banjir investasi bodong saat ini yang memakai baju penyelenggara investasi atau berkerudung koperasi. Hal yang patut dicermati adalah jangan-jangan kedua wadah itu sudah menjadi ajang pencucian uang (Paul Sutaryono, Kompas, 23/2/2017). Untuk menepisnya, penyelenggara bisnis tekfin patut menerapkan prinsip-prinsip mengenal nasabah (know your customer/KYC). Katakanlah, mengenai sumber dana investor dan rencana penggunaan dana oleh debitor. Arus dana dari hulu ke hilir itu layak senantiasa dilacak.

Keenam, terus mengawasi seluruh transaksi bisnis tekfin, termasuk audit teknologi informasi. Jangan lupa pula untuk melakukan audit SDM. Mengapa? Lantaran orang di belakang teknologi informasi juga merupakan salah satu sumber risiko teknologi informasi selain teknologi informasi itu sendiri.

Dengan menerapkan langkah antisipasi potensi risiko demikian, bisnis tekfin amat diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih tinggi dalam membiayai bisnis debitor segmen UMKM. Pun tekfin bakal lebih mampu mengerek tingkat inklusi keuangan yang kini mencapai 67,82 persen pada 2016. Tegasnya, dari 100 orang Indonesia, baru terdapat 68 orang yang dapat mengakses produk dan layanan jasa keuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar