Kamis, 27 April 2017

Prancis di Persimpangan Jalan

Prancis di Persimpangan Jalan
Rudi Natamiharja  ;   Program Doktor Universitas Aix Marseille-Prancis;
Dosen Hukum Internasional Unila, dan Jean Baptiste BING Program Doktor
Universitas Jenewa-Swiss
                                              MEDIA INDONESIA, 26 April 2017


                                                                                                                                                           

SETELAH pesta akbar pemilihan Presiden di Amerika Serikat mencuri perhatian dunia internasional pada akhir 2016, awal 2017 ini masyarakat internasional dihidangi peristiwa menarik yaitu, pemilihan umum presiden di Prancis. Negara Napoleon ini dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis serta menjunjung hak asasi manusia. Pesta demokrasi di negeri Napoleon baru saja mengakhiri putaran pertama, yaitu pada 23 April 2017. Dua pekan ke depan, tepatnya pada 7 Mei 2017, dua kandidat yang mendapat perolehan suara terbanyak akan kembali berlaga memperebutkan kursi orang nomor satu di Prancis. Putaran pertama ini diramaikan 11 calon presiden, dengan hasil perolehan suara: Emmanuel Macron (24%), Marine Le Pen (21,3%), Francois Fillon (20%), Jean-Luc Melenchon (19,6%), Benoit Hamon (6,4%), Nicolas Dupont-Aignan (4,7%), Jean Lassalle (1,2%), Philippe Poutou (1,1%), Francois Asselineau (0,9%), serta Nathalie Arthaud (0,6%), dan Jacques Cheminade (0,2%). Untuk diketahui, bahwa dalam sistem pemilihan umum di Prancis, setiap orang dapat maju menjadi kandidat presiden dengan syarat mendapatkan dukungan dari sekurang-kurangnya 500 suara wali kota.

Berdasarkan hasil pemilihan suara secara langsung oleh warga negara Prancis, Emmanuel Macron dan Marine Le Pen berhak untuk maju pada putaran kedua (putaran akhir) yang akan digelar pada 7 Mei 2017 mendatang. Dua hal yang menarik dalam pemilihan umum Presiden Prancis kali ini, pertama, dengan hasil tersebut, perpolitikan Prancis yang telah berjalan sejak 1958 di bawah Republik ke-5 telah berubah, yaitu dari tarik-menarik antara sayap kanan dan sayap kiri menjadi adu kekuatan konsep keterbukaan dan ketertutupan sehingga pada tahun ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah pemilu, sayap kanan dan kiri tumbang pada putaran pertama. Kedua, gagasan dari dua kandidat yang masuk pada putaran kedua saling bertentangan. Macron dikenal dengan keterbukaannya sedangkan Le Pen dengan ketertutupan atau dengan istilah lain, yaitu nasionalis.

Emmanuel Macron, mantan menteri ekonomi dan industri di era kepemimpinan presiden saat ini (Francois Hollande), dikenal dengan gerakan keterbukaannya. Politik keterbukaan ini mencakup bidang sosial, politik, dan ekonomi. Ia berhasil memenangi pertarungan di kota-kota besar, tempat notabene wilayah yang telah memiliki perekonomian stabil dan baik. Menurutnya, Prancis harus tetap menjadi negara yang terbuka secara internasional, menjalankan perdagangan internasional dengan semua pihak, menerima pendatang untuk mendorong perekonomian, dan tetap mengukuhkan diri sebagai salah satu negara anggota Uni Eropa. Ia berhasil maju dengan memikat golongan partai sayap kanan dan sayap kiri. Ia menempatkan dirinya masuk ke semua kalangan dan golongan. Yang menarik bagi dunia internasional ialah majunya Marine Le Pen ke putaran kedua dengan peroleh suara, yaitu 21,3% mengalahkan para pemain lama. Ia merupakan pemain baru dalam kancah perpolitikan Prancis, yaitu sejak 2011. Ia berhasil menarik simpati pemilih dengan konsep barunya, yaitu nasionalisme. Ia mengusung idenya agar Prancis menjadi negara yang lebih menutup diri dan menentang segala jenis hubungan internasional yang akan memperlemah posisi Prancis.

Idenya ini memang unik, tetapi hal ini bukan tanpa dukungan. Terbukti ia telah berhasil membawa partai politiknya (Front National) menempati urutan kedua dan maju pada putaran akhir. Menurutnya, Prancis harus meninjau kembali kebijakan negara menjadi anggota Uni Eropa. Ia ingin membawa Prancis keluar dari Uni Eropa melalui jalur referendum. Bergabung dengan Uni Eropa justru telah menjadikan para penguasa Uni Eropa mendikte kebijakan-kebijakan mereka terhadap anggotanya. Penguasaan perekonomian oleh golongan tersebut sangat tidak menguntungkan Prancis. Oleh karena itu, ia pun menggagas untuk kembali kepada mata uang franc dan meninggalkan mata uang euro. Ia memandang juga keterbukaan terhadap para pendatang asing merupakan hal yang memperlemah posisi warga negara Prancis dan menghilangkan jati diri yang sebenarnya.

Dukungan terhadap Le Pen pun semakin kuat terutama ia menang di daerah atau kota-kota kecil. Kota-kota tersebut sangat khawatir terhadap ekspansi dan penguasaan wilayah mereka oleh kota besar serta Uni Eropa yang akan mengambil alih kontrol perekonomian. Selain itu, isu terorisme yang saat ini sedang hangat di Prancis telah menjadi alat penguat suara Le Pen. Serangan teroris secara bertubi-tubi yang tiada henti dari tahun ke tahun selama kurun waktu lima tahun terakhir berhasil mengangkat suara Le Pen. Kehawatiran dari gelombang imigran yang datang dan mengganggu stabilitas negara telah menjadi salah satu faktor mengapa ia dapat memikat para pemilih. Bagi Le Pen, menutup diri dari luar merupakan salah satu jalan mengurangi teror yang menghantui penduduk Prancis.

Nasib Prancis menjadi negara terbuka atau tertutup akan diputuskan dalam dua pekan ke depan, pada 7 Mei 2017 pada jam 20.00 waktu setempat. Tentunya hal ini akan berdampak terhadap hubungan Indonesia dan Prancis serta hubungan Prancis dengan negara-negara lainnya, apakah akan menjadi kukuh atau malah sebaliknya. Namun, perlu diingat bahwa pada 11 dan 18 Juni 2017 akan ada pemilihan legislatif (assemblee nationale) atau setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia. Jika Macron atau Le Pen terpilih menjadi Presiden Prancis tetap salah satu yang terpilih dari mereka harus mempertimbangkan kekuatan yang akan menguasai legislatif. Saat ini Macron dari Partai En Marche tanpa wakil di legislatif dan Le Pen dari Partai Front National hanya memiliki 2 wakil dari 577 anggota legislatif. Oleh karena itu, sangat kecil mereka dapat menguasai legislatif pada saat pemilihan nanti yang notabene dikuasai Socialiste, partai Presiden Francois Hollande. Le Penpun cukup sulit mendapatkan peluang menjadi Presiden Prancis karena mayoritas sayap kiri dan kanan berpihak kepada Macron dan akan memberikan suaranya. Apakah hasil pemilihan umum di Prancis akan bernasib seperti di Amerika, yakni kekhawatiran terpilihnya Trump menjadi kenyataan? Semua kemungkinan dalam politik dapat terjadi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar