Rabu, 26 April 2017

Rukun

Rukun
Putu Setia  ;   Pengarang ;  Wartawan Senior Tempo
                                                      TEMPO.CO, 22 April 2017



                                                           
Menjelang pemilihan kepala daerah Jakarta, situasi menegangkan. Kapolri Tito Karnavian menjelaskan langkah antisipasi untuk mengamankan Jakarta. Ada gerakan orang daerah yang akan datang ke Jakarta dengan dalih mengamankan tempat pemungutan suara. Kapolri menyatakan hal itu harus dicegah. Polisi mengeluarkan maklumat dan meminta kepolisian di daerah membendung gerakan itu. Polisi dan tentara siaga.

Ternyata tak terjadi apa-apa. Ketika warga Jakarta datang ke tempat pemungutan suara, suasana sangat tenang. Tak ada gerakan massa. Mungkin takut dengan kesiagaan polisi dan tentara atau memang gerakan itu cuma gertak. Cukup mengagetkan bagi mereka yang sempat bulu kuduknya merinding sebelum pilkada. Dan puncak kekagetan adalah hasil hitung cepat pilkada yang riuh ini. Pasangan inkumben Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat tumbang, dikalahkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Kenapa Basuki alias Ahok yang banyak dipuji hasil kerjanya membangun Jakarta bisa kalah? Sudah banyak dibicarakan. Termasuk kemungkinan--namanya saja mungkin, jadi belum tentu benar--kekalahan Ahok disebabkan para pendukungnya di media sosial begitu ganas menyerang dan merendahkan Anies. Misalnya, mereka menyebut Anies sebagai menteri yang dipecat presiden, Anies yang tidak suka kebinekaan, Anies yang tidak toleran, bahkan sampai mempelesetkan ungkapan "merajut tenun kebangsaan"--yang dipopulerkan Anies--menjadi "merajut tenun kebangsatan". Kata-kata jorok yang menyerang pribadi Anies itu memukul balik.

Kini, bisakah kita melupakan perang caci-maki di media sosial? Pilkada Jakarta ini memang pilkada paling gila yang sumpah-serapahnya disalurkan lewat media sosial. Mereka yang mengumbar caci itu bukan orang sembarangan. Mereka orang-orang cerdas dengan profesi bagus. Kalau saja mereka hanya memuji calon yang didukungnya, tentu wajar, meski cara memujinya juga keterlaluan. Namun, kalau pujian itu disertai dengan menghina calon lawannya, ini lebih keterlaluan. Mereka akhirnya menelanjangi dan menghina dirinya sendiri.

Harus bisa hal ini dilupakan untuk kembali merajut tenun kekerabatan. Kalau Anies dan Ahok saja sudah berpelukan dan bersama-sama menyusun anggaran untuk pembangunan Jakarta pada tahun depan, kenapa para pendukung keduanya masih tetap bersitegang? Cuitan di media sosial seharusnya bisa lebih adem setelah pilkada berlalu dengan cara saling melupakan cuitan sebelumnya. Mungkin tidak bisa serta-merta, perlu pendinginan, misalnya mencuit soal bola, baik liga di Eropa maupun liga nasional yang sedang berlangsung. Kita membutuhkan cuitan yang adem untuk menunjukkan bahwa kita punya budaya komunikasi yang baik. Leluhur kita mengajarkan untuk berbicara sopan jika pembicaraan di tempat ramai. Media sosial adalah balai keramaian di mana kita diuji apakah bisa menempatkan diri secara terhormat atau tidak.

Gubernur baru Jakarta sudah terpilih. Ahok menyatakan kekalahannya karena "campur tangan Tuhan" dan dia minta pendukungnya untuk tidak bersedih. Anies menyebut Ahok bukanlah lawan, tapi teman yang akan diajak bekerja sama membangun Jakarta, kota yang menjunjung tinggi kebinekaan. Yang memenangi pilkada Jakarta ini bukan kelompok radikal, dan itu sudah dikatakan Direktur The Wahid Foundation Yenny Wahid kepada Wakil Presiden Amerika Serikat Michael Richard Pence saat berdialog dengan tokoh lintas agama di Masjid Istiqlal.

Masih banyak hal yang perlu kita kerjakan untuk bangsa ini. Mari rukun di dunia maya dan dunia nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar