Rabu, 31 Mei 2017

Pezina yang Diampuni: Belas Kasih dalam Islam

Pezina yang Diampuni: Belas Kasih dalam Islam
Afi Nihaya Faradisa  ;   Siswi SMA Gambiran, Banyuwangi yang tulisan-tulisannya di Facebook mengenai Identitas dan Keberagaman menuai banyak reaksi
                                                      DETIKNEWS, 29 Mei 2017



                                                           
"Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sebuah sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya (untuk digunakan menimba air). Ia pun diampuni karenanya." (HR. Muslim).

Banyak yang meragukan Islam sebagai ideologi kelembutan, terutama ketika Indonesia dan dunia terus dikejutkan oleh serangkaian insiden berdarah yang mengatasnamakan agama ini.

Namun, jika kita menelisik sedikit saja lebih dalam, kita akan menemukan bahwa salah satu doktrin sentral Islam sebenarnya memang berputar pada prinsip belas kasih.

Kalimat basmalah, yang merupakan pembuka surat-surat Al-Qur'an dan doa yang paling sering diucapkan umat Islam sedunia, mengandung dua sifat utama Tuhan: "Maha Pengasih" dan "Maha Penyayang". Kalimat ini menjadi bukti paling tegas bahwa kasih sayang adalah jiwa dari seluruh ajaran Islam.

Kisah pezina yang diampuni karena belas kasihnya itu mengandung banyak pesan. Pertama, anjing adalah hewan yang secara tradisi dianggap najis dalam Islam. Belas kasih terhadap makhluk yang dianggap hina sekali pun ternyata memiliki arti.

Kedua, zina juga adalah dosa yang secara tradisi diganjar hukuman berat, mulai dari cambuk hingga rajam. Namun, belas kasih senilai seteguk air dianggap mampu menebus 'dosa' tersebut.

Yang menarik, tidak ditemukan kisah serupa yang melibatkan dosa lain seperti membunuh dan merampok, yang sudah pasti mengabaikan belas kasih.

Kisah tadi bukanlah satu-satunya dalam Islam. Banyak kisah lainnya yang memiliki narasi serupa, yang mengindikasikan bahwa belas kasih dibayar dengan amat mahal dalam Islam.

Kitab Tsalasatul Ushul (Tiga Landasan Utama) karya Muhammad Abdul Wahab (yang sering dikaitkan dengan Wahabisme, sekte terkeras dalam Islam saat ini), misalnya, menceritakan satu kisah di mana seseorang ditolak seluruh ibadahnya, namun diampuni karena menyelamatkan seekor lalat yang tenggelam di sebuah gelas.

Kitab ini bahkan juga mengutip dorongan untuk berbelas kasih kepada orang kafir sekali pun. "Kasihilah yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu", demikian bunyi lafadz sejumlah hadits yang menjadi dasarnya.

Sayyidina Ali bin Abi-Thalib ra. juga pernah mengatakan: "Mereka yang tidak bersaudara dalam iman bersaudara dalam kemanusiaan."

Kitab Tadzkiratul Auliya (Kisah Para Wali) karya Fariduddin Atthar menyitir kisah lain tentang satu-satunya orang yang diterima ibadah hajinya oleh Allah justru karena membatalkan hajinya agar uang biaya haji itu bisa digunakan untuk menolong tetangganya yang kelaparan.

Kisah semacam itu mungkin akan jarang didengar dan cenderung tidak disukai di kalangan Islam legalistik yang memiliki pendekatan sangat kaku tentang benar dan salah.

Saya pribadi mengelompokkan kisah-kisah ini sebagai post-sharia Islam, atau Islam pasca-syariat. Islam yang tidak lagi berdebat soal percabangan hukum hingga ke tataran seperti batas aurat dan jumlah rakaat. Sejenis Islam level berikutnya yang telah melampaui aspek legal formal menuju sesuatu yang lebih esensial. Dan, esensi itu bernama belas kasih.

Agaknya tidak mengherankan jika tema ini juga ditemukan di semua agama besar dunia. Mulai dari Yesus yang berdiri membela pezina yang nyaris dihakimi massa, hingga Guan Yin yang dipuja luas di Asia Timur sebagai Dewi Belas Kasih yang mendengar penderitaan dunia.

Agama-agama di dunia ini mungkin berbeda pada tataran syariat dan legal formal, namun melebur dalam esensi yang sama ketika naik ke jenjang berikutnya. Yakni, cita-cita rahmatan lil 'alamin (belas kasih bagi semesta alam).

Meski sama-sama berjubah dan berjenggot, akan tetapi panutan kita dalam beragama adalah Muhammad SAW yang lembut, rendah hati, dan penuh belas kasih. Bukan Abu Jahal atau Abu Lahab yang licik, sombong, dan penuh amarah.

Salah satu beratnya menjadi muslim pernah dikatakan oleh Rasul: "Muslim ialah orang yang menyelamatkan orang lain dari gangguan lidah dan tangannya."

Masih suka memfitnah? Bergunjing? Menyakiti (bahkan membunuh) orang lain dengan lidah dan tanganmu? Muslimkah engkau?

Dengan pistol kita bisa membunuh teroris, tapi dengan pemahaman agama yang baik kita bisa membunuh terorisme.  

Pri dan Nonpri vs Toleransi

Pri dan Nonpri vs Toleransi
Sidik Nugroho  ;   Novelis dan Guru yang belakangan suka membuat
tulisan reflektif tentang pendidikan dan sosial;
Novel terakhirnya Ninja dan Utusan Setan (Gramedia Pustaka Utama, Januari 2017)
                                                      DETIKNEWS, 29 Mei 2017



                                                           
Pada 10 Desember 1980, Prof. Dr. Hamka, Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kala itu mengeluarkan pernyataan sehubungan dengan "gangguan serius terhadap stabilitas dan keamanan nasional". Dalam pernyataan itu ia menyebutkan bahwa gangguan itu adalah masalah warga negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa yang beberapa kali "mudah 'meletus' tanpa segera dapat diketahui latar belakangnya, tujuan pokoknya, maupun sasaran-sasaran yang terselubung di baliknya".

Pernyataan itu diakhiri dengan keyakinan Hamka atas sikap umat Islam yang menganggap pembauran bukanlah sesuatu yang baru, pun "Islam tidak membeda-bedakan asal-usul, ras, maupun keturunan seseorang". Pernyataan Hamka itu termuat dalam buku bunga rampai pemikiran berjudul Nonpri di Mata Pribumi, disunting H. Junus Jahja, diterbitkan Yayasan Tunas Bangsa, Jakarta, 1991. Buku yang memuat berbagai pandangan tentang etnis Tionghoa itu diwarnai pemikiran lima puluh tokoh pribumi.

Istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi' (kadang disebut 'nonpri' saja) sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia yang pernah hidup pada saat Presiden Soeharto berkuasa, atau yang mempelajari sejarah. Pada zaman itu terjadi beberapa perlakuan diskriminatif terhadap warga nonpri yang notabene adalah Tionghoa.

Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (alm.), yang tulisannya juga dimuat dalam bunga rampai itu, bersimpati kepada anak temannya keturunan Tionghoa yang susah bergaul dengan teman-temannya di sekolah, juga teman Tionghoa-nya yang lain yang KTP-nya diberi kode tertentu. Ia menyesal dan bertanya: "Mengapa masalah-masalah itu timbul pada teman-teman keturunan Cina? Kenapa tidak timbul pada teman-teman keturunan Arab yang juga keturunan asing?"

Pendidikan Kebhinekaan

Ada kisah yang hidup dalam ingatan banyak orang tentang seekor burung. Burung yang suka bernyanyi, tapi tak pandai membaca; burung yang suka terbang ke sana kemari, tapi tak mengenal tata krama. Burung itu ditangkap, dikandangkan, dididik oleh orang-orang yang ditunjuk raja, yaitu pandai emas, penulis naskah, dan pandai besi.

Setelah melewati beberapa proses pemeliharaan dan pendidikan agar menjadi cerdas, burung itu tak berubah. Ke dalam tubuhnya bahkan dimasukkan lembar demi lembar buku yang disobek. Namun, burung itu tetap bodoh di mata raja—tak bisa membaca, tak mengenal tata krama. Sampai akhirnya ia mati. Menjelang akhir dikisahkan: "Raja mengelus burung itu. Burung itu tidak mengeluarkan suara, lemah ataupun keras. Hanya bunyi kering halaman-halaman buku yang dibalik-balik yang terdengar di perutnya".

Itulah kisah The Parrot's Tale karya Rabindranath Tagore yang pertama kali terbit pada 1918. Oleh banyak kalangan, cerita itu dinilai memuat kritik dan ideologinya tentang pendidikan; bahwa pendidikan semestinya dikembangkan dari nilai-nilai dalam masyarakat, bukan pengaruh asing. Dengan kata lain, kearifan lokal dan budaya yang diwariskan leluhur pada masa lalu memegang peran penting sebagai dasar pengembangan pendidikan.

Soewardi Soerjaningrat adalah pendiri Taman Siswa yang mempelajari karya-karya Tagore. Sosok yang akrab disebut Ki Hajar Dewantara itu memulai Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Ia membuat kurikulum sendiri, coraknya nasionalis dan universal. Perguruan itu terus bergerak dan melebarkan sayap pada tahun-tahun berikutnya, sekolah-sekolahnya berdiri di beberapa kota di Jawa dan Sumatra.

Selain terpengaruh oleh pemikir pendidikan dari luar, kentalnya unsur kebatinan dalam gaya pendidikan Ki Hajar Dewantara juga terpengaruh Perkumpulan Selasa Kliwon. Perkumpulan yang dipimpin Pangeran Soeryamataram itu disebut sebagai penggagas berdirinya Taman Siswa.

Dalam Asas-asas dan Dasar-dasar Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan "berkewajiban memelihara dan meneruskan dasar-dasar dan garis-garis hidup yang terdapat dalam tiap-tiap aliran kebatinan dan kemasyarakatan". Tujuannya "untuk mencapai keluhuran dan kehalusan hidup dan kehidupan menurut masing-masing aliran yang menuju ke arah adab kemanusiaan".

Maraknya kebencian yang membawa-bawa etnis atau agama, juga masuk serta berkembangnya paham dan aliran-aliran dari luar yang intoleran, sudah sepatutnya menjadi bahan refleksi bersama. Kita memerlukan suatu pandangan yang nasionalis dan universal tentang kemanusiaan seperti pandangan Ki Hajar Dewantara—baik pribumi, maupun nonpribumi, keduanya sama-sama berhak tinggal di bumi.

Pancadarma adalah lima dasar penting yang diletakkan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa. Kelima asas itu adalah kemerdekaan, kebangsaan, kemanusiaan, kebudayaan, dan kodrat alam. Kelima asas itu, yang mirip dengan Pancasila, telah menyalakan semangat nasionalisme kaum muda yang dididiknya pada masa lalu.

Bila ditelusuri dan digali lagi, perjuangan dan ajaran Ki Hajar Dewantara pun kini bisa berperan penting sebagai upaya mendidik batin. Itulah yang tampaknya terabaikan. Banyak guru dan sekolah yang mungkin lebih suka berlomba-lomba mencetak prestasi dan meraih piala; tapi lupa, di bangsa ini, hari demi hari, persoalan yang kerap datang menghampiri adalah luka-luka batin.

Selain itu, radikalisme kian mewabah. Radikalisme mewabah tak hanya di sekolah, namun juga di tempat-tempat ibadah. Radikalisme, yang bertitik tolak dari ajaran-ajaran aliran agama dari luar, yang tak bercirikan semangat nasionalisme, kini dipelajari banyak kalangan. Paham-paham itu bersifat intoleran, tak sesuai Pancasila, dan berpotensi merusak kebinekaan di Indonesia.

Dimulai dari Keluarga

Toleransi bukan barang baru, dibutuhkan manusia sejak zaman dahulu. Perbedaan bahasa adalah satu di antara banyak perbedaan lain yang tak terelakkan ketika manusia makin memenuhi bumi. Kehidupan di bumi, tempat kaki berpijak, akan menjadi indah jika kita menerima orang lain apa adanya. Tidak perlu ada keangkuhan yang membuat kita tercerai-berai.

Di mana ada keangkuhan, segala perbedaan jadi tak indah, hanya membuat resah. Keresahan, kebencian, dan ketakutan akibat perbedaan dapat muncul atau justru ditepis dari dalam keluarga.

Film A Time to Kill (1989) yang diangkat dari novel John Grisham menyoroti keadilan yang timpang karena perbedaan ras. Film yang novelnya diilhami novel legendaris To Kill a Mockingbird karya Harper Lee itu mengajak merenungi bahwa rasisme dimulai dari keluarga, lalu merangkak ke dalam suatu masyarakat yang terbiasa hidup homogen. Jikalau sebuah keluarga kulit putih menanamkan pada anak di keluarga itu bahwa orang kulit hitam sama dengan hewan, si anak akan butuh waktu lama menghapus pemikiran itu.

Dengan banyaknya isu ras dan agama yang dimainkan dalam politik, dan seringnya politik dibahas dalam kehidupan sehari-hari, masihkah orangtua peduli untuk mengembangkan sikap toleran dalam keluarga?

Sikap toleran juga akan menjadi kunci bagi terciptanya kehidupan politik yang sehat. Pertarungan dalam politik jadi akan lebih menarik manakala yang dipertentangkan adalah perspektif para kandidat dalam mengelola kebijakan publik, pelayanan masyarakat, atau isu-isu lainnya. Isu ras dan agama, di mana saja, lebih sering memecah-belah.

Isu ras dan agama yang bertujuan menerbitkan kebencian pada salah satu pihak tidak akan menarik bagi publik yang memahami bahwa napas utama politik adalah pertarungan kepentingan.

Pada akhirnya, sikap toleran akan membuat seseorang memandang orang lain sama seperti ia memandang dirinya sendiri. Oei Seng Hat adalah nama teman penyair Sitor Situmorang yang ia tulis dalam puisinya Untuk Ivana dan Tan Joe Hoek. Dalam puisi itu, sang penyair menulis sudah mengenal Oei selama hampir lima puluh tahun di Tanah Batak. Sahabat masa kecilnya itu kemudian menjadi anggota marga Napitupulu, tapi tak mengubah nama dengan mengikutkan nama marga.

Lingkungan yang multikultural di keluarga dan masyarakat membuat sang penyair hidup dalam sikap toleran. Sebuah bait puisi itu kiranya menjadi renungan bersama:

Kini kita punya marga yang tunggal
Marga Indonesia kesatuan
dihibahkan oleh sejarah pengabdian
tak kenal warna, tak kenal darah   

Selasa, 30 Mei 2017

Bersikap terhadap Ancaman Eksistensi NKRI

Bersikap terhadap Ancaman Eksistensi NKRI
Hasanudin Abdurakhman  ;   Cendekiawan, Penulis; 
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                      DETIKNEWS, 29 Mei 2017



                                                           
Dalam waktu yang hampir bersamaan, ada 2 kejadian yang sangat mengkhawatirkan terjadi di Indonesia. Keduanya merupakan ancaman terhadap kewujudan kita sebagai bangsa. Pertama, serangan bom di Kampung Melayu. Kedua, kericuhan yang nyaris berkembang jadi kerusuhan besar di Jayapura.

Bom di Kampung Melayu jelas hasil kerja teroris. Demikian pula beberapa serangan sebelumnya. Apa yang diinginkan teroris? Kita tak tahu. Dengan logika kita tak mungkin bisa memahaminya. Juga tak akan kita temukan jawabannya kalau kita cari dalam ajaran Islam. Ajaran Islam tak mengajarkan orang untuk meneror. Teror dilakukan terhadap penduduk sipil tak bersenjata. Itu sama sekali bukan ajaran Islam.

Ajaran Islam membolehkan perang, dengan berbagai syarat. Salah satunya, perang hanya boleh dilakukan di bawah komando negara, bukan kelompok perorangan. Lebih penting lagi, perang dilakukan terhadap kelompok bersenjata (tentara), bukan terhadap orang-orang sipil tak bersenjata. Maka, tindakan teroris tadi sama sekali tak bisa dibenarkan dari sudut pandang ajaran Islam. Terlebih, mereka membunuh umat Islam sendiri.

Kericuhan di Jayapura berawal dari isu yang mengatakan adanya Alkitab yang dibakar. Berita tak jelas itu beredar luas, membangkitkan kemarahan. Kapolres yang mencoba menenangkan massa, terluka oleh amukan massa. Untunglah akhirnya massa bisa dibubarkan oleh aparat.

Dua kejadian itu adalah ancaman terhadap eksistensi NKRI. Teror itu jelas bertujuan menggoyahkan fondasi eksistensi kita. Terlebih di negara tetangga kita, Filipina, para teroris sudah lebih leluasa unjuk kekuatan, dengan menguasai kota. Sementara itu, kericuhan bisa dengan mudah meluas menjadi kerusuhan yang lebih besar, dan mengancam stabilitas keamanan, baik di tingkat wilayah maupun nasional. Itu adalah ancaman terhadap eksistensi NKRI.

Tak banyak yang bisa kita lakukan untuk mencegah teror, karena itu wilayah kerja aparat keamanan. Fokus kita terbatas hanya pada keselamatan diri dan keluarga kita. Tapi setidaknya kita bisa menegaskan bahwa teror ini bukan sesuatu yang patut didukung, khususnya oleh umat Islam.

Hal ini penting untuk diperhatikan. Kita harus menyadari bahwa masih ada saja sebagian kecil orang dari kalangan umat Islam yang mendukung teror dan terorisme. Sejumlah komentar di media sosial menunjukkan hal itu. Itu yang terdeteksi. Yang tidak terdeteksi bisa diperkirakan lebih banyak lagi.

Apa yang bisa kita lakukan terhadap mereka? Sekali lagi, tak banyak. Tapi kita bisa melakukan hal lain kepada kelompok-kelompok lain. Dalam situasi seperti ini sangat penting bagi kita untuk bersatu. Siapa yang harus bersatu? Kita yang masih cinta pada NKRI. Sebagian besar kita ini cinta NKRI. Kelompok-kelompok pendukung teror itu hanya segelintir saja.

Sayangnya, di antara kita sendiri masih ada berbagai ketegangan. Kita masih menyimpan kecurigaan. Kejadian di Jayapura tadi adalah indikasinya. Ada orang-orang yang masih percaya bahwa ada sejumlah orang dari kelompok lain yang memusuhi mereka. Ada orang yang dengan sengaja mau melecehkan kita. Kepercayaan seperti itu adalah potensi rusuh. Bila ada kejadian atau isu tentang kejadian pelecehan, maka ia bisa menjadi picu bagi sebuah kericuhan atau kerusuhan.

Dalam situasi ini penting bagi kita untuk saling meyakinkan bahwa kita ini satu. Kita ingin NKRI yang aman dan damai. Aman dari serangan orang-orang yang hendak merusaknya. Damai di antara berbagai komponen anak bangsa. Maka, kita harus saling menyampaikan pesan, itikad baik, bahwa kita menghormati saudara kita, dari agama dan golongan yang berbeda dengan kita.

Kita juga percaya bahwa mereka pun demikian terhadap kita. Kita harus membuang kecurigaan antaranak bangsa, menggantinya dengan keyakinan bahwa kita semua disatukan oleh keinginan untuk tetap bersama dalam wadah NKRI.

Khusus untuk umat Islam, kita perlu terus-menerus mengaskan kepada kelompok-kelompok awam bahwa teroris itu bukan pelaku ajaran Islam. Mereka bukan saudara kita, karena mereka tak segan membunuh kita. Maka tak boleh ada dukungan sedikit pun kepada mereka, dalam bentuk apapun.

Aman dan damailah Indonesia!

Mengeja Tanda Baca Kiai Sepuh

Mengeja Tanda Baca Kiai Sepuh
Akh Muzakki  ;   Sekretaris PW NU Jawa Timur; 
Guru Besar UIN Sunan Ampel, Surabaya
                                                        JAWA POS, 29 Mei 2017




                                                           
ADA dua kata yang beririsan makna: mengeja dan membaca. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengeja berarti melafalkan (menyebutkan) huruf-huruf satu demi satu. Membaca bermakna melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati).

Tentu membaca memiliki derajat kualitas yang lebih tinggi daripada mengeja. Namun, ujung dari dua kata itu adalah memahami atau mendapatkan pemahaman yang baik atas suatu objek. Untuk sampai ke pemahaman yang baik itu, ada prasyarat yang harus dipenuhi. Ada ejaan yang harus diikuti.

Beberapa hari belakangan, publik penasaran dengan ikhtiar para kiai sepuh se-Jawa Timur. Diawali dengan pertemuan 21 kiai sepuh yang kemudian melahirkan surat bersama yang ditujukan kepada Gus Halim Iskandar dalam kapasitasnya sebagai ketua DPW PKB Jawa Timur serta calon gubernur Jawa Timur pada pilkada 2018. Selanjutnya, isi surat tersebut lebih dikonkretkan lagi melalui serangkaian pertemuan para kiai sepuh di sejumlah titik di Jawa Timur: Pesantren Lirboyo, Kediri, dan Pesantren Genggong, Probolinggo (24/5/2017); lalu Pesantren Bumi Sholawat Lebo, Sidoarjo (25/5/2017).

Nah, untuk sampai pada pemahaman yang baik terhadap langkah para kiai sepuh itu, ada sejumlah ”tanda baca” yang harus dieja dan dibaca dengan penuh saksama. Dalam perspektif pakar linguistik Ferdinand de Saussure, sejumlah tanda baca tersebut berisi sekaligus berfungsi sebagai penanda (signifier) atas sejumlah kecenderungan yang menjadi petanda (signified).

Langkah para kiai sepuh itu ibarat tulisan-tulisan yang tersusun dengan maksud tertentu. Ada dua tanda baca penting yang dikirim para kiai sepuh melalui langkah-langkah itu. Pertama, tanda hubung. Tanda baca itu dikirim untuk menyambungkan unsurunsur internal yang berjumlah lebih dari satu. Dalam konteks Pilgub Jatim 2018, nama-nama yang mengemuka dari kalangan internal NU antara lain Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Halim Iskandar, dan Khofifah Indar Parawansa. Karena itulah, surat 21 kiai sepuh hanya ditujukan kepada Gus Halim Iskandar sebagai tokoh NU pimpinan partai yang sudah menyatakan diri sebagai cagub Jatim 2018, bukan ke partai lain walau kader NU tersebar lintas partai.

Tanda hubung dipakai para kiai sepuh untuk menyambungkan tokoh-tokoh politik NU. Kepentingannya, agar tidak bertabrakan, lalu berserakan. Jadi, pesan tanda hubung oleh para kiai sepuh sederhana: Mereka tidak memikirkan selain urusan rumah tangga keluarga NU sendiri.

Tidak ditemukan pernyataan dan atau klausul hasil musyawarah para kiai sepuh yang mengajak, apalagi memaksa-maksa, rumah tangga lain untuk mengikuti keputusan dan atau kesepakatan mereka. Yang mereka pikirkan dan tekankan hanya urusan rumah tangga sendiri yang jumlahnya sangat besar.

Tanda baca itu sekaligus menampik tudingan sejumlah pemerhati sementara ini bahwa para kiai sepuh sedang melakukan intervensi politik kepada masyarakat. Sebab, para kiai sepuh itu tidak sedang mengajak dan memaksa rumah tangga ”orang lain” untuk taklid buta. Bahwa kemudian yang lain menjadikan tanda baca itu sebagai referensi, sungguh keputusan itu merupakan pilihan rasional yang sangat dimungkinkan.

Tanda baca yang berupa tanda hubung tersebut terasa penting untuk dikirimkan para kiai sepuh menyusul besarnya jumlah kepengikutan (followership) NU. Akibatnya, NU muncul ibarat gadis cantik yang diperebutkan banyak pria, sejati atau bahkan hidung belang sekalipun. Yang datang mendekati NU dalam kaitan dengan kontestasi politik memiliki motif macam-macam. Mulai yang tulus, setulus pria sejati yang sedang mengharapkan cinta sejati sang gadis, hingga yang abal-abal.

Tanda hubung itu makin berarti saat dikaitkan dengan kebutuhan sinergi daripada kompetisi. Bahkan, PKB pun mengafirmasi fakta tersebut. Penjelasan Thoriqul Haq dari DPW PKB Jatim (Jawa Pos, 26/5) bisa menjadi bukti. ”Komunikasi sudah terjalin dengan baik antara Pak Halim dari legislatif dan Gus Ipul sebagai eksekutif. Para kiai tidak ingin kombinasi yang sudah klop itu terganggu dengan adanya perpecahan kubu dalam pemilih NU.”

Kedua, para kiai sepuh juga sedang mengirimkan tanda seru sebagai bagian dari tanda baca yang penting untuk diperhatikan. Tanda seru itu dikirim para kiai sepuh untuk menyeru dan memerintahkan kesungguhan buat merespons tantangan dan ancaman yang ada di depan mata.
Penggunaan tanda seru tersebut bisa dilihat dari delapan hasil musyawarah kubro para kiai sepuh di Pesantren Bumi Sholawat Lebo, Sidoarjo. Mayoritas membicarakan kondisi serta ancaman bangsa dan negara, mulai maraknya radikalisme-terorisme, mendesaknya penegakan keadilan, hingga pen- tingnya pendidikan keagamaan. Hanya satu bagian akhir yang membicarakan pilkada Jatim.

Alih-alih pecah keluarga, para kiai sepuh menyeru kaum nahdliyin beserta tokoh politiknya untuk mewaspadai tantangan dan ancaman itu. Tanda seru tersebut bak gayung bersambut. Gus Halim Iskandar yang awalnya didorong kader PKB Jatim untuk maju sebagai cagub akhirnya menerima pesan penting para kiai sepuh.

Dengan mendasarkan diri pada kaidah ushul fiqh ” assiyasatu mabniyatun ’ala ’aqidatiha (politik dibangun di atas dasar ideologi yang diyakini)”, dia menerima sepenuhnya dawuh para kiai sepuh. ”Saya yakin sebagai seorang santri, kader-kader PKB akan patuh pada dawuh- nya para kiai dan menjunjung tinggi garis keputusan partai,” tulis Gus Halim Iskandar dalam kolom opini Khidmat PKB kepada NU (Jawa Pos, 27/5/2017).

Tanda baca telah digelontorkan para kiai sepuh. Mengeja tanda baca itu adalah awal untuk bisa memahami makna simbolis yang terdalam di baliknya. Selanjutnya, pertanyaannya bersentuhan dengan bagaimana tanda baca itu digunakan? Dan, itu kembali kepada kecerdasan dan kebijaksanaan para pemangku kepentingan secara keseluruhan. Wallahu a’lam.

Kanak-Kanak yang Bengis

Kanak-Kanak yang Bengis
AS Laksana  ;   Cerpenis dan Esais, tinggal di Jakarta
                                                        JAWA POS, 29 Mei 2017




                                                           
PADA suatu hari di bulan Mei 1212, seorang anak gembala berusia dua belas tahun muncul di Saint-Denis. Dia menghadap Raja Philip II di istananya, membawa sepucuk surat untuk raja Prancis itu, dan mengatakan bahwa surat tersebut diantarkan sendiri oleh Yesus, yang datang menemuinya saat dia sedang menggembalakan ternak dan memintanya untuk pergi ke Jerusalem guna memimpin Perang Salib karena orang-orang dewasa telah gagal menjalankan urusan mereka.
Raja tak memedulikan ucapan bocah itu, tetapi Stephen, si anak gembala, begitu meluap gairahnya setelah perjumpaan dengan lelaki misterius di padang gembalaan dan kini menganggap dirinya sebagai pemimpin perang suci yang akan membawa kejayaan bagi agamanya. Dia berkhotbah dari satu tempat ke tempat lainnya dan para pengikutnya terus bertambah, semuanya kanak-kanak di bawah dua belas tahun.

Akhirnya, dengan pasukan berjumlah tiga puluh ribu kanak-kanak, Stephen memimpin perjalanan penuh kesengsaraan dengan tujuan akhir Jerusalem, sebuah kota suci jauh di seberang lautan sana, di belahan timur bola dunia. Kepada para pengikutnya, Stephen mengatakan bahwa air laut akan membelah, seperti yang terjadi pada Musa, dan memuluskan jalan bagi mereka.

Di puncak musim panas, mereka tiba di tepi Laut Tengah. Air laut tidak membelah saat mereka tiba di sana. Mereka menunggu beberapa hari, kehausan dan kelaparan, serta air laut tetap tidak membelah. Sejumlah anak menangis dan merasa dibohongi, yang lainnya memilih pulang serta menjadi kelaparan dan compang-camping di jalan. Namun, sebagian besar bertahan di tepi laut dan kemudian datang dua saudagar, menawarkan kapal-kapal untuk mengangkut mereka.

Begitulah mereka berlayar sebagai Tentara Salib anak-anak, membawa niat luhur untuk membebaskan Jerusalem dan mengajak orang-orang Islam masuk Kristen dengan cara damai. Dan mereka tidak pernah sampai ke kota suci yang mereka tuju. Sebagian mati karena kapal mereka karam, sebagian menenggelamkan diri di laut, dan sisanya dijual di Tunisia sebagai budak oleh dua saudagar yang memberi mereka kapal tumpangan.

Cerita itu adalah versi Children’s Crusade yang ada di dalam buku A History of the Children’s Crusade (1951) yang disusun Steven Runciman. Kebenarannya masih terus diteliti. Para ilmuwan saat ini beranggapan bahwa pasukan kanak-kanak itu bukanlah bagian dari Perang Salib, meskipun mereka juga mengucapkan sumpah sebagaimana yang diucapkan tentara-tentara salib. Tetapi, mereka tidak bergerak atas perintah Paus.

Di luar urusan itu, saya ingin menyampaikan bahwa orang-orang dewasa memang sering kali tidak tahu diri. Mereka membuat masalah dan nantinya akan melibatkan anak-anak untuk menyelesaikan masalah yang mereka buat. Sampai sekarang masih saja begitu. Orang-orang dewasa tetap suka membuat masalah dan akan seenaknya sendiri melibat-libatkan anak-anak.

Kita mendapati hal serupa beberapa hari lalu. Anak-anak digerakkan untuk berpawai menyambut Ramadan, dengan pakaian putih, dengan obor di tangan, dan dengan nyanyian riang diiringi tetabuhan. Mereka menyanyi bersama, ”Bunuh, bunuh, bunuh si Ahok! Bunuh si Ahok sekarang juga.”

Mereka menyanyikan seruan bengis itu dalam irama lagu, ”Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam. Menanam jagung di kebun kita.” Saya merasa otak saya buntu seketika. Mereka selalu seperti itu, menghalalkan cara apa saja, termasuk meminjam mulut innocent anak-anak untuk meneriakkan kekejian.

Saya pikir, negara harus menanggapi serius masalah itu. Anak-anak tersebut sudah memerintahkan pembunuhan. Entah kepada siapa perintah itu mereka tujukan, tetapi faktanya mereka sudah memberi perintah, ”Bunuh sekarang juga.” Itu perintah terburuk yang dikeluarkan mulut bocah-bocah.

Apakah para orang tua mereka menginginkan anak-anak itu mengembangkan perangai keji dan menjadi mesin pembunuh nantinya?

Anda boleh beranggapan bahwa itu hanya seruan kanak-kanak yang belum cukup umur dan belum memahami apa-apa yang mereka teriakkan. Saya juga ingin berpikir seperti itu dan meyakini bahwa teriakan tersebut hanya gertak sambal orang-orang frustrasi yang disalurkan melalui mulut anak-anak. Saya ingin percaya bahwa Ahok akan baik-baik saja; anak-anak itu sekadar berteriak asal-asalan, sekadar mencontoh perangai orang-orang yang lebih tua beberapa waktu lalu menjelang pilkada DKI.

Sekarang pilkada DKI sudah rampung, Ahok sudah kalah, dan kegilaan terus berlanjut. Mereka terus berteriak dan saya merasa ngeri terhadap pesan tersembunyi di balik seruan itu, pesan yang tak muncul di dalam teriakan tetapi terasa menggiriskan.

Pesan tak terucapkan itu adalah bahwa mereka sudah menyiapkan kader sejak dini, bahwa mereka sanggup membuat anak-anak menjadi monster, bahwa mereka sanggup melakukan apa yang tidak terpikirkan oleh orang-orang dewasa yang waras.

Jika Anda dewasa dan Anda waras, Anda tidak akan memiliki cita-cita untuk membuat anak-anak Anda menjadi pembunuh. Jika Anda dewasa dan Anda waras, tidak mungkin Anda akan mengizinkan anak-anak Anda ikut berpawai dan menyanyikan lagu seperti itu. Jika Anda dewasa dan pikiran Anda sehat, Anda akan lebih suka anak-anak Anda pergi ke museum, membaca buku di perpustakaan, menyirami tanaman bunga di pekarangan, atau bermain sundah mandah dengan teman-teman sebaya.

Musuh Rakyat Itu Baik

Musuh Rakyat Itu Baik
Seno Gumira Ajidarma  ;   Panajournal.com
                                                    INDONESIANA, 22 Mei 2017



                                                           
Matematika politik bisa berlangsung seperti berikut: jika mayoritas keliru, minoritas yang baik dan benar menjadi musuh rakyat. Dalam arti ini, musuh rakyat bermakna positif, dan jika mayoritas semacam ini memenangi pemilihan umum, demokrasi jelas menunjukkan kelemahannya. Plato sudah lama menunjuk demokrasi sebagai kapal berisi orang-orang bodoh, sejak Socrates harus dihukum mati minum racun berdasarkan pemungutan suara dari 501 anggota parlemen Athena pada 399 SM. Dengan ajaran logikanya, Socrates, antara lain, didakwa menista dewa-dewa Yunani.

Demokrasi bolong-bolong itu, terutama jika kualitas para pemilih terbatas, menjadi subyek Henrik Ibsen (1828-1906) ketika menulis Musuh Rakyat. Dalam lakon itu, peran Dr Stockman, yang menemukan bahwa sumber air warga kota beracun, memilih untuk mengungkap dan tidak mencabut pernyataannya, meski semua orang-berdasarkan kepentingan masing-masing-melarang dengan kegemparan dan kemarahan massa sebagai risikonya.

Terhadap naskah tahun 1882 berbahasa Norwegia itu, Arthur Miller (1915-2005) pada 1950 melakukan adaptasi dari terjemahan Lars Nordenson ke bahasa Inggris demi situasi sosial-politik Amerika Serikat saat itu. Tema sentral Musuh Rakyat adalah: (1) apakah jaminan melindungi kaum minoritas secara politis boleh dipinggirkan semasa krisis; (2) apakah visi seseorang atas kebenaran mesti menjadi sumber kebersalahan ketika massa mengutuknya sebagai hasutan setan yang berbahaya; (3) tidak akan pernah terjadi khalayak terorganisasi dapat menyetujui dengan tenang pribadi yang mendesak bahwa dirinya benar ketika mayoritas secara umum sudah jelas salah. (Miller, 1979 [1950]: 8-9).

Dalam drama itu, dengan perbandingan seluruh suara lawan dua suara saja atas pernyataannya bahwa sumber air mereka beracun, Stockman secara resmi dinyatakan sebagai musuh rakyat. Semula dari Norwegia ia bermaksud menyeberang ke Amerika Serikat, yang dianggap akan bisa menerimanya, tetapi kemudian memutuskan tetap tinggal.

"Organisasi massa berbentuk manusia tidaklah secara otomatis menjadi rakyat," ujarnya. "Aku melawan dusta tua bahwa mayoritas selalu benar; apakah mayoritas benar ketika menolak percaya bumi mengelilingi matahari dan membiarkan Galileo merangkak seperti anjing? Perlu lima puluh tahun bagi mayoritas untuk menjadi benar. Mayoritas tak pernah benar sampai berlaku benar. Satu-satunya cara diriku menjadi sahabat rakyat adalah mengambil tindakan atas korupsi itu, maka aku adalah musuh. Air itu beracun, beracun, dan beracun!" (ibid., 93-5, 122).

Ibsen, dan tentu juga Miller, disebut tidak mengakhiri situasi dengan penyelesaian, melainkan dengan undangan diskusi. Publik diminta berpendapat siapa lebih ideal: seorang moralis yang sedikit pun tidak berkompromi dengan keyakinan dan hati nuraninya ataukah seorang politikus yang tidak segan mengkompromikan keyakinannya asal tujuannya tercapai (sedang seorang moralis selalu terbentur-bentur). (Soekito, 1984: 129).

Dalam analogi teater atas politik, sama seperti ketika pertunjukan berlangsung, saat peristiwa politik bergulir, Wiratmo Soekito mencatat pertanyaan berikut: (1) apakah yang akan terjadi selanjutnya?, (2) saya tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi bagaimanakah terjadinya?, (3) saya tahu apa yang akan terjadi dan saya tahu pula bagaimana terjadinya, tetapi bagaimanakah publik akan memberikan reaksi mereka nanti?, (4) lihatlah, tetapi apa yang terjadi di sana? Suspense menonton teater berlangsung ketika publik mengikuti peristiwa politik.

Bedanya, jika pertunjukan Teater Koma selama tiga atau empat jam kini sudah dianggap terlalu lama, dalam contoh kasus yang diajukan Wiratmo, yakni Gerakan 30 September 1965, sampai hari ini belum juga jelas apa yang telah terjadi. Betapapun, meski politik dari teater modern berbeda dengan politik dari politik, disebutkan bahwa teater modern selalu tegas sikapnya: membela maupun menentang perilaku sosial tertentu di antara khalayak. Maka, segenap pementasan teater modern menjadi peristiwa politik (Soekito, 16/11/1986: 2).

Analogi Musuh Rakyat dengan peristiwa politik Indonesia kontemporer terhubungkan dengan posisi mayoritas, yang dalam dominasinya belum tentu menjadi representasi "kebenaran" selain kebenarannya sendiri. Tentu analogi ini juga berlaku bagi angka pembagian suara: bahwa hasil akhir, secara politik dan moral tidak merupakan kata akhir. Apalagi menjadi minoritas. Bahkan, apabila tinggal satu orang pun, dalam naskah itu, "Kamu berjuang demi kebenaran, makanya kamu sendirian, dan itulah yang membuatmu kuat. Kita adalah rakyat terkuat di dunia! … dan yang kuat mesti belajar untuk menjadi kesepian." (Miller, op.cit., 124-5).

Untuk yang terakhir itu, saya kira bukanlah situasi Ahok.

Terorisme Global Pemahaman yang Membawa Bencana

Terorisme Global
Pemahaman yang Membawa Bencana
Suhardi Alius  ;   Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI
                                               MEDIA INDONESIA, 30 Mei 2017



                                                           
KONSER musikus Amerika Serikat, Ariana Grande, di Manchester Arena, Inggris, Senin (22/5) malam waktu setempat, telah mengguncang dunia. Aksi terorisme di akhir konser itu diduga dilakukan dengan bom bunuh diri. Tragedi itu mengundang belasungkawa dari berbagai negara dan mengutuk aksi terorisme tersebut.

Hanya berselang 2 hari setelahnya, bom bunuh diri terjadi di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Polisi yang bertugas mengawal pawai obor menjelang Ramadan tak luput menjadi korban. Para petinggi ulama telah bersuara keras mengutuk pelaku ledakan bom itu.

Mengutip kalimat Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid, “Siapa pun pelakunya, mereka manusia yang sudah kehilangan nilai kemanusiaan. Sangat biadab dan jauh dari nilai-nilai agama.”

Aksi teror yang berusaha menarik perhatian dunia telah menjadi ciri khas terorisme. Hal itu menjadi mudah bagi mereka dan seakan mendapat ruang besar dengan kehadiran media yang lebih menyukai pemberitaan sensasional dan ko­mersial. Apalagi dengan aksesibilitas yang dihadirkan jejaring media sosial dan internet, masyarakat pun terkadang latah turut menyebarkan foto-foto korban.

Terorisme berkedok agama

Sebagian besar berasumsi menanggulangi terorisme dengan cara membombardir pusat ISIS di Irak maupun di Suriah. Namun, meskipun IS semakin terjepit di negara asalnya, seruan aksi teror di belahan dunia lainnya masih terus dilancarkan. Kelompok ini telah menebarkan teroris asing (foreign terrorist fighters/FTF) yang dapat mengancam setiap negara.

Keberadaan FTF semakin menguatkan apa yang pernah ditulis Ann E Robertson 10 tahun yang lalu (Terrorism and Global Security) bahwa terorisme yang terjadi sekarang ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, merupakan ancaman yang serius bagi keamanan global dewasa ini.

Keberadaan FTF yang dapat ada di setiap negara menjadi ‘pekerjaan rumah’. Indonesia sudah mengenal FTF sejak era Al-Qaeda. Eksploitasi situasi perang di belahan Timur Tengah atas nama agama menjadi alat untuk merekrut jejaring baru di Tanah Air. Kini, kehadiran FTF tidak hanya sekadar ideologi, solidaritas seiman, tetapi juga dengan cara iming-iming kesejahteraan. Hal itu terbukti dari keberangkatan WNI ke Suriah dengan membawa seluruh keluarganya karena diimingi penghasilan yang besar.

Disadari bahwa berbagai aksi te­ror yang mengguncang dunia kerap kali memakai jargon keagamaan, jihad dan pengutipan kitab suci (seperti Islamic State of Iraq and Syria-ISIS, Al-Qaeda, Al-Nusra, Taliban, dan Boko Haram). Eksploitasi wacana, ajaran, dan simbol-simbol keagamaan yang digunakan dalam aksi kelompok itu, menjadikan terorisme belakangan ini diidentikkan sebagai suatu ajaran agama.

Fenomena itu seakan mendapatkan pembenaran teori dalam analisis kultural, bahwa terdapat korelasi nilai-nilai/ideologi teroris dengan tindakannya. Namun, analisis ini hanya menegaskan ajaran dan doktrin agamalah yang menggerakkan mereka untuk melakukan aksi teror sebagai representasi ajaran agama. Tidak lagi mampu menjelaskan seperti pemahaman yang keliru terhadap situasi politik atau ketimpangan global, propaganda yang menggugah solidaritas identitas/seiman, hingga kondisi pelaku teror secara sosial atau pun ekonomi, atau kekecewaan psikis yang kemudian menggerakkannya melakukan aksi teror terhadap simbol-simbol yang dianggap mewakili sasaran.

Penanggulangan terorisme dapat diwujudkan melalui analisis rasio­nal dengan memandang terorisme yang timbul karena adanya berbagai faktor penyebab, seperti ekonomi, politik, psiko­logis dan ideologis, meskipun terorisme menemukan tempatnya berlindung di balik dalil-dalil agama.

Dalam perspektif inilah penanggulangan terorisme dapat berjalan efektif. Apa yang dilaksanakan BNPT dengan mengelaborasi pendekatan keras (penegakan hukum) dan pendekatan lunak (kegiatan pencegahan radikalisme di hulu dan deradikali­sasi di hilir) telah mendapat apresiasi internasional. Beberapa kali BNPT diundang negara lain untuk memahami pola penanggulangan terorisme di Indonesia.

Pemahaman keliru mengidentikkan kelompok seperti ISIS dan kelompok radikalisme-terorisme di dunia sebagai representasi nilai ajaran agama telah membawa bencana bagi kemanusiaan. Indonesia pun tidak lepas dari stereotipe itu. Padahal meskipun Indonesia sebagai mayoritas muslim, itu tidaklah merepresentasikan banyak teroris. Bahkan secara statistik jumlah FTF dari Indonesia di Suriah berkisar di atas angka 500 orang, jumlah yang sangat kecil bila dipersentasekan dengan jumlah populasi muslim di Indonesia. Hal itu menunjukkan Indonesia mampu mengatasi masalah dinamika terorisme dengan baik. Justru aksi-aksi terorisme di Indonesia datang dari luar, FTF, atau bagian dari jejaring global.

Mereka ini dengan berbagai propaganda berusaha merekrut, membaiat, mengiming-imingi, yang justru jauh dari ajaran agama yang selama ini hidup dalam masyarakat Indonesia, agama ialah rahmat bagi semua umat dan sekalian alam semesta. Semua agama di Indonesia memberikan pesan perdamaian dan toleransi.

Kompleksitas fenomena terorisme

Fenomena terorisme semakin kompleks. Begitu pula dengan faktor-faktor yang melandasi aksi terorisme. Dari persoalan sosial, ekonomi hingga menjadi pergerakan politik kelompok tertentu. Akibatnya, definisi terorisme semakin luas pula. Meskipun beragam faktor pendorong atau pemicu gerakan terorisme, terdapat karakteristik yang sama, yakni penggunaan kekerasan dalam aksinya.

Terorisme merupakan ancaman global yang mencekam nilai-nilai kemanusiaan. Seluruh negara telah menjadikan terorisme musuh bersama. Penanganan terorisme dari berbagai negara memang dengan beragam cara. Hal tersebut disebabkan kompleksitas terorisme mengha­ruskan berbagai model dan cara dalam penanggulangannya. Namun, di balik semua itu, ada aksi dan kolaborasi global dalam penanggulangannya.

Berbagai kerja sama bilateral, regional, dan internasional dilaksanakan sebagai upaya bersama dalam penanggulangan terorisme. Dengan kerja sama di segala bidang menjadi kunci dari menangkal penyebaran terorisme secara global. Terorisme dalam sejarahnya tidak saja merupakan bagian dari masyarakat sipil, tetapi juga dapat menjadi representasi negara dalam mencapai tujuan politik. Bagi Indonesia, perang melawan terorisme tidak menjadi dalih untuk melakukan intervensi, agresi, dan melanggar hak asasi manusia.

Efektivitas penanggulangan terorisme dapat berjalan bila mampu mengurai secara detail berbagai kompleksitas penyebab, faktor, dan motif para pelaku terorisme. Salah satu strategi BNPT ialah melakukan kontraradikalisasi dan penegakan hukum. Kontraradikalisasi misalnya melalui kampanye antiterorisme, kontranarasi melalui buku bacaan, booklet, serta menggalakkan berbagai kegiatan dialog dan pembekalan ke berbagai forum. Strategi kontraradikalisasi ditujukan terhadap masyarakat agar tidak terpengaruh kepada kelompok-kelompok radikal. Langkah ini bertujuan meningkatkan daya tangkal dan kewaspadaan masyarakat terhadap terorisme.

Sebagai negara majemuk dengan mayoritas muslim, Indonesia diharapkan mampu menangkal terorisme. Secara kuantitas mereka sedikit. Kita semua harus bisa mengendalikannya dengan memberikan pemahaman yang benar.