Minggu, 28 Mei 2017

Bahaya dari Dalam

Bahaya dari Dalam
M Subhan SD ;   Wartawan Senior Kompas
                                                          KOMPAS, 27 Mei 2017




                                                           
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?

Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan

Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka

(WS Rendra, ”Aku Tulis Pamflet Ini”, 1978)

Pesan Douglas MacArthur (1880-1964) patut direnungkan. Jenderal Amerika Serikat yang pernah bermarkas di Pulau Morotai, Maluku Utara, pada Perang Dunia II (1939-1945) itu mengingatkan bangsanya: ”Saya prihatin atas keamanan bangsa kita yang besar. Ancaman dari luar tidak begitu banyak, tetapi justru berbahaya dengan ancaman laten dari dalam.”

Ancaman dari dalam negeri memang lebih berbahaya. Sebab, amat laten, berbaur, sulit dideteksi, sehingga kita tidak tahu siapa lawan siapa kawan. Itulah yang belakangan ini terasa ketika Negara Republik Indonesia (NKRI) berada dalam ancaman.

Misalnya, ada sinyalemen untuk mengganti ideologi Pancasila. Pemerintah pun jelas bersikap tegas. Presiden Joko Widodo memperlihatkan sinyal keras dengan menggunakan diksi ”gebuk” terhadap pihak-pihak yang mengancam NKRI. Melihat gaya Jokowi selama ini yang kalem, penggunaan diksi ”gebuk” sebetulnya membuat kaget. Namun, tampaknya Jokowi memilih diksi ”gebuk” mengingat situasi kenegaraan-kebangsaan saat ini nyaris tak karu-karuan.

Soalnya istilah ”gebuk” agak minor dan kontroversial. Pertama kali dilontarkan Presiden Soeharto pada 13 September 1989. Di pesawat DC-10 yang terbang setelah kunjungan ke Uni Soviet dan Yugoslavia, di ketinggian 30.000 kaki di atas permukaan laut, saat menjawab pertanyaan wartawan, Soeharto mengatakan, ”Silakan melakukan apa saja, sampai mengganti saya, jalannya sudah ada, yaitu melalui cara konstitusional. Namun, kalau dilakukan di luar itu, apakah ia seorang pemimpin politik atau jenderal, siapa saja akan saya gebuk!”

Jokowi melontarkan istilah ”gebuk” di depan pemimpin redaksi di Istana Merdeka, 17 Mei 2017. Lalu di depan 1.500 anggota TNI di Natuna, Kepulauan Riau, dua hari kemudian. ”Kalau ada yang keluar dari Pancasila, dari Undang-Undang Dasar 1945, dari NKRI, dari kebinekaan kita, itu hal yang sangat fundamental sekali. Kalau ada ormas yang seperti itu, ya, kita gebuk!”

Memang, ada penggunaan istilah sama. Namun, suasana batin dan targetnya tidak sama. Jika Soeharto menyasar pihak-pihak yang hendak menggantinya (suksesi kepemimpinan nasional) secara tidak konstitusional, Jokowi menyasar pada kelompok tertentu yang hendak mengganti ideologi Pancasila dan NKRI. ”Konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul. Namun, semua harus tetap dalam koridor konstitusi. Yang melawan konstitusi akan digebuk. Kalau PKI nongol, gebuk saja. Ketetapan MPR jelas soal itu,” ujar Jokowi.

Tampaknya saat ini tindakan ”gebuk” (tentu dalam koridor hukum) terasa pas terhadap aksi-aksi teror. Teraktual adalah aksi teror peledakan bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam. Lima orang tewas, terdiri dari tiga polisi dan dua orang yang diduga pelaku. Aksi teror bom tersebut makin menambah suram negeri ini setelah beberapa waktu lalu menguat isu radikalisme atau sektarianisme di panggung politik.

Beberapa tahun ini panggung politik terlalu berisik, terkhusus Pilkada DKI Jakarta yang baru usai April lalu.  Kontestasi pilkada yang kemudian dimenangi pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sungguh gaduh karena faktor Basuki Tjahaja Purnama. Basuki (bersama Djarot Saiful Hidayat) memang kontroversial: dipuja karena berkinerja bagus selama memimpin DKI Jakarta 2014-2016 sekaligus dibenci karena dianggap bersikap kasar dan arogan.

Basuki kemudian tersandung kasus penodaan agama yang mengakibatkan dia dihukum dua tahun penjara. Dalam Pilkada DKI Jakarta, isu primordial dan sektarian menguat. Sampai-sampai membuat masyarakat terbelah, kohesi sosial renggang, kebinekaan pun dikorek-korek, bahkan ideologi Pancasila dan NKRI terancam.

Kasus Basuki seakan membuka kotak pandora. Tiba-tiba kebinekaan menjadi sebuah kecemasan. Di beberapa daerah muncul gerakan reaktif. Di Jayapura, Papua tiba-tiba ada kerusuhan gara-gara diisukan ada kitab suci dibakar, Kamis (25/5).

Pemerintah pun cepat bergerak. Misalnya, menyiapkan pembubaran ormas yang dianggap tak sesuai dengan Pancasila.

Namun, ada pihak-pihak (termasuk para pakar) mengkritik bahwa pemerintah tidak bisa membubarkan ormas begitu saja, harus melalui proses hukum. Alih-alih membantu pemerintah menunjukkan jalan hukum yang mesti dilewati, mereka justru memilih menghadapi pemerintah. Seharusnya bantu, dong, pemerintah menemukan jalur yang benar dan tepat. Bukan malah menuding-nuding pemerintah.

Apalagi ada sinyalemen tidak sedikit orang-orang permisif atau mungkin radikal berada di institusi negara. Barangkali mereka tidak ingat Pancasila sebagai jiwa bangsa yang menjunjung nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan karena selama 19 tahun era reformasi ini terlupakan. Mengandalkan para politisi rasanya sulit kalau cara berpikirnya cuma kekuasaan. Bisa jadi mereka justru memanfaatkan gerakan-gerakan tersebut demi kuasa. Kalau sudah demikian, ancaman dari dalam yang tersembunyi tersebut—seperti pesan MacArthur—memang membahayakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar