Minggu, 21 Mei 2017

Ekonomi Kelautan, Mesin Pertumbuhan Baru

Ekonomi Kelautan, Mesin Pertumbuhan Baru
Rokhmin Dahuri  ;   Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Kemaritiman
                                                          KOMPAS, 20 Mei 2017



                                                           
Setelah 72 tahun merdeka, Indonesia masih tergolong negara berkembang dengan produk domestik bruto per kapita 3.540 dollar AS (Bank Dunia, 2016) dan kapasitas iptek kelas 3 (UNESCO, 2016). Untuk masuk negara maju dan makmur dengan kapasitas kelas 1, produk domestik bruto (PDB) per kapita minimal 11.750 dollar AS. Agar Indonesia tidak terjebak negara berpendapatan menengah (middle income trap), pertumbuhan ekonomi harus di atas 7 persen per tahun.

Selama lima tahun terakhir, kita hanya tumbuh 5 persen per tahun. Dengan jumlah penduduk 260 juta orang (terbesar keempat di dunia), banyak berusia muda, bonus demografi 2020–2040, dan kekayaan alam melimpah, Indonesia mestinya bisa tumbuh lebih tinggi dibandingkan India, Filipina, Myanmar, dan emerging economies lain yang tumbuh di atas 7 persen per tahun.

Caranya dengan revitalisasi seluruh sumber pertumbuhan ekonomi dan secara simultan mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru, termasuk ekonomi kelautan.

Potensi ekonomi kelautan

Ekonomi kelautan adalah seluruh aktivitas ekonomi di wilayah pesisir dan lautan serta aktivitas ekonomi di wilayah darat yang menggunakan bahan baku dari ekosistem pesisir atau lautan (Dahuri, 2007; Kildow, 2010).

Ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan: perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, ESDM, pariwisata bahari, perhubungan laut, industri dan jasa maritim, kehutanan pesisir, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, serta SDA kelautan nonkonvensional.

Potensi total nilai ekonomi kesebelas sektor itu 1,35 triliun dollar AS per tahun, 1,5 PDB Indonesia saat ini atau 7 kali APBN 2017. Potensi lapangan kerja 45 juta orang. Tahun 2014 tingkat pemanfaatan kesebelas sektor kelautan baru 25 persen total potensi.

Pemerintahan Jokowi-JK mengusung kemaritiman sebagai salah satu pilar utama program pembangunan dan bertekad menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Harapannya, Indonesia tidak hanya sejahtera dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, tetapi juga menjadi teladan dalam mengelola kawasan lautnya.

Ada empat kebijakan yang diusung pemerintahan Jokowi–JK, yaitu kedaulatan, keamanan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Presiden mendirikan Kementerian Koordinator Kemaritiman untuk mengakselerasi dan mengharmoniskan pembangunan kelautan nasional.

Sayangnya, hingga kini belum ada peta jalan dan cetak biru pembangunan kelautan nasional. Akibatnya, kementerian di bawah koordinasi Kemenko Maritim berjalan sendiri-sendiri. Pembangunan kelautan seolah identik dengan penenggelaman kapal ikan asing, moratorium kapal besar dan modern, larangan pukat hela dan tarik (cantrang) yang digunakan mayoritas nelayan, larangan kapal pengangkut kerapu hidup, dan larangan menjual lobster dan kepiting di bawah ukuran tertentu. Ibarat mobil, pembangunan kelautan terlalu ”ngerem”, sedikit sekali ”gas”-nya.

Akibatnya, 16 pabrik surimi di sepanjang pantai utara Jawa gulung tikar, pabrik-pabrik pengolahan ikan di seluruh kawasan industri perikanan kekurangan bahan baku dan bangkrut. Nilai ekspor turun drastis, sebaliknya impor ikan melonjak. Pajak dan kontribusi sektor kelautan dan perikanan menurun; ratusan ribu nelayan, pembudidaya ikan, karyawan pabrik pengolahan ikan, dan para pedagang ikan menganggur. Kehidupan masyarakat perikanan kian sengsara.

Presiden sudah berupaya merespons masalah di atas dengan menerbitkan Inpres Nomor 7 Tahun 2016 dan Keppres No 3/2017 tentang Percepatan Industrialisasi Perikanan Nasional, menginstruksikan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kementerian terkait merevisi seluruh kebijakan yang menghambat usaha di bidang perikanan.

Peta jalan

Pembangunan kelautan nasional harus diluruskan menuju ke pembangunan kelautan berkelanjutan (sustainable maritime development). Suatu paradigma pembangunan kelautan untuk kesejahteraan manusia, pertumbuhan ekonomi tinggi dan inklusif, lapangan kerja, dan daya saing sesuai batas-batas kelestarian SDA, sertadaya dukung lingkungan pesisir dan lautan.

Pada tataran praksis, pembangunan kelautan berkelanjutan bisa diwujudkan dalam tiga program utama: revitalisasi seluruh sektor dan bisnis kelautan, pengembangan sektor dan bisnis kelautan di wilayah baru, dan pengembangan sektor dan bisnis kelautan baru. Ketiganya ini harus meningkatkan produktivitas, daya saing, dan keberlanjutan tiap sektor perikanan.

Berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan tersebut, di sektor perikanan tangkap, larangan penggunaan pukat hela dan tarik harus diubah menjadi pengendalian jumlah kapal dan cara operasi di setiap wilayah perairan.Alih muatan ikan di tengah laut (transhipment) sepanjang ikannya didaratkan dan diproses di Indonesia harus segera dihidupkan kembali.

Segera izinkan kapal ikan berukuran 200-400 gros ton beroperasi untuk menangkap ikan di perairan laut lepas, laut dalam, wilayah laut perbatasan, dan ZEEI yang jadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) kapal-kapal ikan asing. Di perairan laut yang overfishing, seperti Selat Malaka, utara Jawa,dan selatan Sulawesi, jumlah kapal ikan (fishing effort) harus dikurangi sampai potensi produksi lestari (maximum sustainable yield= MSY).

Sebaliknya, perlu penambahan kapal ikan di wilayah perairan yang masih underfishing, seperti barat Sumatera, selatan Jawa, Laut Natuna, Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan ZEEI.Secara nasional, pada 2016 produksi perikanan tangkap dari laut 6,6 juta ton atau 70 persen dari MSY (9,93 juta ton per tahun).

Perikanan budidaya

Peningkatan produksi lebih leluasa di sektor perikanan budidaya, khususnya budidaya di perairan laut (mariculture) dan perairan payau (tambak).Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur (perikanan budidaya) terbesar di dunia, 100 juta ton per tahun dengan nilai ekonomi 200 miliar dollar AS per tahun.Tahun lalu total produksi akuakultur 15,7 juta ton atau 16 persen total potensi produksi.

Jika kita mampu mengusahakan 100.000 hektar tambak udang vannamei intensif (3,5 persen total potensi luas tambak) dengan produktivitas 40 ton/ ha/tahun, bisa diproduksi 4 juta ton per tahun. Dengan harga udang on-farm 5 dollar AS per kilogram, bisa dihasilkan 20 miliar dollar AS per tahun. Bandingkan dengan nilai ekspor seluruh produk perikanan Indonesia tahun lalu yang hanya 3,5 miliar dollar AS.

Tambak intensif 100.000 ha itu bisa menampung 400.000 pekerja. Belum lagi tenaga kerja di industri hulu dan hilir.

Masih banyak komoditas akuakultur mahal dan cocok dibudidayakan di tambak, seperti udang windu, ikan bandeng, kerapu lumpur, nila salin, kepiting, dan rumput laut. Di samping itu ada 24 juta perairan laut dangkal yang potensial dan sampai sekarang kita baru mengusahakan 200.000 ha. Industri pengolahan hasil perikanan harus terus diperkuat dan dikembangkan melalui peningkatan kualitas, diversifikasi, dan sertifikasi produk.

Selain merevitalisasi dan melakukan hilirisasi migas dan mineral yang ada di wilayah pesisir dan laut, sektor ESDM juga harus mengembangkan industri mineral dan energi kelautan yang baru, seperti mangan dan phosphate nodules, energi gelombang, pasang surut, arus laut, biofuel dari algae laut, dan ocean thermal energy conversion (OTEC).

Bila kita bench marking cara-cara Maladewa, Mauritius,Seychelles, dan Amerika Serikat yang sukses mendayagunakan pulau-pulau kecil, pulau-pulau kecil di Indonesia juga bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Negara bisa mendapat dana segar berupa uang jaminan hak guna pakai 35-50 tahun, dengan nilai 100 juta dollar AS-1 miliar dollar AS per pulau.

Program pembangunan tol laut yang mencakup pengembangan pelabuhan dan kapal angkut harus dibarengi dengan pembangunan kawasan industri dan pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa. Khususnya wilayah pesisir sepanjang ALKI-I, II, dan III.

Bioteknologi kelautan

Industri bioteknologi kelautan juga bisa kita kembangkan sebagai sumber pertumbuhan baru. Potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi dari industri teknologi informasi dan komunikasi.

Industri bioteknologi kelautan meliputi tiga cabang industri: (1) ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut sebagai bahan dasar untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya; (2) genetic engineering untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; (3) bioremediasi untuk mengatasi pencemaran lingkungan.

Sebagai negara dengan keragaman hayati laut terbesar dunia, Indonesia memiliki potensi industri bioteknologi kelautan terbesar juga. Sayang, hampir semua produk farmasi dan kosmetik yang berasal dari biota laut masih kita impor. Padahal, kita memiliki bahan baku yang melimpah.

Sektor industri dan jasa maritim yang sudah ada, seperti galangan kapal, pabrik jaring, dan kabel optik harus terus ditingkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saingnya.Selain itu, industri dan jasa maritim baru berbasis SDA kelautan nonkonvensional juga mesti kita kembangkan, seperti industri air laut dalam, gas hidrat (shale gas), perikanan, dan mineral laut dalam.

Agar agenda pembangunan kelautan di atas berjalan, dalam jangka pendek kita tingkatkan kualitas SDM kelautan melalui pelatihan dan magang di berbagai SMK, politeknik, balai latihan kerja, dan perusahaan industri kelautan. Dalam jangka panjang, kita perkuat dan kembangkan pelatihan dan penyuluhan.

Saatnya pemerintah menyediakan skim kredit perbankan dengan suku bunga dan persyaratan pinjam yang murah dan lunak untuk sektor-sektor ekonomi kelautan, memperbaiki iklim investasi, kemudahan berbisnis, dan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif.

Dengan peta jalan pembangunan kelautan, pertumbuhan ekonomi nasional 2018 dan 2019 niscaya mencapai 7 persen, dan pada 2030 Indonesia bakal menjadi poros maritim dunia yang makmur dan berdaulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar