Minggu, 21 Mei 2017

Meniadakan Pasal Penodaan Agama?

Meniadakan Pasal Penodaan Agama?
M Nasir Djamil  ;   Anggota Panja RKUHP Komisi III DPR RI
                                                    KORAN SINDO, 19 Mei 2017



                                                           
Vonis dua tahun diikuti hukuman kurungan badan bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ternyata berbuntut panjang. Selain upaya banding yang dilakukan Ahok dan Kejaksaan, vonis itu juga dijadikan alasan oleh sekelompok orang untuk menekan agar regulasi penistaan agama yang terdapat dalam Pasal 165a UU PNPS No 1/1965 dihapuskan.

Tidak hanya di Indonesia, bahkan beberapa negara lain termasuk PBB turut mendesaknya. Suatu hal yang tidak pantas sebenarnya, mengingat Indonesia memiliki kedaulatan hukum yang harus diakui dan dihormati. Berbagai alasan dikemukakan untuk menghapuskan beleid yang dikeluarkan Presiden Soekarno tersebut. Mulai dari alasan dikeluarkan pada saat darurat, dapat menjadi alat represi negara, pasal yang intoleransi, sampai dengan anggapan bertentangan dengan HAM, Pancasila, dan konstitusi.

Padahal, nyata-nyata Pasal penistaan agama telah diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 dan 2012. MK melalui Putusan No 140/PUU-VII/2009 pun menyatakan bahwa pasal tersebut tetaplah konstitusional alias tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan putusan tersebut, maka seyogianya kita menghormatinya dan tidak lagi menyatakan bahwa Pasal Penistaan Agama itu melanggar HAM, Pancasila, dan konstitusi.

Bukankah dalam negara hukum yang bermartabat kita selayaknya menghormati hukum yang ada, apalagi telah melalui proses pengujian norma konstitusi sebagai the supreme law of the land. Walau demikian, kita pun tidak menutup mata bahwa putusan MK juga memerintahkan agar Pasal Penistaan Agama diperbaiki rumusannya, mengingat mengandung kelemahan redaksional sehingga dapat menjadi pasal karet. MK pun memerintahkan pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan presiden, untuk melakukan perubahan tersebut.

Revisi RKUHP

Pasal Penistaan Agama telah dimasukkan dalam RKUHP yang saat ini sedang dibahas DPR dan pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dalam Bab VII mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama yang di dalamnya terdapat 6 pasal, yaitu Pasal 348 sampai dan 353.

Pasal mengenai penistaan agama terletak dalam Pasal 348 “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III”, sementara Pasal 349 berkaitan dengan pemberatan Pasal 348 dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara bagi yang memiliki maksud melakukan penghinaan agar diketahui umum. Jika dicermati, pasal tersebut sudah mengalami penghalusan kata, dari penodaan menjadi penghinaan.

Walau demikian, rumusan pasal tersebut masih terlalu karet dan subjektif. Karena itulah, Panja RKUHP Komisi III DPR pada 22 November 2016 meminta pemerintah untuk merumuskannya secara lebih ketat agar nanti penerapannya tidak bersifat subjektif. Selain itu, masukan dari organisasi keagamaan juga sangat dipertimbangkan, mengingat pasal tersebut cukup sensitif.

Ada beberapa usulan yang dapat diperdebatkan agar tidak menjadi pasal karet,

antara lain pertama menjadikannya delik material bukan formal, artinya harus ada akibat nyata dari penghinaan tersebut dalam bentuk keresahan masyarakat dan pendapat keagamaan organisasi agama resmi yang terkait.

Kedua, harus tegas maksud di muka umum itu adalah dalam forum eksternum bukan dalam forum internum.

Yang dimaksud forum eksternum adalah forum publik atau umum, sementara forum internum adalah forum internal keagamaan yang bersangkutan. Dengan demikian, dalam hal forum internum, tidak dapat dikenakan pidana.

Praktik di Beberapa Negara

Sebagaimana telah disebutkan, banyak pihak yang berkehendak menghapus Pasal Penistaan Agama dengan alasan perlindungan kekerasan berekspresi dan tren penghapusan di beberapa negara. Lembaga riset Pew Research Center pada 2014 menyebutkan, sekitar 26% atau seperempat negara di dunia memiliki hukum/kebijakan anti-penistaan agama. Sementara itu, satu dari 10 negara di dunia (13 persen) memiliki hukum yang melarang kemurtadan/ penyesatan.

Menurut Ali Salmande, negara-negara di Benua Eropa yang dikenal cukup “maju” dalam melindungi kebebasan berekspresi warganya masih banyak yang menggunakan aturan penistaan agama sebagai salah satu batasannya. Sebut saja Jerman, Austria, Polandia, Denmark, Irlandia, Italia, dan Yunani masih mempertahankan pasal- pasal penistaan agama atau sejenisnya di wilayahnya.

Dari yang secara tegas menyebut penistaan agama hingga yang lebih halus seperti penodaan nilainilai religius. Sanksi-sanksi terhadap pelaku pun beragam, seperti denda atau penjara. Sebagai gambaran, di Italia dan Irlandia, pelaku penista agama bisa dihukum dengan denda masing- masing senilai 309 euro (Rp4,3 juta) dan 25.000 euro (Rp350 juta). Sementara undang- undang di Denmark, Austria, dan Finlandia memberi sanksi pidana beberapa bulan.

Di Yunani bahkan lebih berat, ancaman hukumannya mencapai dua tahun penjara Bahkan di Inggris, blasphemy atau penistaan agama hanya diberikan pada agama tertentu, yakni agama Kristen yang di Inggris dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam struktur masyarakat. Hal ini tampak pada actus reus blasphemy yang dirumuskan “..... if it denies the truth of the Cristionan religion or of the Bible or the Book of Common Prayer, or the existence of God.” (Naskah Akademik RKUHP, 2015).

Contoh di Inggris ini yang tidak layak diikuti. Selain itu, Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa (yang dikenal sebagai pengadilan terbesar dan terkuat di dunia yang mencakup 47 negara Eropa, termasuk di antaranya 28 negara anggota Uni Eropa dalam berbagai kasus, menilai bahwa aturan penistaan agama di berbagai negara tetap boleh berlaku dan tidak melanggar HAM.

Misalnya dalam kasus Otto Preminger-Institut v Austria (1994), kasus Wingrove v United Kingdom (1996), kasus IA v Turkey (2005), yang intinya mengatakan perasaan religius umat beragama harus dilindungi terhadap upaya penistaan ajaran agamanya oleh pihak lain. Kebebasan berekspresi tidak bersifat absolut karena kebebasan ini harus juga dilaksanakan dengan tidak mengganggu “perlindungan terhadap hak individu orang lain”.

Tidak hanya di Eropa, di Thailand dan Malaysia dalam KUHP-nya (Chapter XV KUHP Malaysia dan Titel IV KUHP Thailand) juga mengatur Offenses relating to Religion yang mencakup perlindungan terhadap semua agama. Dengan melihat fakta tersebut, maka pandangan bahwa penghapusan Pasal Penistaan Agama sebagai tren global terbantahkan.

Karenanya, klaim PBB serta negara-negara lain agar Indonesia menghapus pasal tersebut adalah berlebihan dan tidak pada tempatnya. Mempertahankan Pasal Penistaan Agama dalam peraturan perundang-undangan kita merupakan bentuk nyata kesetiaan kita kepada Pancasila dan UUD 1945. Bukankah Pancasila sila satu tegas menyebut Ketuhanan Yang Mahaesa, demikian pula dalam Pembukaan UUD 1945, dan batang tubuhnya Pasal 29.

Karena itu, menjadi pertanyaan besar apabila ada yang berkeinginan menghapuskan Pasal Penistaan Agama. Bukankah itu sama saja membiarkan negara lepas urusan mengelola ketertiban dalam beragama. Bahkan, dapat dikatakan sama dengan ingin menghilangkan sila 1 Pancasila. Dengan demikian, siapa sebenarnya Pancasilais sejati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar