Minggu, 21 Mei 2017

Pemimpin dengan Masa Kanak-kanak yang Belum Selesai

Pemimpin dengan Masa Kanak-kanak
yang Belum Selesai
Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
                                                    KOMPAS.COM, 09 Mei 2017



                                                           
“If you cannot lead your self, you cannot drive others”

Kalimat itu ada di dalam buku Self Driving. Mudah-mudahan Anda pernah membacanya.

Hari-hari ini saya “bolak-balik” menjelajahi dua-tiga benua yang saling berhubungan.

Satu benua saya amati dari apa yang tengah dikerjakan istri saya, yaitu dunia kanak-kanak. Satu benua lagi ada dalam genggaman saya sehari-hari, yaitu dunia orang dewasa, para mahasiswa dan eksekutif.

Satu benua lainnya kita saksikan di televisi dan social media, yaitu dunianya para politisi, para pejabat publik dan para pengamat.

Tiga benua itu mewakili tiga zona waktu yang sama-sama kita jalani: The Past, The Present dan The Future.

Orang-orang tua yang sedang menari-nari di panggung politik telah berada dalam zona waktu “The Future” bagi kaum muda. Tetapi prilaku mereka mencerminkan "the past" yang mereka lewati.

Sementara di kampus, saya membimbing mereka yang masih hidup di hari ini dan memiliki keduanya (The Past & The Future). Apakah The Future keduanya sama? Rasanya tidak.

Di panggung politik maupun bisnis, orang-orang tua, sejatinya kaya masalalu, namun miskin masa depan. Dan sebaliknyalah kaum muda yang miskin pengalaman.

Masa Kecil Harus Selesai

Anda, saya, para mahasiswa dan anak-anak TK sama-sama melewati masa kecil. Dari ketidakteraturan menjadi sebuah keteraturan.

Kita semua melewati fase itu, dididik meregulasi diri karena hidup ini ada budaya, dan ada aturannya untuk menjadi bangsa yang unggul. Pandai saja tak cukup, harus ada kecerdasan diri untuk menggunakan kepandaian itu.

Tak pelak sebagai manusia kecil kita pernah menjadi sosok yang tak beraturan. Bicara sesuka isi hati, bermain sepanjang waktu, bercanda, maunya menang sendiri, saling mengejek dan mengadu domba, kalau kalah ya marah-marah, suka mengambek (merajuk), senang mengancam, lari kesana – kemari, tidak fokus, tak punya arah, belum bisa mengendalikan “kuda liar” yang ada dalam pikiran dan tangan kaki kita.

Ah, di sinilah indahnya manusia. Ia adalah pembelajar yang cerdas. Ia adalah mahluk yang tak sama dengan ayah bundanya saat dilahirkan. Ia hanya menjadi mirip – mirip prilakunya kalau dididik demikian.

Beda benar dengan makhluk-makhluk mamalia lainnya, meski sama-sama memiliki otak dan perasaan. Tengok saja bayi ikan paus yang baru dilahirkan. Mereka sudah bisa berenang sama seperti induknya mengarungi samudra.

Ini berbeda benar dengan kita yang harus belajar berdiri hingga berbulan-bulan, lalu belajar berjalan dan berlari selama bertahun-tahun. Apalagi supaya bisa berbaris, berenang, membaca, menulis, atau berhitung.

Kita harus melaluinya dengan belajar, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Bila gagal harus mulai lagi dari nol.

Masa kanak-kanak belajar mengendalikan diri, keluar dari fase keliarannya. Dalam ilmu pendidikan ini disebut sebagai executive functioning sehingga manusia bisa menjadi pribadi yang matang yang tahu bahwa ia harus menjaga perasaan orang lain, terbiasa dengan menepati janji, bekerja dengan perencanaan dan schedule waktu, mengingat-ingat sesuatu (yang sudah dijanjikan), fleksibel dalam bertindak, bisa menghubungkan satu dengan yang lainnya.

Kita juga belajar mengklarifikasikan informasi dan data, serta cara menyederhanakan dunia yang serba ribet dan kompleks ini. Dan Anda tahu apa akibatnya bila masa kecil seseorang tidak selesai?

Bukan Orang Dewasa dalam Bentuk Mini

Sejatinya anak-anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Dan sebaliknya, orang dewasa bukanlah kanak-kanak dalam bentuk maksi. Semua ada batasan waktunya. Selesai pada masanya, dan masuklah kita pada fase berikutnya.

Istri saya setiap malam memikirkan 80 anak-anak asuhnya, yang amat beragam. Dari keluarga yang ayah ibunya bekerja mencari nafkah sebagai tukang masak, supir angkot, tukang ojek, penjaja gorengan di kaki lima, sampai pegawai kantoran. Mereka semua diterima bukan karena kemiskinannya, melainkan karena keinginannya untuk berubah.

Hampir semua keluarga itu ia subsidi dari uang belanjanya yang ia hemat sejak muda dan sebagian dari sisa hasil kerja kami di Rumah Perubahan. Ia memikirkan bagaimana agar anak-anak itu selesai masa kanak-kanaknya yang ‘liar’ pada waktunya.

Ia menanankan anak- anak itu tujuh kecerdadan hidup: fokus dan kontrol diri, melihat dari perspektif berbeda, komunikasi, membangun hubungan, berpikir kritis, menghadapi tantangan, dan self directed.

Sesekali saat menonton televisi ia mendesah. Itu trrjadi saat kami menyaksikan politisi-politisi tua maupun muda dalam memegang palu di gedung parlemen atau saat berdebat tentang sesuatu hal. Tetapi keresahannya semakin membuncah dalam era pilkada.

“Ini orang masa kecilnya belum selesai” ujarnya beberapa kali.

Karena sesehari mengurus mahasiswa, maka ia selalu berpesan pada saya agar bila anak-anak muda itu masa kecilnya belum selesai, mbok ya “diselesaikan di kampus”

Maksudnya, agar mereka ke depan mampu sama-sama membangun budaya. Saya pun mengangguk-angguk.

Namun setelah mengetahui ciri-ciri orang yang masa kecilnya banyak yang belum selesai, maka setiap kali membaca pesan-pesan dari WA yang disebarluaskan kalangan yang cerdas, sayalah yang kini lebih seting berujar “Ini orang masa kecilnya belum selesai!”

Lama-lama kita menjadi sering mendiskusikan orang-orang seperti itu. Mengapa? Tentunya karena dimana-mana kita menemukan orang seperti itu, bukan?

Anda mau tahu seperti apa  saja mereka?

Mudah kok mendeteksinya. Lihat saja mereka yang melakukan hal-hal seperti ini:

- Kalau sudah marah, sulit memaafkan.
- Senang mengadu yang satu dengan lainnya, gemar menakut- nakuti yang belum tentu menjadi kenyataan.
- Gemar mengejek kawannya sendiri.
- Kalaupun memaafkan, mereka tetap menuntut balasan sampai….entahlah. Mungkin sampai yang dianggapnya menyakiti itu habis, mati, dihukum gantung barangkali.
-Kalau menghadapi ketidaksenangan mudah sekali merajuk (ngambek) sehingga berkata-kata atau berprilaku kurang baik dan meresahkan banyak pihak.
- Kalau bertarung, senang menggunakan segala cara, bahkan seperti kanak-kanak menangkap ikan di sungai, airnya dibuat keruh. Dan ketika didapat, ikannya sudah mati lemas.
- Kalau berbicara lancar, tetapi senang bersilat lidah dan maunya menang sendiri.

Seperti Itulah Kanak-kanak. Sayangnya mereka tak hanya ada di layar televisi. Melainkan juga ada di sekeliling kita. Mereka ada di kampus-kampus besar berprofesi sebagai pendidik dan penguji disertasi.

Mereka ada di pemerintahan,  di  jakaran birokrasi, kegiatan-kegiatan keagamaan, menjadi ulama, pendeta atau pastor, bahkan menjadi artis, pegawai di kantor kita, manajer, pengacara atau debt collector.

Kita seperti tak henti-hentinya menarik nafas dalam, mendengar ocehan-ocehan atau membaca postingan-postingan mereka yang sangat provokatif dan menyakiti.

Maka pesan ini perlu kita tunjukkan kepada pada pendidik dan pelaku-pelaku sosial yang ikhlas. Stop mengajarkan science atau kecerdasan ilmiah pada anak-anak didik sebelum mereka diperbaiki. Stop semua itu. Dan berikanlah mereka pertama-tama kecerdasan untuk menggunakan semua kecerdasan itu.

Anak-anak kita perlu dibangun mental dan regulasi dirinya. Mereka semua harus selesai masa kecilnya pada waktunya. Dan jangan jadikan mereka kanak-kanak dalam bentuk maksi, sebab saat mereka kecil pun bukan orang dewasa dalam bentuk mini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar